"Terima kasih untuk traktirannya!" ucap Maya lalu berlari pergi meninggalkan Ken.
Ken cukup terkejut dengan apa yang Maya lakukan, ia bahkan belum menyentuh makanannya sedikit pun.
Reflek Ken ikut berlari untuk mengejar gadis itu, namun ia sedikit ragu.
Ken melihat Maya menangis, ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan?
Ken melihat Maya yang terduduk lemah di bawah pohon besar di taman, gadis itu terlihat terus menangis. Tiba-tiba saja, Maya mencengkram lengannya, ia terlihat sangat kesakitan, ia lalu meminum obat yang ia ambil dari dalam tasnya.
Tak lama setelah itu, hidungnya mengeluarkan darah, Ken semakin terkejut dibuatnya.
'Apa yang terjadi? Haruskah aku menghampirinya? Dia terlihat sangat kesakitan.' batin Ken ragu.
Baru saja Ken ingin berlari menghampiri gadis itu, saat ia lihat seorang pria meneriakkan nama Maya. Pria itu berlari dengan paniknya menghampiri Maya.
Pria itu lalu membawa Maya pergi menuju parkiran. Ken ingin mengikutinya, tapi Lisa sudah membawa mobilnya.
Sial! Kali ini tidak ada yang bisa ia lakukan.
Ken berpikir keras, ada apa dengan Maya? Penyakit apa yang gadis itu derita? Ken benar-benar penasaran dibuatnya.
***
Sudah beberapa hari, Maya tidak datang ke kampus. Jujur saja, Ken merasa sedikit khawatir. Gadis itu, apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Wajahnya slalu pucat, mudah terluka, mimisan, sesak napas, dan dia terlihat kesakitan di lengannya. Apa dia mengidap penyakit yang serius? Atau memang daya tahan tubuhnya yang sangat buruk?
Tanpa sengaja, Ken melihat Puspita, Rani, dan juga pria yang sebelumnya membawa Maya, berjalan menyusuri koridor ke arah kafetaria.
Ken menimbang-nimbang, apakah ia harus bertanya pada mereka?
Tapi...
Sudahlah!
Ken langsung berlari menghampiri mereka.
"Hei, tunggu!" Ken setengah berteriak untuk menghentikan langkah ketiga teman Maya tersebut.
Mereka bertiga berhenti melangkah dan berbalik menatap Ken yang masih berlari menghampiri mereka.
"Permisi, kalian temannya Maya kan? Apa dia baik-baik saja?" tanya Ken tanpa basa-basi.
Pria yang Ken lihat kemarin, langsung mendekat ke arahnya dan menatap Ken tajam.
"Dia baik-baik saja!" kata pria itu penuh penekanan.
Ada apa dengan pria itu? Ken menghela napas berat, ia tahu pria itu berbohong. Maya pasti tidak dalam kondisi baik. Ken bisa merasakannya dari tatapan pria itu.
"Bisa berikan aku nomor teleponnya?" pinta Ken.
Pria itu mendengkus tanpa mengalihkan tatapannya dari Ken.
"Kenapa? Kau mulai tertarik padanya? Sebaiknya jangan! Menjauhlah darinya!" ketus pria itu.
Ken terkejut mendengar peringatan dari pria itu. Tapi, ia lebih terkejut lagi mendengar pertanyaannya, apakah ia tertarik pada Maya? Mungkinkah?
Ayolah! Dia hanya meminta nomor ponsel dari gadis itu! Apakah meminta kontak seseorang, berarti seseorang menyukai atau tertarik pada orang tersebut?
"Tidak, aku hanya ingin memastikan keadaannya!" sahut Ken dengan santainya.
Tiba-tiba saja teman pria Maya itu meraih kerah kemeja Ken dan mencengkramnya erat.
"Sudah kubilang, dia baik-baik saja! Jangan mengganggunya!" sentak pria itu tepat di depan wajah Ken.
Ken merasa ada yang ganjal, kenapa pria ini begitu marah padanya? Apa dia pacar Maya? Tidak, sepertinya bukan. Maya pernah bilang, bahwa dia menyukai dirinya bukan? Gadis itu tidak mungkin memiliki pacar.
"Yudha sudahlah, ayo kita pergi!" Puspita meraih tangan pria itu dan melepaskan cengkraman pria itu pada kerah Ken.
Yudha. Baiklah, sekarang Ken tahu siapa nama pria itu. Tapi, ini semakin membuatnya kesal, kenapa teman-teman Maya seolah menutup-nutupi keadaan gadis itu? Apa yang terjadi pada Maya?
***
Di sisi lain, Maya tengah bersandar pada kepala ranjang di kamar rawatnya. Pikirannya telah dipenuhi dengan Ken sekarang ini.
'Patah hati itu ternyata sesakit ini!' batin Maya.
Berulang kali Maya menghela napas panjang. Ia merasa kehilangan salah satu alasannya untuk bertahan hidup.
Ia tidak bisa bersama Ken, pria itu sudah memiliki seseorang di sampingnya.
Sekali lagi, Maya menghela napas berat, ia lalu memejamkan matanya rapat-rapat.
Hidupnya tidak ada artinya. Ingin rasanya ia menyerah dan menyusul ayahnya saja ke surga. Selama ini, dia selalu saja hidup sendiri, hanya ada Pak Rahmat dan beberapa asisten rumah tangga saja yang tinggal di rumah menemaninya. Maya merasa, selama ini, ia slalu menyusahkan mereka.
Dan sahabat-sahabatnya? Maya merasa hanya menjadi beban saja untuk mereka.
"Memikirkan sesuatu, hum?" celetuk seseorang dari arah pintu.
Maya tersenyum tipis melihat Dokter Heru yang baru saja masuk ke kamar rawatnya.
Dokter Heru menarik kursi mendekat ke ranjang Maya, dan duduk di sana.
"Hei, Dok! Kalau aku berhenti minum obat, apa aku akan langsung mati? Oh, tidak! Jangan menatapku seperti itu! Aku kan hanya bertanya!"
Dokter Heru menghela napas berat, lalu menggeleng pelan. Belakangan ini, Maya selalu saja mengucapkan sesuatu seperti itu, ia merasa lelah, ia yang muak dengan segala macam obat yang ia minum, dan rasa sakit yang bukannya berkurang, malah semakin menyiksanya.
Dokter Heru bisa mengerti bahwa ini sangat berat untuk gadis itu. Maya pasti merasa benar-benar lelah dan menderita. Hanya saja, Dokter Heru berpikir, jika memang gadis itu harus pergi, ia harus pergi dengan dipenuhi kebahagiaan. Setidaknya, dia harus menemukan saudara kembar dan cintanya terlebih dulu. Karena itu, Dokter Heru berusaha semampunya untuk mempertahankan kondisi gadis itu.
"Jangan pernah berpikir untuk berhenti meminum semua obat itu! Ingat kenapa kau berjuang untuk bertahan sampai sejauh ini! Untuk kembaran dan ibumu, May!"
"Iya, aku ingat! Hanya saja, sesekali aku ingin mengeluhkan kondisiku! Dan aku hanya bisa melakukan itu padamu! Hidup ini berat ya, Dok!"
Dokter Heru terkekeh pelan mendengar keluhan pasien yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu.
"May, kau tahu? Kau itu satu-satunya pasienku yang sangat cerewet! Semua pasien yang ku tangani, selalu menurut tanpa mengeluhkan apa pun, tahu!" protes Dokter Heru.
Maya tertawa pelan, ia lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Sepertinya kondisi mereka jauh lebih baik daripada aku, atau mungkin, mereka sedang menahannya! Mereka sedang berusaha keras untuk tidak mengeluh, kurasa!" sahut Maya dengan santainya.
Dokter Heru mengusap lembut puncak kepala Maya, ia tersenyum dengan begitu hangat.
"Kalau begitu, cobalah tiru mereka! Berhenti mengeluh, oke?"
"Oh, tidak bisa! Jika aku menahannya, aku hanya akan merasa semakin frustrasi!"
Kekehan pelan kembali terdengar dari Dokter tampan itu, ia masih ingin mengobrol dan menemani Maya, hanya saja, ia ada jadwal pemeriksaan dengan pasien lain sebentar lagi.
"Bertahanlah!" Dokter Heru berujar pelan, ia lalu beranjak pergi meninggalkan Maya yang memandangi punggungnya dengan senyuman miris.
'Aku lelah, sampai kapan aku harus bertahan? Jika memang mustahil bagiku untuk mendapatkan Ken dan Naya, tidak bisakah aku segera pergi saja?'