Sinar matahari muncul dengan semburat keemasan. Pak Hartono beserta staf intinya menghadap instansi untuk mencoba menghentikan kedua proyek tersebut.
Aku dan Lido membantu ibu Jane mengangkut boks kayu ke truk pick up untuk dibawa ke wilayah konflik. Berharap ada beberapa bibit pohon yang baru ditanam masih bisa diselamatkan. Andin dan Bea membuat jalur penyelamatan satwa dibantu oleh mas Rudi.
Peta terbentang di lantai dan coretan demi coretan mewarnai kertas peta. Jam menunjukkan jarum diangka sembilan. Terlintas untuk menelepon Ibu.
Tapi apa yang akan kukatakan nanti? Sebuah mobil sedan merah masuk ke halaman. Aku mengenali mobil itu, dan benar, milik Tante Lies, ibu Andin.
"Tante?" seruku girang sekaligus terkejut.
"Hai ... hai, kaget yaaaa?" balasnya ceria.
Aku mencium tangannya dan berteriak memanggil Andin. Tante Lies terlihat lebih kurus dari terakhir kami bertemu. Rambutnya sebahu sudah memutih sebagian.
Ekspresi lega terlihat di wajah Ibu Jane saat tahu Tante Lies sudah tiba. Andin berlari memeluk ibunya dan memperkenalkan Bea.
"Jadi semua udah direncanakan nih? Kok nggak kasih tahu aku?" tanyaku sedikit jengkel, karena ternyata ini bagian dari rencana.
"Ayo semua masuk dulu, kita lanjutin di dalam," ajak Ibu Jane.
Kami masuk dan duduk di teras rumah. Setelah basa basi sebentar, Ibu Jane mempersilahkan Tante Lies untuk memulai.
◇
Usia delapan tahun, Bian melakukan hal pertama kali dalam hidupnya yang tidak pernah dia sadari atau ingat.
Saat dia menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar, Bian menghancurkan seluruh isi rumah, karena rasa tertekan oleh perdebatan ayah dan ibunya.
Secara ilmiah itu disebut dengan telekinesis. Kemampuan seseorang menggunakan 'mind power' nya untuk menggerakkan benda-benda di sekitar.
Ibu Bian, Ni Luh Irawati, seorang dokter anak yang berfikir logik, menganggap itu perlu diredam. Wisnu Sudrajat, ayah Bian, menganggap itu anugerah yang perlu dijaga dan dilatih supaya tidak membahayakan orang dan dirinya, begitu pemikiran awalnya.
Ternyata bertahun-tahun perdebatan tentang cara mengasuh Bian berujung malapetaka. Pertengkaran terakhir Ira dan Wisnu, menyulut Ira untuk menuntut cerai dan meminta hak asuh anak. Wisnu pergi dengan pikiran kalut hingga mengalami kecelakaan mobil.
Liestanti, sahabat Wisnu yang juga tetangga mereka, mencoba untuk menyelamatkan Bian dari kungkungan ibunya. Mereka berpikir, Ira merebut hak seorang anak untuk hidup dalam memori indahnya.
Ira menghipnoterapi Bian bertahun-tahun, menghapus ingatan tentang kemampuan khusus putranya.
Biantara Sudrajat. Seorang keturunan dari prajurit mataram, yang ditakdirkan untuk menjadi penyelamat bumi bagian timur, harus melupakan takdirnya hingga bertemu dengan Bea.
Kemampuan telekinesisnya mampu menggerakkan apa pun. Termasuk elemen di bumi. Tentunya, kekuatan Bian yang tidak pernah diasah memiliki keterbatasan.
Pada malam saat kecelakaan itu terjadi, Liestanti melihat mahkluk yang tidak diketahui berasal dari dunia mana. Sosok itu ada di mobil yang dikendarai Wisnu. Entah apa sebabnya, hingga mobil itu hilang kendali dan menabrak sebuah truk besar.
◇
"Bapak dibunuh ...," desisku. Tante Lies menghela napas prihatin.
Aku tidak menyalahkan Ibu yang berusaha memberikan hidup terbaik menurut idealismenya. Tapi fakta barusan, yang tante Lies ceritakan, mengubah cara pandangku terhadap cerita Andin sebelumnya.
Andin berusaha untuk menutup mulutnya dan tidak memberi komentar apa pun.
"Bian, dunia ini penuh dengan teka-teki. Kita tidak bisa mengurai puzzlenya satu persatu. Berhentilah berfikir dan jalani hidupmu sebaik mungkin," nasehat Tante Lies membuyarkan lamunanku.
"Dan melupakan semua hal yang aku ketahui?" tanyaku.
"Jadi apa inti dari Tante Lies cerita barusan? Untuk menambah beban pikiranku? Tahukah Tante rasanya jika tau kapan maut menjemput kita? Tahukah kalian betapa takutnya saya menyaksikan kematian saya sendiri?!" Aku lepas kendali.
Andin menyentuh lengan ibunya untuk menguatkan. Wanita yang kukenal dengan sangat baik selama ini sebagai perempuan paling bijak, menatapku dengan sedih.
"Bian, Tante menceritakan ini karena kamu akan mengetahui siapa mahkluk yang tanpa sengaja menyebabkan ayahmu meninggal. Dan saat kamu tau, itu akan menjadi dilema bagimu." Tante Lies setengah terisak menerangkan kepadaku.
"Maksud mama?" giliran Andin yang bertanya. Tante Lies menatap Bea dengan mata menuntut. Bea menunduk dalam-dalam.
Deg.
Hatiku menjadi tidak tenang.
"Aku yang menyebabkan ayahmu terbunuh, Mas Bian." kata-kata Bea menguncang semua yang ada di situ. Ibu Jane memekik kecil.
Tante Lies mengelengkan kepala,
"Dia tidak sengaja," belanya.
"Jika Bapakmu masih hidup, dia akan membersihkan Alas Purwo dari segala bentuk setan dan jin. Dia akan memporak porandakan kerajaan jin tertua di pulau ini. Balasan setimpal akan diberikan kepada manusia yang tidak bersalah." Bea menerangkan semua dengan tenang.
"Aku bukan hanya penjaga, aku penyeimbang dan penghukum. Setiap mahkluk berhak hidup. Mahkluk dunia bawah tidak pernah menganggu sedikit pun atau mencari perkara. Manusialah yang datang untuk kepentingan mereka sendiri. Leluhurmulah yang mengingkari janji, dan dia terbunuh menjadi tumbal. Bapakmu dan keluarganya tidak terima, mereka ingin menuntut balas." Kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya. Bea tidak menunjukkan emosi apa pun. Semua tampak tenang dan tertata rapi. Dia sudah siap akan kejadian ini.
"Wisnu Sudrajat ingin menggunakan kekuatanmu untuk menghancurkan seterunya." Bea bangun dari duduknya dan berjalan turun ke bawah. Pada anak tangga terakhir dia menengok,
"Saat aku bertanya akankah kau bertahan sampai akhir, kau berikan hatimu padaku. Apakah itu masih berlaku?" Bea menatapku dengan tajam. Jiwaku bergolak.
"Setelah apa yang kau lakukan pada Bapak?" tanyaku kembali dengan sinis.
"Aku tidak membunuh ayahmu Mas Bian. Dia yang putus asa dan menabrakkan dirinya sendiri, setelah tau bahwa engkau kupilih menjadi Quentivaku." Bea berlalu dengan mata berkaca-kaca.
◇
Dunia serasa berputar dengan cepat dan aku berada di tengah sebagai pusarannya. Setelah Bea pergi aku hanya termenung di kamar. Tidak ada satu pun yang mendekatiku.
Bagus, aku punya waktu untuk berfikir selanjutnya. Ibu, dia ingin melindungiku dari ambisi bapak dan keluarganya. Bea, ternyata sudah memilihku sebagai Quentiva sejak lahir. Tante Lies dan Andin, kenapa mereka mendukung keluarga Bapak?
Seribu pertanyaan berputar di kepala. Aku lelah dan memutuskan untuk tidur.
◇
Getar ponsel membangunkanku. Suasana kamarku gelap. Rupanya sudah malam. Aku melihat panggilan dari Ibu dan kuangkat.
{Bu}
{ya Bi, punapi gatra}
-Bahasa bali : apa kabar-
{baik bu, ibu sehat?}
{astungkara sehat}
{Tante Lies barusan telepon, meminta maaf. Kamu dah tau semuanya kan?}
{sudah bu}
{apa keputusanmu?}
{kenapa ibu tidak pernah cerita?} Ibu terdengar menghela napas.
{Bian, sudah berbagai cara ibu tempuh untuk meredam kemampuanmu. Tapi betul kata pemangku-pendeta hindu- bahwa kamu tidak bisa lari dari takdirmu. Ibu ikhlas kok, Bi. Asalkan takdirmu menjadi pelindung, bukan sebagai alat balas dendam keluarga bapakmu}
Ibu terdiam sejenak, kudengar isak tangis tertahan.
{Ibu hanya bisa berdoa pada Sang Hyang Widhi, Bian. Bahwa garis hidupmu sudah tertulis sedemikian rupa, Ibu berharap kamu ambil keputusan yang bijak. Do engsap, cai panak Ibu -jangan lupa, kamu anak Ibu-. Mesti buat yang adil}
Aku tidak menyangka ibu akan berkata demikian.
Setelah kuakhiri panggilan, aku menangis seperti anak kecil. Betapa tegarnya Ibuku. Bertahun-tahun menerima cacian dan hinaan dari seluruh keluarga Bapak. Ternyata ini maksud dari semua.Aku menyeka airmata dan mencoba membulatkan tekad hati pada pilihanku.
◇
Saat aku memasuki ruang tamu, semua tampak lega.Pak Hartono bangkit dari duduknya dan memelukku disusul Ibu jane. Mereka mempersilahkan aku duduk bergabung di ruang tamu. Aku tahu pasti arah pembicaraan ini.
"Bian, maaf sebesar-besarnya. Kami yakin ini tidak direncanakan oleh Bea. Kami juga menyesalkan kenapa harus menimpamu," suara Pak Hartono terbata-bata penuh sesal.
"Tante Lies dan Andin juga minta maaf sudah menuduh ibumu selama ini. Kami terlalu sombong dengan kemampuan kami. Ternyata yang terlihat tidak sepenuhnya betul," Tante Lies mulai terisak. Aku mengulurkan tanganku ke sebelah dan meraih tangan wanita yang sudah ikut melindungiku dari kecil.
"Ibu menjelaskan semua." Aku menarik napasku dalam dalam.
"Rupanya takdir bermain lucu. Saya ikhlas walau belum tau harus memutuskan apa." Aku mengakhiri dengan meremas tangan Tante Lies lembut.
Andin memeluk lenganku.
"Makasih, Bi," bisiknya haru.
"Nah ayo kita makan malam dulu, sudah siap nih," ajak Ibu Jane.
Kami beranjak ke ruang makan. Suasana sedikit demi sedikit mulai cair. Bea masih belum tampak. Aku kembali gundah gulana.
Tapi kutekan perasaanku. Rasa gengsi dan bimbang masih bergelayut.Aku tidak bisa menebak isi hatiku sendiri. Mungkin mengesampingkan masalah pribadi adalah yang terbaik.
Waktu yang diberikan oleh Gayatri tinggal dua hari. Pak Hartono belum berhasil meyakinkan pihak yang berniat untuk mengubah Alas Purwo menjadi lokasi wisata komersial.
Jika ini tetap tidak bisa dihindari, maka takdirku sebagai Quentiva harus terjadi.
Hidupku, mungkin, tinggal dua hari lagi.
♧♧♧
Bersambung