Suara tapak kaki kuda mengiring di Kerajaan Atalaric. Hugo beserta dengan bala tentaranya menyebarkan selebaran dengan kecepatan tinggi. Para penduduk desa menerima selebaran yang turun dari langit.
"Pemilihan Buta Maid Istana"
Tulisan itu tercetak jelas di selebaran. Seorang lelaki berjenggot putih mendapatkan selebaran itu. Dengan cepat, ia membalas larik demi larik yang terdapat dalam selebaran itu. Selebaran itu menuliskan dengan jelas.
"Setiap gadis yang masih suci dan memiliki keterampilan pelayan dapat mendaftar. Barang siapa yang terpilih menjadi maid kerajaan, maka ia akan dibebaskan dalam jeratan hutang dan pajak kerajaan."
Kalimat itu terus terngiang dalam pikiran Loye Frankie. Loye adalah rakyat jelata yang hanya mengurus ladang tanah bangsawan. Boro boro untuk membayar pajak kerajaan, untuk menyambung hidup saja susah. Bahkan, hutangnya terhadap kerajaan sudah begitu besar. Selama empat tahun ia tidak pernah membayar pajak kerajaan karena tidak mampu. Tahun ini, adalah batas penalti kerajaan. Kalau keluarga Frankie menunggak lagi, salah satu dari mereka, akan dipenggal dan disaksikan oleh rakyat kerajaan Atalaric.
Salah satu bentuk pembangkangan terhadap Kerajaan Atalaric.
Dengan membawa selebaran di tangannya, Loye pulang ke rumah.
"Audrey di mana?" tanyanya sembari meletakkan peralatan berladang di pojok rumah.
Istrinya, Barsha Frankie menengok ke arahnya, lalu menjawab, "Audrey sedang bertani di desa seberang. Mungkin nanti sore ini pulang."
"Ibu, aku menemukan ini di setapak tadi."
"Apa itu?"
"Pengumuman pemilihan maid."
Barsha menghentikan aktivitasnya. Ia ikut membaca pengumuman itu. Seketika itulah ia memandang kepada suaminya.
"Maksudmu memberikan ini apa?"
"Aku ingin anak tertua kita, Audrey dikirim ke dalam pemilihan buta maid. Karena, hanya ini satu satunya kesempatan bagi kita melunasi hutang."
*
"AYAH PIKIR AKU MAU IKUT PEMILIHAN MAID KONYOL ITU?" seru Audrey ketika kedua orang tuanya meminta dirinya untuk menjadi maid kerajaan.
Kala itu, Audrey baru saja pulang dari ladang di desa seberang. Tubuhnya masih bersimbah keringat dan dekil. Namun, rasa lapar yang menggerogoti perutnya itu tidak tertahankan. Jadi, ketika pulang, ia membasuh wajah dan tangan, serta langsung menghambur ke meja makan. Ketika ia memakan roti gandum murahan yang begitu keras, ayahnya mengumandangkan pengumuman, kalau ia harus mendaftar pemilihan maid.
"Ayah bercanda?" tanya Audrey dengan tatapan tajam.
"Tidak. Ayah tidak bercanda. Pemilihan kali ini, adalah pemilihan buta. Mereka tidak memandang fisikmu, melainkan keterampilan dan kemampuanmu mengambil hati sang pangeran."
"Menjijikkan. Aku tidak mau menjadi pelayan dari pangeran jahanam itu."
Barsha, sang Ibu mendengar ucapan Audrey. "HUST!! Hati hati kalau bicara. Bisa saja kau dipancung di tengah kota dengan mulutmu yang berbisa!"
"Ibu, Ayah, aku tidak mau menjadi maid sialan itu! Sekali mereka masuk ke sana, pangeran bisa saja menjilati tubuh maid! Kita tidak tahu!"
Mendengar perkataan anak tertuanya, Barsha memukul punggung anaknya dengan keras. "Sudah Ibu katakan, hati hati kalau berbicara. Kita tidak tahu apakah tetangga mendengar atau tidak. Kalau tetangga mendengar ucapanmu, kau bisa mati!"
Audrey mendesah panjang. "Bahkan, ketika jauh dari sang pangerang, kita juga dihantui oleh kekejamannya. Ibu dan Ayah memintaku untuk datang ke sana?"
BRAK!!!
Loye menggebrak meja makan. Ia berdiri dari tempat duduknya. Tatapan Loye berubah begitu nyalang. "Audrey, kau adalah anak tertua di keluarga ini. Pruistine dan Nissim masih membutuhkan banyak biaya. Mereka masih kecil."
Bedebah. Bedebah. Bedebah.
"Kita juga memiliki hutang pada kerajaan. Tidak bisakah kau mengerti?"
Audrey mengembuskan napasnya. Sekali pun, ia tidak mau untuk menjadi maid. Ia merasa jijik pada para gadis maid yang mengagungkan kecantikan adalah segalanya. Ketika mereka pulang, mereka begitu cantik seperti pajangan.
Audrey yakin, selama di istana, mereka semua dinikmati oleh Rhysand keparat itu. Kalau tidak, mengapa Pangeran Rhysand begitu memperumit pemilihan maid?
"Menjijikkan."
"Audrey mengertilah," kali ini Barsha yang bertutur memelas.
"Baiklah. Aku akan ikut pemilihan maid. Tetapi, kalau aku tidak diterima tahun ini, aku akan hidup bebas semauku sendiri. Entah bertani atau menjadi petualang hutan. Aku tidak peduli." desis Audrey.
"Ini perintah terakhir ayahmu sebelum kau beranjak dewasa."
*
Audrey memegang kencang roknya yang setinggi lutut. Sialan, dalam pemilihan maid ini, mereka semua diberi pakaian seragam ketika masuk istana. Mereka tidak diperbolehkan mengenakan pakaian dari rumah. Ditakutkan, mereka membawa benda yang dapat melukai keselamatan Pangeran.
Selama hidupnya, Audrey tidak pernah mengenakan rok. Sebagai anak tertua di keluarga Frankie, dia harus bekerja. Ia bekerja di ladang sejak umur dua belas tahun. Umur yang begitu belia. Sementara, gadis lainnya masih belajar baca tulis.
Sementara Audrey, tidak pernah belajar membaca dan menulis. Ia buta aksara. Audrey tidak peduli. Asalkan ada roti gandum tersaji di meja makan keluarganya, itu sudah lebih cukup.
"CEPATLAH BERBARIS!" seru seorang wanita begitu keras.
Ia mengatur barisan. Di depan ruangan sang pangeran, berjajar para gadis yang cantik. Tubuh mereka begitu lembut seperti sutera. Kulit putih bersinar. Dan juga, begitu anggun. Mereka semua jauh lebih dewasa dibandingkan Audrey. Sudah jelas, mereka berusia dua puluh tahun ke atas. Sementara Audrey masih delapan belas tahun.
Audrey yakin seratus persen, sang pangeran tidak akan memilihnya.
"BERIKUTNYA!" wanita itu kembali berteriak.
Ketika itulah, tiba saatnya Audrey masuk ke dalam ruangan.
Audrey meletakkan tangannya di dada. Itu adalah perintah terakhir ayahnya. Sebelum ia akan meninggalkan keluarga mereka dan diberikan kebebasan.
Audrey, tenanglah.
Ia hanya perlu mengacaukan semuanya dan membuat Pangeran Rhysand mengacuhkannya. Maka, ia akan bebas.
Berpaku pada keyakinan itu, Audrey Frankie, peserta pemilihan maid termuda, memasuki ruangan Pangeran Rhysand.
*
HUGO dan seluruh maid istana Rhysand yang tersisa mengurus perlengkapan pemilihan maid secara buta. Hugo memasang tirai berwarna hitam legam di depannya.
"Tuanku Pangeran, izinkan aku untuk menjelaskan pemilihan maid ini."
"Baiklah."
"Jadi, nanti, seorang calon maid akan masuk ke dalam ruangan ini. Pangeran bebas untuk menanyainya apa pun. Lalu, dari situlah, Pangeran bisa mengerti karakter mereka."
Rhysand menunjukkan wajahnya yang tidak senang. "Bagaimana jika aku ingin melihat wajah mereka?"
"Pangeran tidak akan kami perkenankan untuk melihatnya. Jadi, saya meminta kepada Pangeran untuk menanyakan sepuasnya kepada mereka, sehingga Tuan tidak memikirkan wajah mereka sedikitpun,"
Rhysand mengangguk. Dan…, pemilihan itu dimulai.
Berbagai macam wanita masuk ke dalam bilik tirai gelap di hadapannya. Suara mereka melengking halus. Terkadang tertawa menggodanya.
Sial. Tidak ada yang menarik perhatiannya.
Saat Rhysand hendak menyerah, seorang gadis masuk ke dalam ruangannya. Gadis itu beraroma bunga dan rerumputan. Gadis yang membawa aroma musim panas. Terik matahari.
Secara refleks, Rhysand menegakkan tubuhnya. Aroma gadis itu begitu memabukkan.
Rhysand menelan ludahnya sendiri. Aroma itu melesak kuat di hidungnya tidak tertahankan. "Siapa namamu, gadis manis?"
"Namaku Audrey Frankie."
*