Riuh sorak-sorai terdengar, awan hitam tebal membumbung tinggi menghiasi langit yang tampak suram. Tetesan air membasahi jalanan yang dipenuhi orang-orang berkerumun mengelilingi alun-alun kota kerajaan Tourmaline. Bermacam-macam ekspresi mereka berikan kala melihat sesuatu yang baru saja digantungkan salah satu prajurit Kerajaan. Beberapa dari mereka terlihat pucat pasi, ketakutan, gemetar. Namun ada pula yang tak berekspresi dan hanya berlalu pergi.
Satu hal yang pasti anak-anak menangis ketakutan setiap hal serupa berada di tengah alun-alun kota, dan kali ini yang berada di sana adalah salah satu bagian tubuh manusia. Tepatnya sebuah kepala seorang pria paruh baya dengan surai pirang yang mulai memutih ditancapkan pada sebuah tiang besi runcing yang kini berlumuran cairan kental merah. Kepala Raja Kerajaan Agate berhasil dibawa pulang dan sebagai sebuah penghargaan atas kemenangan pasukan elite Vladmire, Raja Kallisto mempertontonkannya ke hadapan publik. Atau lebih tepatnya seperti sebuah ancaman bahwa tidak ada satu orang pun yang dapat menolak permintaannya, bahkan seorang Raja sekalipun.
Di antara lautan manusia yang tengah berebut melihat 'benda' di tengah alun-alun kota seseorang mengepalkan tangannya erat dibalik tuduh jubah maroon miliknya. Tak ingin berlama-lama di tempat itu sosok tersebut segera keluar dari kerumunan manusia di sana. Langkahnya tampak tergesa melewati setiap sudut kota hingga akhirnya sosok tersebut berbelok dan terus berjalan menuju daerah paling pinggir Tourmaline.
Setelah memastikan bangunan tua di hadapannya yang memiliki beberapa buku terpajang rapi di etalasenya itu adalah tempat yang ia cari, sosok tersebut segera melangkah masuk.
Aroma teh yang baru diseduh bercampur dengan aroma khas kertas-kertas dari buku menyambut indera penciuman sosok bertudung tersebut.
"Selamat datang," sapa seorang wanita dengan apron melilit di pinggang.
Sosok tersebut berjalan masuk dan memilih untuk duduk di meja panjang tepat di hadapan sang wanita pelayan.
"Earl-Grey saja," ujar sosok itu masih tak melepas tudung miliknya.
Sebuah cafe buku yang terletak di pinggir daerah Tourmaline adalah tempat yang cukup nyaman untuk melepas penat serta membaca berbagai buku dari setiap penjuru daerah. Meskipun bangunannya tidak terlalu besar namun koleksi buku yang dimilikinya terbilang kelewat lengkap.
Jejeran rak buku tinggi serta lebar menghiasi setiap dinding kayunya, sementara di sisi lain rak-rak itu telah berjajar rapi meja kursi yang dihiasi bantal duduk rajut buatan tangan sang pemilik. Selain itu ada satu hal yang menjadikan tempat ini begitu istimewa karena memiliki satu rahasia besar tersimpan dibaliknya.
"Apakah 'dia' belum tiba?" tanya sosok bertudung tersebut lirih, suaranya terdengar sedikit bergetar. Kedua tangannya mengepal erat di atas meja, sementara kedua iris emasnya menatap secangkir teh yang masih mengepul di hadapannya. Wanita pelayan itu tampak beraut sedih, sedikit tergesa ia segera mengambil tempat tepat di samping sosok itu dan mengenggam tangannya
"Tenanglah nona, My lord akan segera tiba sebentar saja," tutur sang wanita berparas ayu itu lemah lembut. Tubuh sosok di hadapan wanita itu bergetar menandakan dirinya tengah menangis. Tak tega melihatnya sehingga wanita dengan rambut bergelung tinggi itu menarik sosok yang jauh lebih rapuh darinya ke dalam pelukan hangatnya.
"Anda sudah aman, semua akan baik-baik saja."
"Beliau pasti akan melindungi kalian, kami akan bersama anda, jadi jangan khawatir," jelas sang wanita pelayan lembut mencoba menenangkan sosok itu. Suasana cafe hening sekalipun di sana tak hanya berisi mereka berdua saja, namun denting jarum jam tua dan derasnya tetesan hujan yang jauh dominan mengisi ruang.
Hingga suara bel tanda pintu terbuka terdengar, setiap orang yang ada di sana segera berdiri dengan raut sumringah. Mereka tersenyum kala melihat seorang pria bersurai pirang memasuki cafe dengan tudung berwarna hitam, hanya saja raut mereka berubah kebingungan kala melihat dua sosok jauh lebih kecil dibanding tubuh sang pria tengah mengekor di belakangnya.
"Anda sudah tiba Tuan Erwin," sapa seorang pria paruh baya bersetelan hitam setengah membungkuk memberikan hormatnya sembari menerima mantel pria pirang berwajah jenaka itu.
"Dimana wanita itu Gray?" tanya Erwin sembari menuntun kedua sosok lain di belakangnya untuk tetap mengikuti langkahnya. Belum sempat pria tua bernama Gray itu menjawab, pandangan Erwin jatuh pada sosok dalam dekapan wanita berapron yang duduk di bagian depan cafe.
"Yang Mulia Elizabeth?"
Merasa dirinya terpanggil, sosok bernama Elizabeth itu segera melepaskan pelukannya dari wanita berapron di hadapannya. Elizabeth melepaskan tudung maroonnya menampilkan surai keemasan yang nyaris memutih, namun masih tampak begitu indah. Iris keemasannya berkaca kala melihat dua sosok malaikat kecilnya tengah berdiri dengan pandangan menahan tangis.
Tanpa menunggu waktu lama keduanya menghambur ke dalam pelukan Elizabeth yang sudah sesenggukan. Berulang kali sang mantan Ratu berucap syukur dan terimakasih karena telah berhasil menyelamatkan putra putrinya. Momen haru yang menyayat hati siapapun ketika melihat adegan Ibu dan anak terpisah karena negara dimana rumah keluarga kecil berada itu telah hancur lebur.
Bahkan bagi pria bersurai pirang apa yang terjadi pada ketiga sosok di hadapannya itu berhasil memupuk kebencian di dalam hatinya semakin menggunung. Persetan memang Kallisto dengan segala kegilaanya pada tahta, jika bukan karena abdinya pada sang Tuan muda, ia pasti tidak akan mau hidup menyamar bertahun-tahun dan menjadi salah satu kaki tangan Kallisto.
Tidak akan ada yang bersedia kecuali dirinya karena harus hidup sebagai Jade Burton. Seorang wakil kapten dari pasukan elite Tourmaline, si pria konyol yang ceroboh namun juga bertalenta. Benar-benar berbanding terbalik dengan kepribadiannya yang teliti bahkan selalu berhati-hati.
"Terimakasih telah menyelamatkan mereka Erwin," ujar Elizabeth sembari mengulas senyum dengan air mata yang masih mengalir dari sudut matanya.
"Tidak perlu berterima kasih ini adalah tugas kami," balas si pria pirang turut menyunggingkan senyum ramah.
"Oh, dan lagi di sini nama saya bukanlah Erwin, tapi Jade Burton. Tolong panggil saya Jade saja nyonya," tambah Jade lagi setengah tertawa, entah menertawakan apa. Elizabeth mengangguk, air matanya telah ia seka dan hanya menyisakkan kedua manik keemasannya yang tampak sembab.
"Jadi, kira-kira kapan beliau akan tiba Tuan?" tanya wanita berapron yang telah kembali berdiri dibalik meja, tangannya tampak sibuk menyeduh cangkir teh lain.
Si pria pirang menarik salah satu kursi yang terdapat tepat di depan pintu masuk, iris safirnya memperhatikan suasana cafe yang kembali bising, "Sebentar lagi."
Tepat setelah ucapan sang wakil kapten bel pintu berbunyi tanda seseorang baru saja memasuki cafe, senyum terulas di kedua sudut si pirang yang telah berdiri dari duduknya dan membungkuk memberikan hormatnya kepada sang Tuan Muda. Begitu pula dengan setiap pengunjung café, mereka melakukan hal yang sama.
"Selamat datang, Tuan Muda Killian."
Masih berada di depan pintu seorang pria bertudung hitam melepas tudungnya yang menampilkan surai kelamnya. Iris saga miliknya melihat ke arah sekeliling penjuru cafe, ia mengenali satu sosok yang ia khawatirkan. Elizabeth D'Agate adalah Ibu dari kerajaan Agate, tepatnya sebelum kerajaan itu hancur lebur. Ia merasa lega karena janji pada mendiang Raja Agate yang ia titipkan padanya berhasil dipenuhinya.
Killian melangkah menuju tengah ruangan dan tepat seiring dengan langkah sosok pemilik manik ruby itu bangunan tua cafe menghilang. Keberadaan cafe bernama La Zontea itu seolah antara ada dan tidak, layaknya hantu yang dapat melihat para manusia namun tidak semua manusia dapat mengetahui keberadaan mereka, termasuk melihat mereka.
"Terimakasih karena telah tiba dan menerima undangan saya," ujar pria bersurai kelam yang telah memulai dialognya untuk membuka salah satu rahasia yang berada dibalik cafe itu. Beberapa orang tersenyum yang lain menggeleng menjawab prolog hangat si pria dingin.
"Mari kita mulai, pertemuan untuk membahas debut pertama kita nanti."