Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Skin To Skin

Riricha10
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.7k
Views
Synopsis
"Kau mau hidup bersamaku?." Pertanyaan dari seorang pria malam itu mengubah hidupku sepenuhnya. Hari itu, aku baru saja diusir dari kontrakan setelah 2 bulan menunggak. Aku, yang saat itu tak tahu harus tinggal di mana, mendapat tawaran menggiurkan dari seorang pria asing yang tak ku kenal. Tapi, siapa sangka, malam itu juga, hidupku berubah. Hanya karena sebuah sentuhan. Sentuhan dari kulit ke kulit..
VIEW MORE

Chapter 1 - Maukah Kau Hidup Bersamaku?

"Keluar dari rumah ini."

Aku memandangi wanita paruh baya yang berdiri sambil berkacak pinggang di depanku.

Bibirnya yang dihiasi gincu merah menyala terus-terusan berdecih, sambil sesekali menampilkan seringaian kesal.

Berusaha menelan rasa maluku, aku menundukkan kepala berkali-kali, menatap wanita itu dengan tatapan penuh harap,

"Tolonglah tante Martha, kali ini saja, minggu depan saya janji bakalan ngelunasi semua tunggakan kami."

Ucapku memohon.

Bahkan aku mulai berlutut, berharap wanita yang merupakan pemilik kontrakan tempatku berteduh itu mengabulkan harapanku.

Tapi, seperti dunia yang kejam ini, wanita itu lagi-lagi berdecih, menunjukku dengan jari telunjuknya yang dihiasi dengan kutek merah menyala, senada dengan lipstiknya,

"Halah, bulan lalu kau juga bilang seperti ini. Apa susahnya mencari uang di zaman sekarang,"

Dia lalu menatap diriku dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, lalu tersenyum sinis,

"Kalau susah sekali, aku bisa mengenalkanmu dengan seseorang yang bisa membantumu mendapatkan uang tanpa perlu susah payah."

Deg..

Darahku seketika berdesir begitu mendengar tawaran tante Martha. Aku tahu betul apa yang tante Martha maksud. Apalagi kalau bukan menjadi sugar baby?, atau menjadi wanita penjaja tubuh.

Sekalipun tante Martha menyembunyikan rapat-rapat, aku tetap mengetahui bahwa faktanya, tante Martha adalah seorang penghubung muncikari yang gemar mencari mangsa. Apalagi wanita seperti diriku yang masih belia, bahkan sedang ranum-ranumnya.

"Bahkan, kalau kau menerima tawaranku, aku janji, kau tak perlu lagi pusing membayar uang sewa. Aku akan membiarkanmu tinggal gratis tis tis."

Tante Martha melanjutkan serangannya lagi.

Aku mengepalkan tanganku erat-erat. Jujur saja, tawaran tante Martha sangatlah menggiurkan. Tetapi, sesulit apapun hidupku, aku sudah berjanji kepada orang tuaku untuk hidup dengan baik.

Aku tak ingin mereka kecewa ketika mengetahui anak perempuan satu-satunya yang sangat mereka sayangi berakhir menjadi seorang penjaja kepuasan dunia.

"Hei?, kenapa kau malah melamun?. Jangan sia-siakan kesempatan ini, apalagi aku tahu, kau punya tubuh yang sexy, walaupun sering kau sembunyikan dengan sweater usangmu. Aku yakin, banyak pria yang akan senang mencicipi tubuhmu."

Ucap tante Martha, tersenyum, menatap tubuhku dengan tatapan penuh arti, tentu saja dalam artian seksual.

Kepalan tanganku terasa semakin erat. Aku benci hal ini, benci dengan tatapan merendahkan yang tante Martha berikan. Apalagi sesama perempuan.

"Nggak tante, makasih."

Tolakku, menelan amarahku bulat-bulat. Sekalipun aku sangat marah karena direndahkan seperti ini, aku tetap harus membujuk tante Martha agar tak diusir.

Mendengar penolakanku, wajah tante Martha kembali dipenuhi dengan amarah,

"Halah, sok suci,"

"Wanita sepertimu aku sudah hapal. Sekali tahu betapa nikmatnya uang dan hubungan seksual, kau pasti akan memohon untuk diberi lebih. Jadi tak ada salahnya kan mencoba?, jangan sia-siakan keperawananmu."

Plakk..

Akhirnya aku tak bisa lagi menahan amarahku. Suara kulit menghantam kulit terdengar nyaring. Tentu saja suara itu berasal dari tanganku yang dengan mulus mendarat di pipi tante Martha.

Aku menatap tanganku yang baru saja menampar pipi tante Martha dan jalanan sepi di depan kontrakan. Ah, sepertinya, aku harus tidur di jalanan malam ini.

***

Aku menenteng dua tas jinjingku dengan langkah tertatih, menyusuri jalanan ramai, menuju sebuah taman yang sering kusinggahi sepulang kerja.

Setiap pulang kerja, aku akan duduk di taman itu, menatap pengunjung taman yang datang dengan ekspresi beragam. Lalu, membayangkan, bagaimana jika hidupku seperti mereka. Terutama mereka yang sedang nongkrong bersama teman-temannya dengan wajah sumringah.

Saat memandang mereka, aku akan teringat dengan masa laluku. Dulu, aku juga sama seperti mereka. Tidak dulu sekali sih, tapi satu tahun lalu, aku pernah merasakan betapa menyenangkannya masa muda.

Nongkrong bersama teman tanpa perlu memikirkan tagihan kontrakan, atau tertawa tanpa perlu memikirkan akan makan apa keesokan harinya.

2 tahun lalu, aku masih siswi SMA yang bahkan tak pernah membayangkan bahwa aku harus mengemis hanya demi uang sewa.

Aku masihlah siswi SMA yang bisa ngemil sepuasnya. Lalu, karena kasihan melihat pengamen yang lewat, aku akan merogoh saku, membagi sedikit uang jajan tanpa perlu khawatir kekurangan.

Semuanya masih menyenangkan, sebelum malapetaka akhirnya menimpa keluargaku. Perusahaan ayahku tiba-tiba bangkrut akibat ulah pegawainya yang korupsi. Dan sialnya lagi, pamanku ikut berulah, dengan meminjam uang ke bank lalu kabur. Ayahku yang menjadi penjaminnyalah yang akhirnya diburu oleh pihak bank.

Rentetan kejadian itu membuatku hampir saja tak tamat SMA, beruntung aku adalah siswi berprestasi, jadi aku bisa bergantung dengan beasiswa yang dulu ayahku sering tolak karena menganggap bahwa ada yang lebih layak menerima beasiswa itu daripada kami yang berkecukupan.

Tapi sekarang, beasiswa seperti malaikat penolong yang tuhan kirimkan. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa kuliah.

"Yak, saatnya kembali kerja."

Ucapku pelan, bangkit dari bangku taman dan kembali berjalan sambil menenteng tas di tanganku.

Ah, setidaknya aku berhasil mendapatkan pekerjaan paruh waktu 2 minggu lalu. Setidaknya, 2 minggu lagi aku bisa mendapatkan gaji untuk mencari kontrakan baru.

***

"Selamat datang, selamat berbelanja."

Aku tersenyum ramah saat pintu masuk terbuka. Sebelum akhirnya kembali duduk sambil mengawasi kamera CCTV.

Ini adalah pekerjaan yang aku maksud. Pekerjaan yang bisa membuatku tetap bisa kuliah di siang hari. Pegawai paruh waktu supermarket 24 jam. Dan tentu saja, aku mengambil shift malam.

"Totalnya 90 ribu."

Ucapku, sembari menyerahkan kantung belanjaan kepada seorang wanita paruh baya yang menatapku dengan penuh senyuman.

"Maaf bu, totalnya 90 ribu."

Ulangku lagi karena melihat wanita itu masih tersenyum tanpa melakukan apapun.

"Kau akan bahagia,"

Ucap wanita itu tiba-tiba,

"Kau hanya perlu menunggu sedikit lagi. Dan dia akan datang menjemputmu."

Dia lalu menyerahkan selembar seratus ribuan dan menenteng belanjaannya, keluar dari supermarket.

Sementara aku hanya tercenung, sama sekali tak paham dengan maksud perkataan wanita itu.

Tapi, apapun maksud wanita itu, senyumku seketika merekah saat melihat uang yang ada di tanganku. Dalam hati berterima kasih kepada wanita yang aku tak tahu namanya.

Aku kembali fokus dengan buku di tanganku. Inilah salah satu alasan kenapa aku bersedia bekerja paruh waktu dengan shift malam. Sekalipun resikonya cukup besar, setidaknya aku bisa belajar karena supermarket yang cenderung lebih sepi saat malam hari.

"Selamat datang, selamat berbelanja."

Ucapku, menatap sosok seorang pria muda yang melangkah gontai, memasuki supermarket.

Aku kembali duduk, mengawasi kamera CCTV dengan lebih hati-hati. Pria itu berjalan ke rak minuman, mengambil beberapa botol kopi kemasan dan berjalan menuju kasir.

"Ini aja mas?, ada yang lain?."

Tanyaku, basa-basi.

Pria itu menggelengkan kepalanya, membuat rambut sebahunya yang acak-acakan ikut bergoyang.

"Totalnya 43.200."

Pria itu mengeluarkan uang dari dompetnya, menyodorkan selembar uang 50 ribu kepadaku. Tak sengaja tangan kami bersentuhan. Tapi aku sama sekali tak terlalu peduli, karena hal itu adalah hal yang biasa.

"Kembaliannya.."

Ucapanku terhenti saat pria itu tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati tubuhku.

Matanya yang semula tertunduk sayu, kini menatapku dengan berbinar dari balik poni panjangnya.

"Ma.. Maaf, ada yang bisa saya bantu?."

Tanyaku, susah payah menelan ludah sambil pelan-pelan menggerakkan tangan hendak mengambil martil kecil yang tersimpan di dekat meja kasir.

Pikiran buruk mulai berkecamuk di kepalaku. Aku memang sering diperingatkan tentang resiko berjaga saat malam. Dan salah satunya, bertemu dengan orang aneh yang bisa membahayakan nyawa.

Tubuhku hampir terlonjak saat pria itu tiba-tiba meraih tanganku, lalu berucap dengan suara bergetar,

"Kau, mau hidup bersamaku?."

Tanyanya, membuatku seketika termenung bak orang bodoh.

Hidup.. dengannya?, maksudnya?.