Seorang lelaki berdiri di tengah-tengah suatu bangunan, di hadapannya terjajar rapih rak-rak buku besar dan tinggi. Rak-rak itu tampak terbuat dari kayu tua kokoh, sembari mengeluarkan wangi tanah dan daun seperti di tengah hutan. Hanya saja laki-laki yang sekitar dua puluh tahunan itu sadar bahwa dirinya tidaklah berada dalam hutan, tapi dalam sebuah ruangan yang berbentuk bulat dengan diameter sekitar lima puluh meter.
Laki-laki itu melihat ke atas, mencari langit-langit bangunan yang kian tidak tampak sejauh matanya memandang. Laki-laki itu berpikir bahwa sekarang dirinya berada di suatu menara, dari tempatnya berdiri ia dapat melihat rak-rak buku lain di lantai-lantai atas. Semakin ia melihat ke atas, semakin takjub ia rasakan.
"Berapa tinggi tempat ini? Terlebih lagi, ini di mana?"
Laki-laki itu memandangi sekitarnya, hanya dengan sekali lihat saja dia tahu kalau dia berada di sebuah perpustakaan. Namun, ada beberapa hal aneh yang harus ia pikirkan dulu. Pertama, bagaimana ia sampai kemari? Sejauh yang ia ingat, ia sedang berada di kamarnya membaca buku biografi seorang musisi yang kurang dikenal khalayak umum. Lalu ia tertidur dan sekarang di sinilah dia berdiri. Tempat yang begitu asing bagi dirinya.
Laki-laki itu yakin dirinya tidak diculik, karena tidak ada bekas tindakan kekerasan pada dirinya, tidak ada juga properti penculik seperti tali, karung, borgol dan lain sebagainya. Hal pertama yang terpikir adalah teleportasi, yang langsung ia sangkal, karena begitu bodohnya alasan itu.
Kedua, dari sekian banyaknya rak buku di menara perpustakaan ini, tidak ada satu pun buku di dalamnya. Selagi laki-laki itu memandangi rak-rak buku kosong di sekitarnya, dalam pikirannya ia bertanya-tanya alasan orang yang membuat perpustakaan megah ini. Dirinya merasa lucu dengan keadaan perpustakaan ini, dan berpikir kalau pembuatnya mungkin kehabisan dana untuk membeli buku setelah membangun menara ini. Mungkin pemilik perpustakaan telah bangkrut lalu menculik orang untuk dijadikan sandra agar dimintai uang tebusan. Nantinya uang tebusan dibelikan buku untuk perpustakaan. Setelah memikirkan hal itu, mulut laki-laki itu sedikit tersenyum, di wajahnya yang sedari tadi tidak memerlihatkan sedikitpun emosi.
Ketiga, kembali ke tinggi bangunan ini yang tiada ujung. Dari tempat laki-laki itu berdiri, berapa kalipun ia lihat ke langit-langit ia tidak dapat menemukan ujung tinggi dari bangunan ini. Hanya lantai-lantai yang penuh dengan rak-rak buku, lantai yang jumlahnya mungkin hingga ratusan.
"Ratusan lantai, rak kosong, sepi, hmmm… oke. Ini mimpi."
Mengingat kembali kalau dia itu tertidur ketika membaca sebelum ke tempat ini, mimpi, hanya jadi satu-satunya alasan yang logis. Walau mimpi ini terasa begitu nyata bagi dirinya, mencoba mencari alasan lain hanya membuang waktu dan tenaga baginya, kejadian ini tak ubahnya seperti mempertanyakan keberadaan surga itu nyata atau tidak.
Setelah menghiraukan semua hal aneh dari tempat yang mungkin ia rasa perpustakaan. Laki-laki itu berjalan dari tempatnya berdiri yang tepat di tengah ruangan, menuju ke dinding yang ada di depannya. Laki-laki itu mulai berpikir untuk mencari keberadaan individu lain yang ada di tempat ini.
Laki-laki itu sudah tidak akan terkejut jika ia tiba-tiba bertemu drakula atau peri, karena baginya tempat ini sudah ia anggap sebagai suatu artifak. Suatu benda kuno dengan kekuatan tertentu, yang biasa dipakai oleh para avonturir.
Setelah sampai di dinding ruangan, ia menelusuri ruangan mengikuti lengkungan dinding. Ada satu hal yang ada di benaknya kalau memang tempat ini adalah perpustakaan, dan hal itu pun tidak lama hadir di hadapanya. Tempat pustakawan biasanya berada.
Di hadapan laki-laki itu terdapat sebuah meja yang mengelilingi satu buah kursi di tengahnya. Kursi itu kosong. Tidak jauh dari meja, di sebelah kanannya terdapat pintu yang besar dan di sebelah kiri terdapat tangga yang menuju ke lantai atas. Terdapat plat nama kosong di atas meja, lalu sebuah buku yang mungkin untuk mencatat daftar pengunjung dan sebuah bel perak di sampingnya.
Tring…
Laki-laki itu tidak segan-segan langsung membunyikan bel perak itu. Bel perak itu tidaklah besar, paling hanya sebesar cangkir kecil. Tapi suara yang ditimbulkan menggema ke seluruh ruangan. Laki-laki itu agak terkejut ketika mendengar suara bel. Ia meneliti kembali perpustakaan di hadapannya. Sepi. Pandangan laki-laki itu kembali tertuju ke bel perak di atas meja, dan jarinya kembali memencet bel itu, dua kali.
Tring… Tring…
Masih sepi tak ada siapapun yang tiba-tiba muncul ke hadapan laki-laki itu. Ia mulai berpikir kalau tempat ini tidaklah berpenghuni, bahkan hantu yang ia kira tinggal di tempat seperti ini pun tampaknya tidak ada. Laki-laki itu menghela nafasnya, lalu memikirkan tindakan yang harus ia lakukan selanjutnya. Namun, tidak lama terdengar langkah kaki. Suaranya kecil tapi semakin lama semakin keras, menandakan ada seseorang yang berjalan menuju ke tempatnya. Setidaknya, dengan suara ini ia tahu kalau bukan hantu yang datang, walau ia tidak tahu menahu kalau hantu itu menimbulkan suara langkah kaki atau tidak.
Tidak lama laki-laki itu mendengar suara langkah kaki dari lantai di atasnya, dan kepalanya menoleh ke atas tangga, ia melihat seorang perempuan cantik sekitar umur tiga puluhan, dengan rambut merah bergelombang hingga ke pundak, dan matanya yang biru tampak menyala.
"Orang asing?Bagus, tempat ini malah bertambah aneh,"
Perempuan itu perlahan menuruni tangga sambil menunjukan senyum di wajahnya. Ia mengenakan blus biru tua dengan rok panjang ketat, suara hak tinggi yang ia kenakan semakin lama semakin mendekati laki-laki yang berdiri terdiam di depan meja pustakawan. Laki-laki itu walau melihat seorang perempuan cantik di depannya, tidak ada tanda-tanda kaget atau tercengang, muka laki-laki itu sudah seperti kehilangan otot-ototnya.
Perempuan cantik itu berdiri di depan laki-laki dengan senyuman yang manis. Banyak hal yang terpikirkan oleh laki-laki itu seketika melihat perempuan asing di depannya. Namun semua pikiran itu kandas. Muka laki-laki itu yang tiada ekspresi sedikit mengernyitkan dahinya ketika perempuan itu tiba-tiba saja berbicara dengan bahasa dari negaranya dengan lancar.
"Selamat datang tuan! Bisakah saya mengenal nama anda?"
"…"
"…"
Keduanya terdiam selama belasan detik. Laki-laki itu pun mengeluarkan nafas panjang, lalu memberitahukan namanya.
"Bayu, Bayu Rivertale,"
Wanita cantik itu lalu menundukkan kepalanya, dangan senyum manis yang terlukis di wajahnya. Matanya yang biru menjadi semakin bersinar, seperti diberi efek spesial bintang yang sering diperlihatkan di kartun-kartun.
Laki-laki yang bernama Bayu itu semakin mengernyitkan dahinya.
"Ada apa dengan wanita ini?" pikir Bayu, sambil balik memandang mata wanita cantik di depannya. Keheningan pun kembali di antara keduanya. Belasan detik kemudian.
"Ehem! Maaf tuan Bayu, saya sedikit gembira. Akhirnya saya bisa bertemu dengan tuan!,"
"Eeee, o-oke. Jadi, bisakah aku tahu di mana aku sekarang?"
Wanita cantik itu setelah mendengar pertanyaan Bayu, senyumnya semakin lebar, lalu dengan nada yang cukup bersemangat, wanita itu berkata:
"Selamat tuan Bayu! Tuan sudah mewarisi artifak Perpustakaan Kehidupan!"
Seirama dengan ucapan wanita cantik itu, rak-rak buku yang tadinya kosong, secara ajaib mulai bermunculan buku satu per satu. Seluruh ruangan seketika itu bercahaya sangat terang. Setelah beberapa menit, Bayu yang secara terpaksa harus melihat terangnya cahaya, hanya bisa berdiri sambil menutup kedua matanya.
"Bisakah jadikan ini hanya mimpi belaka?" pikir Bayu, merasakan hari-harinya akan berubah drastis.