Chereads / GITA / Chapter 11 - IZIN ORANG TUA

Chapter 11 - IZIN ORANG TUA

Pagi hari yang cerah nampak Pak Dani tengah menyusun pot bunga di halaman rumahnya. Hari itu dia tidak berangkat keluar kota karena bertukar shif dengan rekan kerjanya. Terdengar suara deru mesin sepeda motor mendekat yang membuat Pak Dani menoleh ke arah sumber suara.

"Assalamu'alaikum, Ayah kapan pulang?" tanya Barra pada ayahnya setelah mematikan mesin motor dan menyalami sang ayah.

"Wa'alaikumsalam. Semalam pagi Ayah pulang, kamu enggak dirumah. Masih pagi kok udah kelayaban di rumah orang, jadi enggak tahu kalau ayahnya pulang!" Gumam Pak Dani menggelengkan kepala.

"Yah, hari ini enggak pergi kemana-mana, kan? Ada yang mau Barra obrolin," lanjut Barra.

"Enggak ada. Paling temamin ibu belanja isi dapur nanti sore. Memangnya mau ngobrolin apa? Kalau serius nanti siang aja, ya! Kamu bersih-bersih dulu sana gih, sarapan terus tidur, baru pulang pagi kasihan badannya!" perintah ayahnya. Barra beranjak mengiyakan perintah sang ayah.

"Yah, Barra mau bicara, Yah!" panggil Barra kepada ayahnya setelah segar dari bangun tidur.

"Ya, soal apa?" jawab Pak Dani singkat karena tengah asik membaca koran.

"Barra mau ngelamar anak Pak Hasan!" lanjut Barra yang membuat Pak Dani menoleh mendengarnya.

Pak Dani terdiam dan meletakkan Koran di tangannya.

'Bukannya anak gadis Pak Hasan masih sekolah? Kenapa Barra bilang begitu? Apa yang salah dengannya?' batin sang ayah yang merasa ucapan anaknya itu bermasalah.

"Anak Pak Hasan yang masih sekolah itu? Kamu enggak salah, Bar?" tanya ayahnya dengan nada yang mulai meninggi.

"Enggak, Yah. Barra enggak salah sebut. Gita perempuan yang baik, Yah. Barra sudah lama mengamati," tegas Barra yakin.

"Kamu hanya terbuai nafsu sementara, Bar! tolong sadar! anak itu masih di bawah umur! Apa enggak ada perempuan lain yang lebih cukup umurnya? Kayak enggak ada perempuan lain aja kamu!" bentak ayahnya marah.

"Barra, semua keluarga kita enggak pernah lihat kamu sama perempuan. Tapi tiba-tiba kamu mau melamar anak orang, masih kecil lagi. Kamu harus sadar, Barra, pernikahan bukan mainan!" ceramah Pak Dani yang berharap anaknya sadar.

"Yah, Barra udah lama suka sama Gita. Barra bisa nyaman dan senang di dekat Gita, Yah. Selama Barra sering datang ke rumah Pak Hasan, Barra rasa Gita perempuan yang baik, solehah, dan pintar. Beda sama perempuan-perempuan di sekitar Barra," jelas Barra tidak mau kalah.

Pak Dani pusing menghadapi anak laki-lakinya itu. Namun dia sadar, sejak sepeninggal istrinya dulu, dia jarang mengurusi anak-anaknya bahkan bagaimana perkembangan mental dan perasaan anaknya di masa setelah ditinggal sang ibu, dia tidak pernah bertanya dan tahu.

Mengingat itu Pak Dani juga merasa kurang berhak mencampuri keputusan anaknya yang ingin bahagia. Barra dewasa dengan caranya sendiri.

Usianya yang sudah dua puluh tiga tahun juga memang sudah wajar berumah tangga. Namun, tidak harus sampai menikahi anak di bawah umur, apa kata keluarga dan masyarakat jika itu terjadi?

"Bar, coba pikir seribu kali lagi untuk pilihan kamu. Ayah akan langsung bilang 'iya' seandainya perempuan yang kamu suka usianya sebaya kamu. Tolong pikirkan lagi ya, nak!" bujuk Pak Dani lagi.

"Yah, awalnya juga Barra merasa salah suka sama Gita. Barra coba buat enggak ketemu. Barra terus doa sama Allah minta petunjuk supaya dikasih arah yang benar. Tapi tetap aja, balik lagi ke Gita, Yah!" balas Barra.

"Banyak perempuan di kantor Barra, Yah! Cantik-cantik malah. Tapi, rasa itu enggak. Ayah pasti mengerti kalau rasa suka enggak bisa dipaksakan. Kayak Ayah yang suka sama ibu," sambungnya lagi.

"Baiklah, Ayah terima kalau itu memang sudah keputusan kamu, Ayah akan restui pilihan yang kamu anggap benar, tapi Ayah juga akan berembuk dengan keluarga, siapa tahu kamu bisa berubah pikiran," jawab Pak Dani menerima keputusan anaknya itu.

"Makasih, Yah, udah ngerestuin apa yang Barra mau, nanti biar Barra aja yang bicara sama keluarga. Barra udah cukup senang dapat restu dari Ayah," ucap terima kasihnya pada sang ayah.

"Semoga pilihanmu yang terbaik, Bar. Semoga bahagia," Pak Dani mendoakan anaknya dengan tulus.

Malam harinya keluarga berkumpul untuk membahas rencana Barra yang ingin melamar Gita. Malam yang seharusnya tenang, berubah suasana menjadi tegang.

"Apa-apaan kamu, Barra? Kamu sudah gila, ya? Anak Pak Hasan itu masih kecil. masih sekolah! Apa yang ada di pikiranmu sehingga mau melamarnya?" bentak paman Barra, adik Almarhumah ibunya.

"Dan Mas Dani, kenapa Mas mengizinkan ide gila Barra? Dia enggak berpikir jernih, Mas! Mas sebagai orang tua seharusnya menasehati Barra agar berpikir seribu kali soal ini!" sasaran si paman berpindah ke Pak Dani yang hanya memilih diam tidak menjawab, dia sudah lelah menasihati anaknya.

"Dan kamu, Barra! Apa tidak ada perempuan lain yang bisa kamu jadikan istri? Coba pikirkan baik-baik, saat kamu bekerja bisa saja dia keluar rumah dan bermain bersama temannya. Bisa saja saat kamu bekerja dia pergi bersama laki-laki lain yang dikenalnya. Coba kamu pikirkan, Barra! Dia itu masih kecil, masih perlu bermain, masih ingin bebas, masih baru mengenal dunia luar. Apa seperti itu yang ingin kamu jadikan istri?" bentak pamannya lagi.

Sementara keluarga yang lain hanya mendengarkan suara paman Barra yang bergema kemana-mana. Tidak perlu ditanya apa pendapat mereka, sudah jelas pasti semua menolak keputusan Barra.

Saat sang paman sudah mulai berhenti berbicara dan kelihatan sedikit lebih tenang, Barra menghela nafas dan mulai membuka pembicaraan untuk mengutarakan maksudnya.

"Tanpa mengurangi rasa hormat kepada orang tua dan keluarga yang lebih tua di sini, Barra sudah pikirkan secara benar-benar dan matang bukan hanya satu dua hari bahkan sampai berbulan sudah Barra pikirkan. Apapun kesimpulan yang diambil malam ini, tidak akan mengubah keputusan yang sudah Barra ambil. Barra sudah memutuskan untuk melamar anak Pak Hasan dengan persetujuan keluarga atau tidak. Karena Barra sudah mengantongi restu dari ayah sebagai orangtua," tegas Barra yang membuat para orangtua melebarkan mata.

"Paman, sebelumnya Barra minta maaf. Barra tidak setuju dengan perkataan paman yang jelek tentang Gita. Barra sendiri yang melihat bagaimana tingkah laku Gita sehari-hari. Gita tidak setuju dengan anggapan Paman yang menganggap Gita adalah gadis yang nakal. Dia berbeda Paman, sangat berbeda. Itulah yang membuat Barra memilihnya," tegasnya sekali lagi.

"Bar, kenapa kamu sangat keras kepala? Apa yang membuatmu berfikir tergesa-gesa?Apa dia sudah hamil anakmu?" tuduh Pamannya.

Bukan hanya Barra yang terkaget, namun juga keluarga yang ada di sana.

"Astagfirullah Paman! Barra berpikiran sampai situ. Kami bahkan tidak pacaran, apa yang ada di pikiran Paman sampai menuduh kami seperti itu?" bantah Barra dengan amarah namun masih bisa ditahan karena memikirkan adab kepada orang yang lebih tua.

Bersambung...