"Bagaimana mungkin kamu bisa menjadi pemimpin yang baik jika menangkap rusa saja tidak bisa?" tanya Chi Feng Zun pada putri semata wayangnya yang sekarang terlihat sangat memuakkan dengan badan yang kotor penuh lumpur.
"Tapi, rusa sangat sulit di tangkap, Ayah. Mereka berlari seperti angin," jawab gadis itu cepat.
"Tidak ada yang memaksamu menjadi pemimpin karena dasarnya kamu adalah seorang wanita. Lebih baik menjadi permaisuri dari pada harus berperang menumpas musuh, kelak pilihlah pria tangguh yang mempunyai sembilan nyawa," ucap Chi Feng Zun.
"Ayah ... tidak ada penerus dari desa ini jika aku han—"
"Kamu mengetahui dengan jelas bahwa pamanmu, Nie Huaisang belum menikah atau pun mempunyai anak. Dia bisa menjadi penerus sekte Nie, walaupun kami berbeda ibu." Chi Feng Zun mengibaskan jubah lebarnya dan duduk di atas kursi besarnya. "Bersihkan dirimu, A Qiao. setelah itu makan malam."
"Apakah aku juga akan dikirim menjadi murid luar bersama paman Huaisang?" tanya A Qiao.
Chi Feng Zun mendelik, sedikit kesal karena anak perempuannya selalu bertanya seolah dia adalah anak yang wajib menjadi penerus sekte. "Sudah kukatakan tadi, kamu tidak perlu susah paya—"
"Aku akan pergi ke sana, tenang saja. Aku akana membawa nama baik sekte kita," potong A Qiao lantas berlari meninggalkan Chi Feng Zun yang masih belum selesai bicara.
Para dayang yang melihat A Qiao berlari dengan pakaian kotor segera menghampiri dan menawarkan untuk baju yang baru. Seperti yang diketahui bahwa A Qiao adalah anak yang periang dan berjiwa bebas, maka dari itu para dayang yang ada di sana harus cepat tanggap melayani A Qiao atau nyawa mereka yang akan melayang di tangan Nie Huaisang.
"Aku ingin pergi ke Gusu esok hari, jadi siapkan pakaian untukku juga," jawab A Qiao.
"Bukankah, Nona A Qiao ...."
"Aku juga dikirim oleh, Ayah."
"Baiklah, Nona. Saya akan siapkan secepatnya." Para dayang tersebut segera pergi dari hadapan A Qiao.
A Qiao sendiri segera masuk ke ruangannya dan melihat sebuah pedang yang ia letakkan di atas meja keramik di tengah ruangan. Sebuah pedang besar berwarna platinum dengan ukiran rumit berwarna emas.
Sebuah kebanggaan sendiri untuk A Qiao bisa memegang pedang seperti itu di usia empat belas tahun, dan dia adalah perempuan. Kalau saja ia tidak memaksa Chi Feng Zun untuk memberikannya pedang maka tak mungkin juga pedang itu menjadi miliknya.
"Di kehidupan masa lalu sekte Nie bisa saja kalah telak karena kurang kuat namun, di kehidupan sekarang... jika aku bertemu muka dengan Jin Guangyao, akan kupenggal kepala pria tidak tahu diri itu," monolog A Qiao sembari meraba pelan sarung pedangnya.
Terlihat jelas bagaimana dendam dari dalam sorot matanya, mendengar bahwa di kehidupan sebelumnya Jin Guangyao adalah musuh terbesar enam sekte dunia persilatan.
***
Matahari sudah terbit sedari tadi namun, Chi Feng Zun masih menahan A Qiao agar pergi ke Gusu setelah sarapan dan dayang sudah mempersiapkan banyak persiapan senjata maupun makanan.
"Bukankah kita akan terlambat jika harus menunggu setelah sarapan? Kita bisa makan di perjalanan, Ayah." A Qiao meracau sebal karena mengira Chi Feng Zun sengaja melakukan hal itu.
"Seorang pemimpin sejati adalah pemimpin yang bisa mendahulukan hal yang lebih penting," balas Chi Feng Zun tanpa menoleh.
A Qiao melirik Nie Huaisang yang sedang menyantap makanannya di hadapan Chi Feng Zun. "Paman, apa kamu mengetahui lembah hantu?"
"Jangan bicara ketika sedang makan," balas Nie Huaisang.
"Ayah dan Paman sama-sama menyebalkan," dengus A Qiao sebelum akhirnya menyantap sarapannya sendiri.
Setelah mereka selesai menyantap sarapan itu, salah satu jenderal perang Chi Feng Zun menghampiri dan mengatakan bahwa kereta kuda yang akan dipakai sudah siap.
"Bagaimana dengan murid lain?" tanya Chi Feng Zun.
"Mereka sudah bersiap, hanya ada dua belas murid yang akan kami bawa sesuai permintaan, Tuan Chi Feng Zun," jawab Jenderal perang itu.
"Berapa banyak senjata yang kalian bawa?" tanya Chi Feng Zun lagi.
"Ada lima puluh bilah pedang cadangan, ribuan anak panah, dan pengait beracun, Tuan. Kami juga sudah membawa peledak suar."
"Bagus, Nie Huaisang... tugasmu adalah menjaga A Qiao," ucap Chie Feng Zun.
"Baik, Kak."
"Aku sangat berharap kalian sampai di Gusu Lan tanpa halangan sedikit pun. Aku harap kalian bisa menjaga diri masing-masing, terutama kamu A Qiao... jangan susahkan pamanmu, jika ada musuh fokuslah kepada dirimu sendiri sebelum fokus membantu sesama," kata Chi Feng Zun.
"Tapi, Ayah... bukankah hal itu terkesan egois?" tanya A Qiao.
"Semua orang yang berperang, harus mempunyai prinsip masing-masing. Sekte Nie adalah sekte yang disiplin. Kamu harus menaati itu," balas Chi Feng Zun. "Pergilah sekarang, kalian harus sampai di sana sebelum matahari terbenam."
A Qiao dan Huaisang mengangguk lantas melakukan koutou, setelah itu mereka pergi menuju kereta kuda sesuai arahan dari Jenderal perang Nie. Mereka akan pergi dengan enam kereta kuda besar dan tangguh.
"Ingat perkataanku, Nie Qiao Lin. Di sana kamu akan belajar, bukan bermain!" seru Chi Feng Zun.
"Hao la. Aku akan mengingat itu baik-baik, Ayah. Tenang saja... aku adalah penerus Sekte Nie di generasi selanjutnya selain Nie Huaisang," balas A Qiao.
Kereta kuda itu segera berangkat saat semua murid yang akan dikirim ke Gusu Lan sudah masuk semuanya. Mereka akan melewati dua desa lain untuk menuju tempat itu, juga melewati gunung vatikan besar yang mana banyak menyimpan misteri kelam mengenai masa lalu yang tak dapat dicari tahu kebenarannya.
Di sana ada sebuah kolam darah yang dikatakan bisa membuat kehidupan seseorang menjadi lebih abadi setelah meminum air kolam itu namun, beberapa buku mengatakan bahwa menuju tempat itu tidaklah semudah membalikkan tangan karena sepanjang perjalanan akan banyak penghalang.
"Ini adalah kali kedua untukku pergi ke Gusu Lan."
"Aku tahu, lalu ... bagaimana pelayanan di sana?" tanya A Qiao.
"Pelayanan apa yang kamu maksudkan?" Huaisang kembali bertanya.
"Pelajaran apa saja yang akan aku dapatkan dari Gusu Lan?" tanya A Qiao.
"Kurang lebih adalah mengenai etiket," balas Huaisang.
"Gusu Lan adalah sekte yang paling mengedepankan etiket dalam dunia persilatan," ucap A Qiao.
"Benar. Dan itulah mengapa mereka tergabung dalam enam sekte yang memerangi sekte Wen."
"Kalau bisa dibilang, musuh utama memang sekte Wen namun, sebenarnya banyak pengacau juga dua puluh enam tahun silam," balas A Qiao.
"Benar."
"Lalu, Paman. Apa yang kamu lakukan jika nanti ada murid umum dari sekte Jin?" tanya A Qiao.
"Musuh utama kita bukan sekte Jin. Karena Jin Guangyao adalah anak haram Jin Guangshan, musuh terbesar kita adalah Wen Rouhan dan Wen Zhiuliu."
"Bukankah mereka sudah mati karena simbol harimau Yin?" tanya A Qiao.
"Walaupun begitu, bisa jadi saja mereka juga dibangkitkan di kehidupan sekarang oleh orang yang menganut aliran sesat," balas Huaisang.
Mereka terdiam sesaat saat mereka mulai mendengar suara dari luar kereta kuda. Tanda bahwa mereka sudah memasuki desa Hua yang terkenal akan pertanian dan ladangnya.
A Qiao menggulung tirai jendela kereta tersebut dan mengintip keluar, tampak beberapa pedagang sedang menjajakan dagangannya. Ada pula yang sedang menjual pernak-pernik indah.
"Setelah dua puluh enam tahun, kenapa Paman tidak menikah?" tanya A Qiao yang sontak saja dibalas oleh sebuah pukulan kecil dari Huaisang.
"Apa yang kamu lakukan, Nie Huaisang!" geram A Qiao.
"Berhenti bertanya seperti orang bodoh, sekarang diamlah," gerutu Huaisang.
"Bertanya pun salah, apa yang harus aku lakukan kepadamu?" balas A Qiao.
"Diam dan tenanglah."
A Qiao mencebikkan bibirnya lantas kembali melempar pandangannya ke luar kereta kuda, mereka akan meninggalkan desa Hua sekarang di perbatasan desa Nanpi.
Terlihat begitu banyak petani bunga dahlia di luar sana, ada pula beberapa petani semak beracun yang akan diolah menjadi obat mujarab.
Desa Nanpi memanglah desa yang terkenal akan tabib-tabib hebat dengan macam-macam metode pengobatan herbal.
"Paman, mengapa desa mereka terlihat biasa saja? Padahal kalau bisa dibilang jika obat-obat yang mereka jual benar-benar mujarab akan menghasilkan puluhan ton tael," ucap A Qiao.
"Mereka hanya menjual obat kepada pendekar seharga tiga tael," ucap Huaisang.
"Aku tak mengerti," balas A Qiao.
"Maka dari itu kamu juga harus belajar banyak hal agar mengetahui banyak hal penting. Mereka tidak maju karena desa mereka tak memiliki pemimpin yang jujur."
BRAK!
Mereka terperanjat saat mendengar sebuah suara yang sangat memekakkan telinga dari luar kereta kuda. A Qiao melirik keluar kereta dan mendapati bahwa mereka sedang ada di pasar terbesar desa Nanpi.
"Maaf, Tuan ... Nyonya ... ada sekelompok orang yang menghadang perjalanan kita," kata prajurit yang menjalankan kuda mereka.
Huaisang menautkan kedua alisnya heran. "Siapa mereka? Dan apa maunya?"
"Maaf, Tuan. Kami tidak tahu apa yang membuatnya menghadang kami," gumamnya.
"Cari masalah saja, orang-orang itu." Tanpa pikir panjang A Qiao mengambil pedangnya dan bergegas turun menghadapi sekelompok orang itu.
Huaisang tak tinggal diam saat melihat hal itu, ia pun segera keluar membawa pedangnya. Sementara itu A Qiao sudah berhadapan dengan sekelompok orang itu bersama dengan Jenderal perang Nie dan beberapa murid sekte Nie yang lainnya.
"Sebuah kebetulan jika petinggi yang terhormat bisa memberikan ribuan tael untuk kami," kata perwakilan orang itu.
A Qiao menyeringai. "Mengemislah dengan cara yang benar, bukan menghadang seperti ini."
"Nona petinggi yang baik, berilah kami tael. Kami sangat kelaparan," ucapnya lagi.
"Siapa sebenarnya dirimu? Mengganggu perjalanan kami saja," gerutu A Qiao.
"Benar. Tidak mungkin pengemis menghadang seperti ini," timpal Huaisang.
"Kami adalah persatuan pengemis yang tersisa di Nanpin, Tuan Petinggi."
"Kamu berbohong, kehidupan di Nanpin sangatlah baik walaupun Nanpin adalah desa yang tidak maju." A Qiao melipat kedua tangannya di depan dada.
"Kalau kamu tak bisa memberi kami tael, kamu tak bisa lewat sini," sergah pria itu lagi dengan tatapan tak suka.
"Kami sudah berbicara baik-baik, apa mau kalian lakukan dengan baik. Jangan mengacau seperti ini," gumam Jenderal perang Nie.
"Tuan! Ada yang merampok persediaan senjata!"
Teriakan itu sontak saja membuat sekelompok orang itu hendak kabur namun sayangnya Jenderal perang Nie lebih cerdik dan meminta beberapa murid sekte Nie untuk berpencar menghadang.
Sebuah peperangan spontan yang membuat A Qiao terenyak kalah cepat dari murid-murid sekte Nie. Huaisang yang sebelumnya sama sekali tak pernah memegang pedang maju ikut memukul mundur perampok dengan dalih pengemis itu.
Tampak bahwa setelah dua puluh enam tahun membuatnya cukup terpacu untuk menjadi orang yang kuat seperti baja. Pedang yang digunakannya tampak berkilat-kilat diterpa teriknya sinar matahari.
"Nona muda, mundurlah! Jangan berdiam diri di tengah peperangan, masuk saja ke kereta." Jenderal perang Nie menyadarkan A Qiao dari lamunan panjangnya.
"Tidak semudah itu," balas A Qiao menggeleng dan tanpa pikir panjang ia mengeluarkan pedang yang ia gendong.
"Nona muda, itu sangat berbahaya! Mereka bukan sekelompok perampok biasa!" teriak Jenderal perang Nie.
Namun, hal itu tak menyurutkan semangat A Qiao untuk belajar terjun langsung ke medan perang. Walaupun ia tidak begitu pandai membaca strategi lawan, ia akan terus berusaha meningkatkan kemampuan berperangnya.
Salah seorang dari sekelompok perampok itu menghadang dengan sebatang bambu kering yang dijadikan tongkat, ia mengayunkan bambu tersebut namun, segera ditampik dengan pedang oleh A Qiao.
Sebuah kenyataan bahwa bambu tersebut bukanlah bambu biasa karena tak retak sedikit pun ketika ditampik begitu kuat oleh pedang sebesar anak baoxia.
Sekali lagi A Qiao mencoba menyerangnya berharap ia bisa mengetahui siapa sebenarnya kelompok aneh itu.
Desingan pedang yang saling bergesekan semakin membuat suasana menjadi sedikit kacau. Dagangan para warga hancur tak tersisa, bahkan beberapa di antarnya harus terluka ketika menjadi tameng orang-orang tak bertanggung jawab tersebut.
"Nona awas! Benang sutra pengikat roh bisa melukaimu!" seru seseorang bersamaan dengan terangkatnya tubuh A Qiao menjauh dari medan perang.
Seorang warga yang bersembunyi di balik gerobak harus tewas terbelah oleh sesuatu yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang.
"Apa yang kamu lakukan, bodoh!" sentak A Qiao geram.
"Nona, benang sutra pengikat roh sangat berbahaya. Ada baiknya kamu menarik mundur pasukanmu karena mereka bukanlah orang biasa," kata pria dengan jubah putih dengan sulaman sutra berwarna hijau mint.
"Jangan memerintahku, kita tidak saling kenal," dengus A Qiao hendak kembali lagi ke medan perang namun, pria tak dikenal itu segera terbang menuju medan perang mendahului A Qiao.
Pria tak dikenal itu membuat kabut tebal yang dapat membuat mata menjadi perih dan berwarna merah. Huaisang yang melihat hal itu segera meminta Jenderal perang Nie menarik murid-murid sekte Nie mundur dan pergi segera dari desa Nanpi.
"Masuk ke dalam kereta cepat, kita sudah begitu banyak memakan waktu menghadapi sekelompok perampok itu," ucap Huaisang menarik lengan A Qiao yang masih berdiam di tempatnya.
"Kenapa kita mundur? Kita harus mengetahui siapa dalang dibalik ini," gumam A Qiao.
"Berhenti bertindak seolah kamu mengetahui segalanya, terkadang mundur adalah hal terbaik dibanding menghabiskan waktu," gerutu Huaisang.