Manusia sadar bahwa Sahabat kami adalah Flora dan Fauna.
Jadi kami sebagai Penerus 'Ambisi Ksatria' memperjuangkan Adat Istiadat kami untuk menjaga Flora dan Fauna.
Oh iya, lihatlah, ia yang selalu berada didepan kami, didepanku...
Sosok membanggakan, tangguh, kuat, populer, berani.
Namanya Raga. Raden Mas Raga Agung.
Benar sekali, ia keturunan bangsawan.
"Ayo Er!"
Ia memanggilku, haha, Benar sekali, namaku 'Er'.
Tak banyak orang yang tahu alasan mengapa orang tuaku menamaiku seperti itu.
Itu semua karena kedua orang tuaku meninggal tak lama setelah aku lahir.
Lalu aku diangkat menjadi putra kedua keluarga 'Agung'.
Raga : "Ayo! Yang lain juga semangat! Hari ini 'Taman Ilmu' akan kedatangan 'Santri' baru!"
"Kenapa rasa iri terhadap Er nggak bisa hilang ya."
Aku mendengar Susi dan Sinta membicarakanku.
Susi : "Er selalu diajak kemana-mana sama Raga, sudah gitu, selalu yang paling pertama diajak!"
Sinta : "Udah jangan gitu, wajarlah, Er kan sahabat sekaligus saudaranya."
Gadis berwajah manis seperti Sinta memang murah senyum dan berpikiran Positif, sebaliknya, Susi lebih tomboy dan suka ngomong seenaknya.
Kami berempat berjalan menelusuri taman Apsari, sebuah 'Koridor Pohon' seolah menjadi 'Red Carpet' untuk 'Santri' berusia 15 tahun seperti kami.
Disekeliling, banyak sekali tanaman Bidara dan Bunga-bunga berwarna-warni.
Kicauan berbagai macam burung, suara serangga, dan hangat mentari pagi ini membuat kami, seluruh warga 'Surabaya' meyakini bahwa inilah cara untuk melestarikan alam sekaligus pertahanan terhadap serangan 'Bangsa Jin'.
Suara lantunan Bacaan Suci terdengar menggema, mewarnai pagi ini dengan sempurna.
Kami berempat sampai didepan bangunan suci ini, tempat kami belajar, berlatih, dan berkembang.
Raga : "Itu Santri barunya!"
Ia langsung menerjang kearah anak bertubuh tinggi, dengan postur dan wajah yang asing bagi kami.
Alisnya tebal naik kearah dahi, hidungnya mancung, bulu matanya lebat, begitu lebatnya seolah seperti menggunakan tinta penebal bulu mata. lengan dan betisnya dipenuhi bulu-bulu tipis. Kulit Wajahnya putih bersih.
Raga : "Hei! Aku Raga! Siapa namamu?"
Anak itu menunjukkan raut terkejut yang disembunyikannya dengan baik : "Salam kenal, namaku Malik."
Dibelakangku, aku merasa Susi dan Sinta berbisik membicarakan Santri baru itu.
"Kau datang terlalu awal, Malik."
Aku menyapanya, ia tampak mudah bergaul.
Malik : "Ustadz memintaku untuk datang lebih awal agar bisa bertemu kalian, apakah kau yang bernama 'Er'?"
Hah? Ia mengetahui namaku? Nggak biasanya ada orang baru yang langsung mengenal namaku. Ini pasti informasi dari Ustadz Firman.
Susi : "Eh, Malik, kalau aku kau juga pasti kenal 'kan?!"
Wah-wah, cewek ini nggak ada malunya sama orang baru.
Aku dan Raga menunggu reaksi Malik yang ternyata sesuai ekspektasi kami : "Hmm... maaf, kamu siapa ya?"
Malik benar-benar jujur, walaupun raut wajah dan senyumannya seolah berusaha menjaga perasaan Susi.
Aku, Raga, dan Sinta tersenyum gugup melihat jawaban Malik.
"Uuuuhh!!! Lagi-lagi Er lebih dikenal daripada aku!"
Kami tertawa serentak bersama menyisakan wajah Susi yang cemberut namun perlahan luluh dan ikut tersenyum masam.
Para Santri akhirnya berkumpul. 15 orang santri di lingkungan kami, Kelurahan Kali Rungkut.
Ustadz Firman memasuki Langgar, tempat suci kami untuk belajar ini.
"Baiklah, saya yakin kalian sudah saling menyapa dengan santri baru hari ini, Malik."
Suara Ustadz Firman yang tenang namun lantang memecah hiruk-pikuk obrolan kami.
"Ya!!!"
Kami akhirnya duduk bersimpuh dihadapan meja belajar kami, meja kecil seukuran 50x50 sentimeter.
Ustadz Firman : "Sebelum kita mulai pelajaran hari ini, kita dahului dengan bacaan doa agar hari ini menjadi hari yang baik untuk kita."
Seperti biasa, beliau selalu menuntun kami untuk mengawali hari ini dengan bacaan doa.
"Firman..."
Kami terkejut dengan suara seseorang yang mengurungkan kami untuk memulai doa.
Ustadz Firman : "Wah, lama sekali nggak jumpa, Zahal."
Kami terbelalak. Aku bisa melihat sama sepertiku, Raga, Susi, dan Sinta juga beberapa Santri lain terkejut mendengar nama itu.
Ustadz Firman yang awalnya berdiri dihadapan kami, didepan kelas, menghampiri Tuan Zahal yang berada disisi pintu masuk, dibelakang kelas kami.
Malik mengerutkan dahi, tampaknya ia tak familiar dengan nama itu.
Raga memecah keheningan yang tercipta karena percakapan Ustadz Firman dan Tuan Zahal dengan obrolannya bersama Malik : "Dia tokoh 'Metro' terkenal Malik!"
Ustadz Firman kembali kedepan kelas dengan raut wajah yang berubah setelah obrolan dengan Tuan Zahal yang masih menunggu diluar kelas kami.
Ustadz Firman : "Malik, adalah Calon Penerus dari Bangsa 'Syam', yang akan diangkat menjadi salah satu Calon Kandidat '7 Kaisar' dari 'Bangsa Syam'."
Tempo suaranya menjadi sangat cepat dan terburu-buru, wajahnya menjadi sangat serius, membuat seisi kelas menjadi tegang.
Kami saling memandang satu dengan lainnya, sementara Malik, entah kenapa melihat ke satu arah saja, pandangan matanya tertuju padaku.
Ustadz Firman : "Hari ini selain memperkenalkan Malik kepada kalian dan lingkungan kita, selanjutnya untuk beberapa hari materi pelajaran dan latihan akan saya serahkan kepada Raga, Er, Malik, dan Susi."
Aku terhenyak, hal sama terjadi ketika kulihat Susi juga ikut terkejut mendengar pernyataan Ustadz Firman. 'Ada apa?', seolah raut wajah kami menyiratkan pesan itu.
Berbeda dengan kami, Raga dan Malik terlihat tenang.
Ustadz Firman : "Baiklah, Malik silahkan berkenalan dengan santri lain, sementara Raga, Er, dan Susi saya ajak ke 'Kantor Asatidz' sebentar."
Beliau mempercepat tempo bicaranya lagi dan segera berpaling sambil melempar pandangannya kepada kami bertiga bergantian dengan cepat.
Kami saling memandang seolah mengirimkan pesan yang sama, 'Ayo!', yang membuat kami lekas beranjak dari posisi kami dan segera mengikuti Ustadz Firman.
Langkahnya cepat seperti biasa, namun kami yang terbiasa mengikuti langkah beliau sadar bahwa kali ini langkahnya sedikit lebih cepat dari biasanya. Begitu cepatnya hingga tak lama berlalu hingga membuat kami sudah berada di Kantor Asatidz.
Tuan Zahal, Ustadzah Terry, dan seseorang yang belum kami kenal sudah berada di ruang itu.
Ustadz Firman : "Silahkan duduk."
Raga mengambil inisiatif duduk terlebih dahulu. Mungkin ia sadar bahwa menungguku dan Susi untuk duduk duluan akan menghabiskan waktu berjam-jam (Sinisme).
Wajah Ustadz Firman yang tenang, kalem, dan menyejukkan kini sedikit berubah : "Kami membutuhkan kemampuan kalian, Raga, Er, Susi."
Lagi-lagi aku dan Susi saling memandang setelah mendengar pernyataan tak terduga dari Ustadz Firman.
Raga segera menimpali ucapan beliau : "Apa yang bisa kami bantu, Ustadz?"
Pandangan Ustadz Firman langsung berpindah kearah Raga : "Kami, para Ustadz, dan Ustadzah akan meninggalkan Kelurahan ini untuk beberapa hari.
Kalian akan belajar untuk memulai memimpin dan mengambil keputusan sebagai 'Santri Tingkat Akhir' di 'Taman ilmu' ini."
Susi : "Haaahhh!??"
Aku dan Raga terkejut. Bukan karena pernyataan dari Ustadz Firman, tapi karena ledakan suara Susi yang membuat suasana berubah seketika. Kami semua berusaha menahan tawa.
Ustadz Firman tersenyum hangat : "Saya yakin kalian bertiga terkejut dengan keputusan mendadak ini. Ini adalah kesempatan kami untuk menguji apa yang sudah kalian pelajari."
"Kau terlalu buru-buru, Firman."
Suara Tuan Zahal tiba-tiba menyela ucapan Ustadz Firman.
Ustadz Firman : "Aku banyak belajar darimu Zahal. Bukannya biasanya kau akan bertindak diluar nalar manusia pada umumnya dan menjadikan tantangan sebagai pelajaran."
Tuan Zahal : "Ya, maksudku, bukan seperti kebiasaanmu."
Ustadz Firman kembali memandang kami bertiga satu-persatu. Waktu terasa berhenti cukup lama karenanya : "Selama ini aku tak pernah berani bertaruh pada orang lain. Dan kali ini aku ingin mencoba mempertaruhkannya."
Raga berdiri seketika : "Kami siap, Ustadz! Apa yang harus kami lakukan?"
Dengan pandangan tenang Ustadz Firman memandang Raga yang terlihat bersemangat : "Ya, bagikan kepada teman-teman kalian ilmu 'Membaca', 'Memahami, 'Berpanah', dan 'Berkuda'."
Kami bertiga mengangguk. Beliau sering mengatakan kepada kami bahwa zaman ini berada disaat yang genting. Barusan entah kenapa aku membayangkan sesuatu yang menggiring kami perlahan menuju akhir...