Chereads / Sleepy Bookmaster / Chapter 11 - Bunuh Diri? (6)

Chapter 11 - Bunuh Diri? (6)

Apertemen Bayu, Jalan Subur, di timur Kota Kembang.

Sehari setelah penemuan jasad Adi Hamerfid. Bayu masih bermalas-malasan duduk di sofa ruang tengah dengan buku di tangan. Di meja yang tidak jauh didepannya terdapat segelas kopi dingin dan sepiring bakwan. Waktu sekitar jam sembilan pagi, hawa dingin masih terasa walau matahari sudah bersinar terik. Berita di TV masih membicarakan pembunhan Adi serta diskusi tentang Panji The Killer.

"Ooh…" Bayu menjawab malas, enggan menurunkan buku yang sedang dibacanya, Bayu berpindah tempat ke sofa yang lebih panjang, lalu berbaring di sana.

Kali ini buku yang dibaca Bayu adalah buku 'Hakam Justicien', seseorang yang saat ini sudah menjadi satu dari dua belas Pilar Union. Hakam yang biasa dijuluki The Goliath oleh khalayak umum, sangat disegani oleh masyarakat dunia. Bahkan pemerintah Nusa sebisa mungkin menghindari konflik dengannya.

Bayu yang sudah membunuh adik rahasia sekaligus adik kandung Hakam, mengetahui akan bahaya yang timbul dari perbuatannya. Oleh karenanya saat ini Bayu mempelajari dan membuat rencana saat ia menghadapi Hakam di masa depan nanti.

Sekitar dua jam berlalu.

"Hm…" Bayu masih agak keberatan menutup bukunya, namun ia tutup dan menghilangkan buku itu di udara. Dengan lesu Bayu beranjak dari sofa lalu berjalan ke kamarnya. Diperjalanan Bayu menguap lebar sambil menggaruk punggungnya yang agak gatal.

"Semenjak mendapat perpustakaan, aku merasa semakin lelah dan mengantuk walau telah banyak tidur,"

"Eeeeh? Tapi menyusahkan sekali karena aku harus tidur dua kali hanya untuk tidur!"

Setelah sampai ke kamar, Bayu lalu mengambil satu kantong eco bag yang berada di atas meja belajar. Bayu lalu keluar berjalan ke dapur meminum segelas air putih, sebelum kembali ke ruang tengah dan menyimpan eco bag yang dibawanya ke atas meja.

Ding dong

Bayu mendengar suara bel, dia agak kesal karena baru saja duduk dan harus berdiri kembali. Bayu berjalan ke pintu depan, membukanya lalu melihat seorang perempuan yang sudah tidak asing baginya.

Fara Blairheel, kali ini dia mengenakan kaos hitam ketat yang membuat kedua buah dadanya timbul, lalu di balut dengan kemeja lengan panjang berwarna merah kotak-kotak yang lenganya dilipat sampai sikut. Bagian bawah tubuh Fara memakai celana gaucho biru tua yang dipadu dengan gladiator boots hitam. Seperti biasa Fara tambil dengan senyum lebar di wajahnya.

"He-ya! Bayu! Lama tak jumpa!"

'Aku selalu membaca kata 'he-ya' dalam bukunya, ini pertama kalinya aku mendengar nadanya, apa ini kata sapaan spesialnya?'

Melihat Bayu yang tidak merespon, Fara merasa wajahnya mulai memerah malu. Dalam hatinya dia mengutuk kedua kakak beradik Rivertale. Fara dan Bayu dalam beberapa detik ke depan hanya saling tatap. Fara yang sudah merasa canggung mencoba mencairkan suasana.

"Setidaknya bisakah kamu membalas sapaan?"

"Oh… hai, mau masuk?"

"… baiklah, permisi"

Fara masuk ke apertemen Bayu, di dalam dia mengamati ruangan yang tertata rapi. Di ruang tengah terdapat dua buah sofa dengan satu ukuran buat satu orang yang satunya lebih panjang diperuntukan untuk dua orang. Depan sofa terdapat satu meja kayu dengan satu buah kantong yang terletak di atasnya, tidak jauh dari meja terdapat televisi lima puluh inci yang tertempel pada dinding.

Fara lalu melihat Bayu duduk di sofa, lelaki di depannya tidak mengucap satu kata apapun. Fara mengangkat kedua bahunya lalu duduk di sofa yang panjang.

"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?"

"Hahaha, masih langsung ke inti pembicaraan,"

"…"

"Oke! Maaf, maaf, kamu ingat pernah menyatakan kalau Lesti tidak bunuh diri, kan? Aku merasa yang kamu katakan mungkin saja benar, jadi ingin mendengar pendapatmu?"

"Pendapat seperti apa?"

"Kenapa kamu berpikiran itu bukan bunuh diri? Apa kamu tahu pelakunya? Apa menurutmu kasus Lesti ada hubungannya dengan pembunuhan Adi Hamerfid?"

"…"

Bayu memandangi wajah Fara yang kini memerah karena gairah keingintahuan. Bayu sedikit berpikiran kalau wanita di depannya mungkin mengira kalau dia ini detektif. Bayu memikirkan bagaimana cara mengatasi pertanyaan yang dilontarkan padanya. Setelah berpikir sejenak, Bayu menunjuk ke kantong eco bag yang ada di atas meja.

Fara melihat arah telunjuk Bayu, memerhatikan kantong yang ada di atas meja.

"Mmm… maksudnya?"

"Di dalam kantong terdapat seprai dari kamar Lesti saat kejadian dan sepasang pakaian Adi,"

"!"

Fara langsung mengambil kantong di meja dan ia lihat di dalamnya benar terdapat kain kuning serta baju. Lalu kedua matanya melototi Bayu yang masih santai bersandar di sofa.

"Kalau kau memeriksakan kain tersebut, akan ada bekas cairan tubuh dari kedua orang yaitu Lesti dan Adi, dan itu juga merupakan baju yang dipakai Adi pada waktu kejadian. Jadi tanpa merujuk ke hasil autopsi yang dirahasiakan polisi, dengan bukti itu kau bisa membuktikan keberadaan Adi ketika Lesti membunuh dirinya sendiri,"

"Bagaimana?! Bagaimana kamu tahu tentang hasil autopsi? Apa Maya memberitahumu? Dan terlebih lagi darimana kamu mendapat barang-baran…" seketika sebuah realisasi tergambar dalam pikiran Fara, "Kau!!...mana mungkin! Jangan-jangan apa benar kamu adalah Pan…!"

Seketika tubuh Fara merasakan hawa dingin yang sangat menusuk, Fara memandangi lelaki di sofa yang tersenyum tipis kepadanya. Tubuh Fara mulai gemetar ketakutan, dia merasa kalau dirinya baru saja mengetahui hal yang sebaiknya tidak ia ketahui. Beberapa lama kemudian, Fara mencoba menenangkan dirinya, ia menghela nafas panjang.

"Apa Maya tahu?"

"Tidak, mungkin nanti aku akan memberitahunya secara langsung,"

"Apa kamu tidak takut indentitasmu ketahuan?"

"Apa kamu mau mengungkapkannya ke publik?"

Mendengar itu Fara langsung menggelengkan kepalanya. Walau saat ini Panji The Killer adalah kriminal yang dicari oleh kepolisian, entah mengapa, ada perasaan dalam dirinya untuk merahasiakan identitas itu dari siapapun. Fara merasa kalau Bayu mempunyai alasan tertentu dalam melakukan tindak kejinya. Bayu yang melihat reaksi Fara sedikit tersenyum lalu melanjutkan pembicaraan.

"Kak Maya tidak pernah memberitahu hasil autopsinya, kau mungkin tahu, Kak Maya terlalu protektif kepada keluarganya."

Fara mengangguk setuju dengan sifat sahabatnya itu. Lalu bagaimana Bayu tahu? Fara berpikir dan sadar kalau mungkin Bayu memilki artifak yang dapat memberinya informasi.

"Kalau begitu apa benar Adi yang membunuh Lesti?"

"Hm… Lesti bunuh diri itu merupakan suatu kenyataan,"

"Eh?"

"Tapi, apa dia bunuh diri karena keinginannya sendiri atau dipaksa orang lain, itu dua hal yang berbeda,"

"Jadi maksudmu Lesti dipaksa bunuh diri!" Fara sontak sadar dengan kejanggalan yang selama ini ia rasakan, tapi "Tunggu! Apa sebenarnya motif Adi untuk membunuh Lesti?"

Pertanyaan baru muncul dalam benak Fara. Bayu yang melihat wajah bingung itu, melihat-melihat ke sekitarnya, mencari sesuatu. Lalu tatapannya tertuju pada tas Fara.

"Tuliskan alamat yang akan kukatakan padamu,"

Fara lalu mengambil ponsel dari tasnya, membuka aplikasi note. Walau dia tidak mengerti apa yang diinginkan Bayu, dengan sigap jarinya sudah berada di layar keyboard.

"Jalan Cadas, di selatan Kota Kembang. Ada sebuah klinik dengan nama 'Herlambang', cari dokter Aarifa, tanyakan tentang Lesti. Kau akan menemukan petunjuk menarik di sana,"

Fara menyimpan catatan di ponselnya, lalu kembali memandangi Bayu yang masih duduk santai. Fara lalu bersiap untuk pergi ke alamat yang Bayu sebutkan. Sebelum itu, Fara melihat kantong yang ada di atas meja.

"Kantong ini…?"

"Ambil saja, kau mau jadikan itu barang bukti atau mau dibuang pun silahkan,"

Mendengar itu Fara tersenyum lebar. Langsung ia genggam barang bukti dari meja, dan berjalan keluar sambil mengucap terima kasih.

***

Sekitar satu jam perjalanan memakai mobil terbang. Fara keluar dari mobil lalu melihat gedung klinik yang tidak terlalu besar. Fara memasuki gedung klinik dan melihat kalau di dalam lobi hanya terdapat dua orang selain resepsionis.

'Sepi sekali'

Fara berjalan ke meja resepsionis yang dijaga seorang perempuan sekitar umur dua puluhan.

"Permisi,"

"Iya, ada yang saya bantu?"

"Saya mau bertemu dengan dokter Aarifa,"

"Apa sudah ada janji sebelumnya?"

Fara menggelengkan kepalanya. Perempuan resepsionis mengecek layar di mejanya.

"Dokter Aarifa saat ini sedang istirahat, dan akan memulai praktik kembali nanti pukul dua siang,"

"Boleh saya bertemu dengannya sekarang, saya hanya ingin bertanya sesuatu," ucap Fara sambil memperlihatkan kartu jurnalis yang tergantung di lehernya. Melihat kartu tersebut, pihak resepsionis menatap Fara dengan curiga. Lalu dia mencari nomor kantor dokter Aarifa di layar dan menekannya. Tidak lama suara seorang wanita terdengar dari telinga kanannya yang memakai earphone nirkabel.

"dokter, ada seorang jurnalis dari Pikiran Masa ingin bertemu dengan anda,"

"Jurnalis? Mau ngapain?"

Resepsionis menatap Fara dengan tajam. Fara lalu memberitahukan niatnya,

"Saya mau bertanya tentang orang yang bernama Lesti Nastion,"

Resepsionis agak terkejut mendengar nama yang diutarakan oleh tamu di depannya. Nama Lesti sudah tidak asing baginya karena hanya baru seminggu kasus bunuh diri itu lewat. Dia bingung kenapa ada jurnalis yang mencari tentang korban ke klinik kecil tempat ia bekerja.

"Dia katanya ingin bertanya tentang Lesti Nastion, dok!"

"Lesti Nastion? Siapa tuh?"

"Eh? Dokter gak tau?"

"Tunggu sebentar, saya cek dulu dokumen pasien saya,"

Tidak lama, suara dokter Aarifa kembali terdengar di telinga resepsionis.

"Suruh dia masuk!"

Resepsionis itu mengiyakan lalu menunjukan arah kantor dokter Aarifa kepada Fara.

Fara lalu masuk ke ruangan dokter Aarifa, dan betapa terkejutnya dia melihat meja dokter dihadapannya sangat berantakan. Terdapat banyak kaleng bir kosong berserakan diseluruh ruangan. Serta juga kertas-kertas tergeletak di lantai. Ini pertama kalinya Fara melihat ruangan dokter seberantakan ini.

Duduk di kursinya, dokter Aarifa yang seperti wanita berumur tiga puluh akhir atau empat puluh awal, mengenakan sebuah tank top krem dibalik jas dokternya memperlihatkan belahan dadanya yang besar. Rambut panjang hitamnya dicepol ke atas. Di tangannya terdapat sekaleng bir.

"Duduk!" ucapnya singkat. Lalu dokter Aarifa melihat Fara dengan seksama.

"Mau bertanya apa tentang pasienku? Aku beri tahu dulu ya, kerahasiaan pasien tetap menjadi yang utama,"

Fara berpikir sejenak.

"Mengapa Lesti kemari? Ada dia mempunyai penyakit?"

"Kenapa kamu mau tahu tentang itu?"

"Ini mungkin bisa menjadi petunjuk baru bagi kasus bunuh dirinya,"

"Bunuh diri? Siapa? Lesti?"

Fara tertegun sejenak, kepalanya miring 45 derajat menyatakan kebingungan.

"Dokter tidak tahu tentang kasus bunuh diri Lesti seminggu lalu?"

Melihat wajah bingung dokter dihadapannya, Fara lalu menjelaskan kejadian satu minggu lalu dan juga kasus pembunuhan Adi Hamerfid.

"Jadi sekarang kamu berpikir kalau Lesti mungkin saja dibunuh, bukan bunuh diri? Atau mungkin kamu berpikir kalau yang namanya Adi itu pembunuhnya? Uwaa… aku tidak tahu kalau pasienku akan mengalami hal seperti ini, maaf ya, aku gak terlalu update sama informasi di sosial media,"

'Apa kau tidak punya TV?! Kan ada TV?! Bagaimana kau tidak tahu?! Ini bukan zaman batu?!'

Teriak batin Fara terhadap orang di depannya.

"Hahaha! Aku sungguh terkejut, ini dokumen Lesti, kau tidak boleh mengambilnya tapi silahkan kalau mau difoto, mendengar penjelasanmu aku sudah tahu bagaimana kasus ini terjadi,"

Fara melihat dokter Aarifa yang begitu saja melempar dokumen ke arahnya. Ketika tertawa tadi harum alkohol tercium dari mulutnya. 'Dokter ini sudah gila!'

Fara melihat isi dokumen yang dilempar, dan matanya langsung membelalak ketika melihat isi di dalam dokumen.

"Lesti hamil?!"

"Iya betul, dia sudah hamil selama tiga minggu,"

"Terus kenapa tidak ada informasi apapun dari hasil autopsinya?"

"Saya rasa mereka menyelubunginya dengan dua layer, yang pertama untuk pihak kesehatan itu sendiri, dan berikutnya untuk masyarakat. Ha ha ha… saya pikir ada orang kuat dibalik kasus ini. Mungkin itu bisa saja dari salah satu Raja atau mungkin Kaisar atau bahkan Menteri Pertahanan kita sendiri,"

"Ini…"

Fara agak pusing memikirkan cara untuk menyampaikan kasus ini ke publik. Saat ini setidaknya dia sudah mengerti motif dari Adi untuk membunuh Lesti. Adi pasti memiliki alasan tertentu yang membuatnya tidak boleh memiliki anak di luar nikah. Pada dunia sekarang, akibat berkurangnya populasi manusia selama seratus tahun terakhir, peraturan tentang aborsi sebagai tindakan kriminal pun dibuat. Karenanya, Lesti yang sudah hamil dan tidak bisa melakukan aborsi harus Adi singkirkan dengan cara membunuhnya.

'Kalau Adi sampai segitunya, dan memilih membunuh daripada menikah, ada kemungkinan Adi memiliki status spesial seperti tunangan seseorang yang penting? Hm… orang kuat dibaliknya?'

Fara lalu teringat identitas lain Bayu yang memakai topeng panji.

'Sepertinya aku harus bicara dengan Bayu lagi,'