"Kapan keretanya lewat lagi?"
Melihat jam di tangan, Tara menjawab, "Lima belas menit lagi."
"Kamu sehafal itu?"
"Mungkin karena seeing ke sini. Jadi hafal sendiri."
Cokelat hangat di antarkan ke meja mereka. Dua mug besar. Tara tersenyum pada anak lelaki bertubuh tambun, yang memilih berlalu tanpa melempar godaan karena kali ini Tara duduk bersama Kiya.
"Jadi kamu ke sini karena pengin dengar suara kereta?"
Dijawab Kiya dengan pendek. Dia kini menunjukkan sisi dirinya yang dingin. "Iya."
Tara tahu itu. Kiya memang tak seramah kemarin, mengingat perempuan itu sudah memiliki kekasih. Tapi tidak masalah, Tara tidak benci atau apa. Kiya berhak bersikap seperti itu. "Kamu nggak perlu sejauh ini cuma buat nyari suara kereta."
Kiya mengangkat bahu. "Mungkin kangen sama cokelat di sini juga."
Tara tiba-tiba menunjuk dinding yang penuh coretan. "Nama kita masih ada di sana. Udah ketimbun sebenarnya, tapi masih kebaca kalau jeli."