Seorang wanita paruh baya membuka pintu lalu menghambur kedalam pelukan cowok disebelahKiya. "Sudah lama kamu tidak kesini, semenjak—"
Raka melepaskan pelukannya, kemudian memotong perkataan wanita yang biasa dipanggil Bibi Anah. "Raka bawa banyak makanan loh, Bi, semuanya ada dibagasi mobil." Ujarnya cepat.
Bi Anah tersenyum tipis. "Kamu masuk dulu, nanti Bibi minta tolong paman kamuuntuk membawakannya kedalam." Bi anah melirik pada seseorang disebelah Raka yang sedang menunduk dan menggerakan ujung kakinya. "Dia pacar kamu?"
"Hah?" Kiya mendongak dan melotot kaget saat Bi Anah menyebutkan bahwa Raka adalah pacarnya.
"Iya, Bi. Pacar Raka." jawab Raka tersipu malu, lalu Kiya menginjak ujung kaki Raka keras, membuatnya meringis kesakitan.
Bi Anah hanya menggelengkan kepala melihat sepasang pemuda yang sedang bertengkar,lalu menggeser tubuhnya untuk memberikan jalan kepada Raka dan Kiya agar segera masuk kedalam panti.
Kiya berjalan dibelakang Raka, dia menoleh kebelakang dan sudah tidak ada Bi Anah disana. Lalu tangannya mencengkram tangan Raka, untuk menghentikan langkah kaki cowok itu. "Lo ngapain ajak gue kesini?"
Raka menoleh ke arah Kiya, lalu tersenyum tipis. "Biar kamu gak bawel dan merengek untuk selalu minta pulang, Kiya." Batin Raka bergumam.
Kiya melambaikan tangan kanannya didepan wajah Raka. "Raka? Kok bengong?"
"Ehh—" Raka mengerjap.
"Lo mulai giila, ya? Diajak ngomong malah bengong. Atau lo Kesambet kali ya di jalan?"
Raka terkekeh. "Kamu tau, kan? Sebagian otak dan tubuh aku emang sudah terkontaminasi dengan hadirnya kamu didalam hidup aku, Ki," Kiya memutar bolamatanya dengan malas saat mendengar jawaban dari mulut Raka yang tidak ingin dia dengar.
Raka membawa langkahnya ke suatu ruangan yang dipenuhi oleh banyak anak kecil. Mereka sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Sebagian ada yang sibuk membaca buku cerita, menonton televisi dan bermain hingga tertawa. Tapi tidak ada satupun yang merasa terganggu dengan perbedaan disetiap kegiatan mereka.
Seorang gadis kecil menatap ke arah Raka, dia yang sedang bermain langsung berlari kearah Raka, dan Raka menyejajarkan tingginya dengan tubuh anak kecil itu. "Kak Raka!" ujarnya sambil memeluk tubuh Raka dengan erat, kedua matanya terpejam sesaat. "Kakak jahat!" lanjutnya. Dia melepaskan dekapannya dengan Raka, lalu melipat tangannya didepan dada.
Kiya terkekeh melihat kesamaan sifatnya dengan gadis kecil itu, berprilaku manis lalu tiba-tiba bisa merajuk kapan saja. Dia belum ingin membuka suara. Kiya masih ingin melihat pemandangan yang menyejukkan hatinya. Namun lamunannya pada sosok gadis kecil dihadapan Raka membuyar saat segerombolan anak lelaki yang tadi sedang bermain, sekarang mereka berada dihadapan Kiya.
Kiya bertumpu pada lututnya. "Ada apa?" tanyanya pada sekelompok anak lelaki yang tersenyum genit.
"Kakak cantik deh,"
"Disini gak ada yang cantik kayak Kakak loh!"
"Main sama aku yuk Kakak cantik."
Raka berdehem keras lalu menggeser tubuhnya untuk berada disebelah Kiya. "Yang ini..." Raka memandang Kiya lalu beralih pada lima anak lelaki didepannya."Milik Kak Raka!" lanjutnya, membuat segerombolan anak kecil itu berbalik dan menggerutu dengan wajah kesal.
"Semua yang cantik-cantik milik Kak Raka!"
"Aku juga ganteng, kok!"
"Kok Kakak cantik itu mau ya sama Kak Raka?"
"Anak kecil harus selalu mengalah, ya?"
Kiya tertawa pelan menatap ke lima anak lelaki yang saling pandang sambil menggerutu bersama temannya. Kedua lesung pipi Kiya terlihat, membuat Raka mencubit pipi cewek di sebelahnya itu dengan gemas. Kiya meringis lalu berdecak kesal.
"Aku juga cantik!" ujar gadis kecil yang masih memasang wajah cemberut didepan Raka.
"Kamu marah sama Kak Raka?" tanya Raka lembut.
Kiya memerhatikan tingkah Raka yang tiba-tiba saja menghipnotisnya dalam sekejap. Bagaimana bisa Raka yang dia kenal sebagai cowok yang tidak bisa diam di kampusnya, lalu sekarang berubah menjadi Raka yang kalem dan penuh kasih sayang.
"Iya, Luvi marah! Karena Kak Raka jarang main kesini lagi!" bentak anak gadis yang bernama Luvi itu. "Jangan-jangan..." Luvi menggantungkan perkataannnya.
"Apa?" Raka menatap Luvi keheranan.
"Gara-gara Kakak cantik itu, ya?" lanjutnya.
Rakaterkekeh, lalu mengecup kening Luvi dengan penuh rasa kasih. Tangannya terangkat lalu mengusap rambut Luvi dengan gemas. "Bukan, sayang! Kak Raka memang lagi sibuk akhir-akhir ini."
"Ayo kita makan malam!" Suara Bu Anah mengagetkan terkesimaan Kiya pada sosok Raka.
Raka segera menggendong tubuh kecil Luvi dan menarik tangan Kiya agar bergenggaman dengan tangannya. Untuk detik ini, Kiya tidak memberontak atau meracau, dia membiarkan Raka membawanya ke arah meja makan. Disusul dengan anak-anak yang tadi sedang berkumpul diruang tengah.
Raka menarik kursi dan menyuruh Kiya duduk disana, kemudian Raka menarik kursi di sebelah Kiya dan duduk juga disana. Dia membawa Luvi pada pangkuannya.
"Luvi!Kamu jangan disitu, duduk ditempat kamu saja sayang." Ujar Bi Anah memperingati.
"Enggak apa-apa, kok, Bi,"
Raka ingin menyendokkan nasi ke dalam piringnya. Tetapi tangan Kiya menahan pergelangantangannya. Raka menoleh dan mendapati Kiya yang tersenyum tipis.
"Biar gue aja!"
Raka mendekatkan wajahnya ke arah telinga Kiya. "Pas nih jadi ibu buat anak-anak aku nanti." bisiknya.
Kiya tersentak mendengar perkataan Raka. "Gak usah halu!"
Mungkin Raka akan lebihsering mengajak Kiya ke panti. Dia ingin, Kiya selalu bersikap manis kepadanya, seperti sekarang.
Setelah makan malam selesai, semua anak-anak panti melanjutkan kegiatannya masing-masing. Kiya mengajak Raka ke halaman belakang rumah yang terdapat berbagai macam permainan. Dia benar-benar akan mengintrogasi Raka yangmengajaknya kesini, dan mengapa semua yang berada disini sudah sangat mengenal jauh tentang Raka. Dan di sini mereka berada, di taman belakang panti, Kiya duduk diayunan sembari menggesekkan kakinya ke rerumputan yang sedikit basah akibat hujan sore tadi.
Kiya menatap Raka yang masih berdiri disebelahnya, Raka bersidekap, pandangannya menuju ke arah depan. "Pertanyaan gue belum lo jawab!"
Raka menoleh. "Yang mana?"
"Kenapa lo bawa gue kesini?" Kiya mengulang pertanyaannya. Setelah sebelumnya dia bertanya pada Raka, saat pertama kali Kiya menginjakkan kakinya dipanti. Namun cowok disebelahnya masih belum menjawab pertanyaannnya hingga detik ini.
"Emang kamu maunya di bawa kemana?" bukannya menjawab, justru Raka bertanya balik kepada Kiya.
"Raka! Gue serius," Kiya menatap iris mata hitam Raka dengan tatapan mengintimidasi.
Raka menduduki ayunan yang berada di sebelah Kiya. "Pengen aja."
Kiya menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti, entah pertanyaannya yang salah atau memang otak Raka yang bermasalah dan tidak dapat serius menanggapi pertanyaan Kiya yang sebenarnya sangat mudah untuk dijawab. Raka tertawa setelah melihat raut wajah Kiya yang terlihat kesal.
Kiya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Lo sering kesini?" tanyanya.
"Lebih tepatnya, dulu." Raka memulai bercerita. "Sebelum Bunda pergi ninggalin orang yang menyayanginya. Panti ini milik Bunda, Bunda memulainya sebelum Aku dan Abangku lahir—"
Raka memandang Kiya yang sedang menatapnya serius, "Bunda suka banget sama anak kecil, apalagi saat tau banyak anak yang dibuang oleh orang tua nya, membuat Bunda memutuskan untuk merawat anak-anak terlantar itu." Raka tenggelam dalam kenangan masa lalu dia dan sang Bunda.
"Luvi. Bunda menemukannya di hutan belakang. Saat itu kondisinya lemah, dia baru dilahirkan, tubuhnya membiru—"
Kiya meringis saat mendengar Raka bercerita tentang Luvi. "Gue gak mau dengar bagian itu." Gumamnya pelan.
Raka terkekeh. "Saat Bunda mulai sakit-sakitan, Bunda memberikan hak Panti sepenuhnya kepada Bi Anah, adiknya. Sebelumnya sih Bi Anah memang suka membantu Bunda mengurus panti ini."
Kiya semakin tertarik dengan pembicaraan ini. Bukan pada pantinya, namun Bunda Raka yang belum Raka jelaskan tentang alasan Bunda Raka meninggalkannya. "Bunda lo, kenapa?"
"Bunda punya penyakit jantung, Ki," kini Raka menunduk, bayangan tentang Bundanya kembali mengusik hatinya. Raka menyadari, sekuat apapun dia melupakan, kenangan itu akan semakin mengikutinya. Raka mengibaskan tangannya didepan wajah. "Udah lah, aku jadi melow gini."
Kiya tersenyum tipis dengan sorot matanya yang sendu. "Balik, yuk!" ujarnya spontan dan dibalas anggukan oleh Raka.
***