Chereads / Meeting In No Mand's Land / Chapter 40 - 40. Aku menunggumu

Chapter 40 - 40. Aku menunggumu

Mata buram Riani Wen menjadi terang perlahan-lahan, bibirnya memerah dan nafasnya sedikit terengah-engah, ketika dia berbicara, matanya berpaling, dan dengan suara yang serak dia berkata:

"Aku akan kembali ke Shanghai besok malam." dia melanjutkan perkataanya

Riani Wen: "Datanglah ke Green Hotel Kamar 1425, ini adalah malam terakhir ku di Qinghai."

Riko Lu: "..."

Riani Wen menatapnya kembali, tidak ada emosi di wajah Riko Lu, tetapi nafas di sekujur tubuhnya sepertinya membeku.

Riani Wen melanjutkan perkataan-nya sambil menatapnya: "Riko Lu, aku menunggumu malam ini."

Setelah mengucapkan kalimat itu, tanpa mendengar jawaban Riko Lu, Riani Wen langsung mendorong tubuh Riko Lu, dan berjalan pergi.

Riko Lu masih tidak bergerak, dan satu tangannya masih menempel di dinding, setelah beberapa saat dia perlahan menurunkan tangannya dan mengepalkan tangannya dengan erat.

Ketika Sian Su dan yang lainnya melihat Riani Wen keluar dari gedung, mereka sangat senang. Bagaimanapun, dia adalah dewi bagi mereka, seorang superstar, tapi wanita yang begitu baik harus jatuh ke tangan bos mereka.

Yang satu dingin dan tampan, yang lainnya cantik dan sangat baik hati.

Sian Su ingin memanggilnya, tetapi Gadro menutup mulutnya begitu dia ingin berteriak. Gadro menatap sosok Riani Wen yang berjalan sendirian, dan berkata kepada Sian Su: " Lebih baik jangan memanggilnya sekarang, kalau tidak, kapten akan membunuh kita"

Sian Su baru memiliki sedikit pengalaman, dan dia tidak tahu apa-apa tentang masalah pria dan wanita.

Menurut Gadro Keduanya bertengkar begitu sengit, mereka berciuman setelah pertengkaran, dan mereka keluar sendiri-sendiri setelah ciuman itu, jelas masih ada masalah.

Ketika Sian Su melihat ke dewinya dengan mata penyesalan, tiba-tiba bos mereka muncul.

Zhan Xi yang melihat bos mereka datang dengan cepat dia duduk di kursi co-pilot dan berkata kepada Sian Su.

Zhan Xi: "Cepat, duduklah. Jika kamu tidak ingin mati, dan berpikirlah seolah-olah kamu tidak melihat apa yang baru saja terjadi, jangan tanyakan hal apapun."

Sian Su: "..."

Riko Lu kembali, dan langsung menyalakan mobil setelah masuk ke dalam mobil, menarik rem tangan, menginjak pedal gas, melakukan semua gerakan itu dengan sangat cepat.

Mobil langsung melaju pergi, Sian Su duduk di belakang dan tidak bisa melihat ekspresi bos mereka, tetapi dia hanya bisa melihat rahangnya yang kencang dari kaca spion mobil, dan bibir yang ditekan dengan ringan.

Dipikirannya apa yang terjadi.

...

Di malam hari.

Riani Wen berdiri di depan jendela kamar hotel, memandang dalam kegelapan. Di kejauhan, tampak ada mercusuar yang berkedip-kedip. Di bawah langit yang gelap, bintang-bintang berkedip, dan cahaya bulan yang menerpa di atas pegunungan putih yang tertutup salju di kejauhan.

Riani Wen dibalut gaun tidur putih, dengan satu tangan melingkari dadanya, dan segelas anggur merah di tangannya.

Dia baru saja selesai mandi, rambutnya berantakan, baju tidurnya yang longgar melilit tubuhnya, garis lehernya sedikit terbuka, dan keanggunannya yang menggoda tidak terhindarkan.

Riani Wen meminum anggur merah dan setelah itu melihat arlojinya.

Ini sudah jam 21, dan Riko Lu belum muncul.

Rencananya besok Riani Wen akan melakukan perjalanan ke Gunung Bayan Har. Diperkirakan dia akan kembali pada pukul tiga atau empat sore. Dia akan berangkat ke bandara dengan mobil. Dan lusa, dia seharusnya sudah sampai di Shanghai.

Riani Wen sedang membayangkan Riko Lu sambil menggoyangkan gelas anggur di tangannya.

Tidak hanya keren di ranjang, tapi juga sejuk di hati, itu yang dia inginkan.

Riani Wen mengepalkan gelas dengan erat.

...

Suasana koridor hotel sangt tenang.

Tiba-tiba pintu lift terbuka.

Sesosok tubuh tinggi muncul.

Dia mengenakan hoodie hitam, dan jeans berwarna gelap.

Mengenakan topi hitam dan dilapisi dengan topi dari sweter hitam di kepalanya, dia menundukkan kepalanya sedikit, pinggiran topinya menutupi alisnya.

Dia tinggi, dengan kaki yang panjang dan kuat.

Setelah dia keluar dari lift, dia mendongak sedikit dan melihat tanda panah nomor kamar tertulis di dinding.

Pria itu melirik, lalu mengalihkan pandangannya, dan berjalan ke arah kanan.

Di koridor, wallpaper berpola retro oranye tua ditempelkan di dinding di kedua sisi, dan beberapa lukisan dari cat minyak digantung di atasnya, dan karpet merah menutupi seluruh lantai koridor.

Di malam hari, lampu di koridor sedikit redup,

Dia berjalan mengikuti lorong, melewati hidran, melewati lukisan di dinding, selangkah demi selangkah, dan akhirnya berhenti.

Alis yang tertutup pinggiran sweter terangkat sedikit dan menlihat di nomor kamar, 1425.

Koridor sepi, dia hanya berdiri di depan pintu kamar hotel, dan tidak bergerak.

Dia berdiri di sana sangat lama, dan akhirnya bergeser sedikit ke samping, tubuhnya bersandar di dinding di samping pintu.

Dia mengangkat kepalanya sedikit, dan melihat lampu yang redup di koridor dan kemudian menutup matanya.

Cahaya kuning yang redup tidak bisa menghilangkan raut wajah tajamnya.

Hari ini adalah malam terakhirnya di Qinghai, malam terakhir ...

Ini adalah kunjungan pertamanya selama lebih dari 20 tahun, tetapi mungkin juga kunjungan terakhir dalam hidupnya.

Tinjunya sedikit terkepal.

Tepat ketika segala sesuatu di sekitarnya sunyi, tiba-tiba lift di koridor berbunyi.

Kemudian, seseorang muncul di koridor.

Dia mengenakan seragam pelayan, mendorong gerobak dengan sebotol anggur merah dan sebuah kotak—

Pelayan datang langsung ke pintu 1425, berhenti, dan membunyikan bel pintu.

Pria yang berada di pertigaan lorong sedang melihat adegan ini.

Setelah bel pintu berbunyi dua kali, tiba-tiba pintu kamar terbuka.

"Nona, ini anggur merah yang Anda pesan, dan ini."

Apa yang dia berikan padanya adalah kotak merah.

Pria yang bersembunyi di pertigaan lorong itu dapat melihat dengan jelas bahwa itu adalah sekotak ... kondom.

"Terima kasih."

Suara seorang wanita yang dia kenal terdengar, dia membuka pintu sedikit, dan dia mengulurkan tangan putih mulus.

Setelah dia mengambil barang-barang itu, dia menutup pintu lagi, dan pelayan mendorong gerobaknya dan pergi.

Suasana kembali ke dalam keheningan lagi.

Pria itu masih tidak bergerak sama sekali.

Suara gemerisik terdengar, dan dengan suara 'Pata' yang lebih ringan, nyala api menunjukan wajah tampan yang dingin dengan sebatang rokok di antara bibir dan gigi pria itu.

Bulu mata tebal yang menggantung sedikit di bawah pinggiran sweter hitam menyembunyikan segala sesuatu yang tersembunyi di hatinya.

Pria yang selalu tegak dan jujur, kini dia bersandar di dinding koridor, dan kepalanya tertunduk.

Seluruh tubuhnya terlihat, lesu.