Nama instagramnya AndreJee67, nanti gue bakal transfer bayarannya.
Ada senyum di bibir tipis dari seorang mahasiswi berambut panjang. Ia pikir hari ini akan kosong dan orang-orang melupakan jasa yang ia tawarkan selama ini. Steffi menarik lengan baju ke atas lalu mulai mengutak-atik komputer di hadapannya. Dalam gelapnya ruangan, hanya sinar dari layar komputer yang terfokus di mata Steffi. Lalu, perempuan itu mengerjapkan mata tak percaya, kali ini pekerjaannya selesai dalam waktu kurang dari 5 menit. Sebuah prestasi yang cukup besar baginya.
Berdiri dari duduknya, ia menuliskan apa yang baru ia perbuat dan menempelkan pada mading di sebelah tempat tidur. Menarik beker di atas nakas, ternyata masih jam 2 pagi. Masih banyak waktu.
Kembali duduk di depan komputer, satu pesan kembali muncul di balik layar ponselnya.
Udah?
Dengan bangga, Steffi membalas, memberi tahu bahwa instagram tadi berhasil ia retas. Untuk mengetahui sandi yang telah Steffi ubah, tentunya ia membutuhkan bukti transfer.
Udah gue kirim, 5 juta.
Segera Steffi membalas dengan sandi yang telah ia buat. Senyum kembali menebar, untuk semester depan ia tak pusing lagi memikirkan biaya.
Malam pun semakin larut, tak ada lagi suara yang menemani. Sesekali hanya suara mesin motor yang lewat. Ya, rumah Steffi berada tepat di pinggir jalan raya.
Bukan jam tidur, Steffi kembali membuka salah satu aplikasi yang digemari anak-anak kampus. Ia mendapati foto-foto Zan di halaman facebook klub musik. Di sana ada foto Zan yang mewakili kampus mengikuti perlombaan akustik se-provinsi.
"Azran ganteng banget!" serunya riang sembari memberi 'like' yang tentunya menggunakan akun palsu.
***
Tidak ada yang bisa menepikan kenyataan di saat ekspektasi begitu tinggi. Tak sadar, kini waktu telah menunjukkan bahwa jadwal kuliah akan dimulai setengah jam lagi, sedangkan Steffi masih berjongkok di toilet, berharap sebuah anugerah datang 'tuk menyadarkan.
Untungnya, Steffi bukanlah mahasiswi yang begitu peduli dengan penampilan. Cukup dengan menggunakan kemeja yang kancingnya sengaja ia buka memperlihatkan kaos putih polos dan jin panjang dengan sobekan beberapa di bagian paha hingga lutut. Tak lupa, memberi sedikit taburan bedak bayi di wajah dan mengikat rambut panjangnya asal-asalan.
Siap, itu saja. Penampilan seperti itu telah dipakai oleh banyak mahasiswa lain dan membuat Steffi tak begitu menonjol. Memang begitu yang ia harapkan.
Kini, perempuan dengan mata bulat itu telah duduk di dalam kelas. Memilih duduk di kursi tengah yang ia nilai sebagai bangku paling aman. Terlalu belakang, membuat dosen akan penuh pengawasan, terlalu depan tentunya membuat Steffi menjadi mahasiswa yang kaku dan seperti robot. Ya, itulah yang ada di pikirannya.
Kelas berakhir seperti sebuah kereta yang baru saja lewat. Lalu, menunggu 15 menit lagi untuk mata kuliah selanjutnya. Kursi yang tadinya rapi sudah berantakan kembali, sekumpulan mahasiswi telah membuat kubu dan siap mengeluarkan serta menerima bahan-bahan gosip yang mereka persiapkan.
Berbeda dengan Steffi, saat diajak untuk ikut kumpul, perempuan itu hanya mengangguk sembari tersenyum lalu menggeser kursinya sedikit untuk mendekat, padahal aslinya lebih memilih untuk tidur.
"Serius?" tanya salah satu teman Steffi.
Yang lain ikut berkomentar, "Masa, sih? Astaga gak nyangka banget tau, gak?"
Bella, mahasiswi yang terkenal serba tahu itu tersenyum merendah. "Masa gak percaya omongan gue, sih? Duh, gue taunya dari akun Pendar_Hits! Katanya akun Andre diretas, lho!"
Steffi memutar bola matanya, jenuh. Tanpa omong kosong Bella pun, ia lebih dulu tahu akan hal itu.
"Kira-kira siapa yang retas, sih?"
Lagi-lagi Bella menyahut, "Masa gitu aja lo gak tau, sih? Kalau ada apa-apa sama akun pribadi mahasiswi Universitas Pendar, itu yang retas pasti si Kuker! Kalian tau, 'kan? Selama ini kalau ada apa-apa, semua pake jasanya si Kuker itu, lho!"
Senyuman manis yang terlihat samar dari Steffi pun lahir. Rasanya ingin ikut berkomentar, tetapi untuk menjaga lidah ini tidak keseleo ke mana-mana, ia memilih untuk diam.
"Awalnya nama akun Kuker itu, Mahasiswi Kuker! Katanya sih doi jual jasa Hacking dan Stalking, tapi ... gue belum pernah nyoba, sih. Bujug lho! Mehong banget, gue yakin, ya, yang pake jasa doi tuh kalangan mahasiswa borjuis," seru Bella, lagi.
"Tunggu," sahut Caitlin, "Mahasiswi Kuker? Berarti cewek dong, ya?"
Bella mengangguk. "Pasti, kalau nggak, mungkin cuma taktik doi biar gak ketahuan."
Salah satu dari yang lain pun ikut berkomentar, "Terus si Andre, gimana?"
"Yah gak tau, deh, mungkin yang retas pacarnya. Lo tau, 'kan? Si Andre, kan, cowok sok playboy gitu, semua digodain! Steffi yang kalem aja digodain!" sahut Bella membuat Steffi menjadi pusat perhatian.
Lalu, Caitlin tertawa. "Tolong, ya, bedain kalem sama jutek. Si Steffi mah jutek!"
"Serah lo aja, deh. Gue juga gak minat sama cowok model jabrik ayam kek gitu," cibir Steffi.
Semua tertawa sampai akhirnya seorang dosen memasuki ruangan. Kursi-kursi kembali tertata rapi. Ketua tingkat ikut masuk dan mulai sibuk mengotak-atik LCD.
Selama kuliah berlangsung, Steffi berusaha menjaga matanya agar tetap terbuka. Rutinitas membosankan memang mudah membuat rasa kantuk datang menjemput. Presentasi dari satu kelompok dihabiskan dalam waktu setengah jam dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Satu mata kuliah pun selesai dalam waktu satu setengah jam.
Mata Steffi pun kembali segar, ditambah dengan sebuah pesan singkat masuk di ponselnya.
Namanya Dean, Jurusan Kesehatan Masyarakat tingkat 3. Tolong cari tau dia punya selingkuhan atau nggak. Soalnya dia udah susah diajak jalan, tapi kata nyokapnya dia pulang malem terus, padahal gak ada kegiatan.
Steffi meringis, lagi-lagi ia harus ikut campur dengan hubungan asmara orang lain. Melihat statusnya yang masih menjomlo, membuat pekerjaan satu ini sedikit sensitif.
Baru saja ingin keluar, lagi-lagi terhalang dengan satu organisasi yang akan melakukan sosialisasi. Steffi kembali ke tempat duduknya dan berusaha menyimak dengan baik, setidaknya ia mencoba menghargai walau matanya kembali merasa kantuk.
"Kami dari Unit Kegiatan Mahasiswi Seni dan Bahasa, mengajak mahasiswa-mahasiswa yang lain untuk begabung. Namun, kami tidak akan banyak bicara, karena UKM Sensa akan memberikan sedikit pementasan."
Berakhirlah Steffi menunggu selama kurang lebih setengah jam menonton tarian tradisional, mendengar musikalisasi puisi, hingga mendengarkan akustik yang terdengar sebagai pengantar tidur. Satu lagi, Steffi menyayangkan bukan Zan yang tampil di hadapannya.
***
Setelah dua mata kuliah ditambah sosialisasi UKM Sensa, akhirnya kini perempuan dengan kemeja merah jambu itu duduk di halte. Bus yang mengantarkan ke rumah tak kunjung datang. Sebenarnya ia juga sedikit kesal, karena orang tuanya tidak mengizinkan untuk menyewa indekos. Jarak rumah ke kampus lumayan jauh, tetapi harus dijalani selama kuliah. Mengesalkan baginya.
Cukup bermain dengan emosi, saat bus datang, Steffi malah bergeming. Perempuan itu batal naik saat melihat seorang laki-laki dengan sepeda motornya berhenti di pinggir jalan tuk membeli minuman.
Steffi seperti kenal, oh salah, seperti tahu siapa laki-laki itu.
Dia, Dean.
Steffi harus menjadi detektif lagi untuk hari ini, atau lebih pantas disebut stalker. Namun, ia merutuki diri sekali lagi. Bagaimana ia menjalankan misi kalau motornya saja tak ada. Lagi-lagi ia berandai-andai, andai saja kakaknya tidak meminjam motornya.
Steffi ingin berteriak sampai pada akhirnya matanya menajam. Seorang perempuan dengan tubuh tidak begitu tinggi, ya, karena Steffi cukup tinggi, perempuan itu menepuk bahu Dean. Kejadian seperti ini tidak Steffi sia-siakan. Segera ia merogoh ponsel 'tuk mengambil gambar.
Sayangnya, saat akan memotret, sebuah panggilan menghentikan. Kesal bukan main.
"Apa, sih?" bentak Steffi.
"Galak amat yang katanya kalem," goda Caitlin.
Merasa tidak punya waktu banyak, Steffi tidak tergoda dengan ejekan Caitlin.
"Kenapa? Cepetan!"
Terdengar sebuah tawa dari seberang. "Iya, iya, ini gue cuma mau bilang, tugas penulisan karya tulis ilmiah udah gue kirim ke email lo, nanti bagian bab 7 sama 8 lo koreksi lagi, ya. Habis itu print, kelompok kita presentasinya besok pagi, lho!"
"Oke," sahut Steffi dengan cepat memutuskan sambungan telepon sepihak lalu kembali ke aplikasi kamera. Saat akan mengambil gambar, orang tersebut sudah menghilang.
Sialan, batin Steffi.
***
Tidak berniat pulang saat misi pertama gagal. Biasanya, Steffi akan menyelesaikan pekerjaan dengan waktu yang sangat cepat tanpa harus menunggu lama. Lagi-lagi ia merutuki kesialannya kehilangan target.
Satu yang ia lakukan saat tak bisa mengawasi via offline, kini ia memilih kembali ke kampus. Walau sudah malam, kampus tetap terlihat ramai. Steffi membuka laptop yang selalu ia bawa. Memilih tempat paling pojok di perpustakaan. Salah satu tempat horor, karena suasana yang selalu tenang. Perpustakaan juga terisi lebih banyak oleh mahasiswa tingkat akhir.
Membuka satu per satu aplikasi. Mulai dari facebook, twitter, instagram, hingga ke grup line angkatan.
Satu hal, sebenarnya Steffi bisa saja mengetahui banyak hal tentang Dean dengan cara meretas akun Line laki-laki itu. Namun, mengingat pesan dari si pembeli jasa tersebut hanya untuk mengetahui, Steffi memilih menjadi penguntit.
Menemukan titik terang saat mengetahui Dean baru saja membuat instastory dan sedang berada di pinggir jalan. Walau tak membagikan lokasi, Steffi sudah tahu di mana laki-laki itu berada. Dua bulan lalu Steffi juga pernah ke tempat itu sewaktu menguntit Reno sedang melakukan transaksi ganja. Steffi mengedikkan kedua bahunya ngeri. Itu kali pertama mendapat tugas yang menyeramkan.
Segera menutup laptopnya dan keluar dari perpustakaan. Tanpa sadar, seseorang memperhatikan dari jarak yang tidak begitu jauh.
***
Sampai ke tujuan. Tempat pemakaman umum yang di saat terang saja menyeramkan, apalagi malam hari seperti ini. Steffi sampai menduga-duga, apa Dean dan mungkin perempuan itu selingkuhannya, sedang berkencan di tempat mengerikan ini?
Tidak menunggu lama, Steffi bersembunyi di balik bunga kamboja yang tingginya hampir sama dengan Steffi. Cukup menunduk sedikit, perempuan itu tidak akan terlihat, terlebih tak ada cahaya sama sekali di sekitarnya, sedangkan Dean dan perempuan itu baru saja keluar dari dan kini berdiri di pinggir jalan lagi.
Emang sukanya nongkrong di pinggir jalan apa, ya, batin Steffi.
Tidak mau kalah untuk kedua kali, Steffi merogoh saku, mengambil benda pipih dan memilih aplikasi kamera. Satu, dua, dan tiga gambar sepertinya sudah cukup.
Merasa satu bukti sudah cukup, Steffi ingin pulang andai saja targetnya sudah akan pulang juga. Sialnya, Dean masih di tempat. Jika Steffi keluar dari persembunyian, ia yakin semua rahasianya akan terbongkar.
Tak lama, Dean seperti mencari seseorang. Melirik ke sana ke mari membuat Steffi berusaha tetap tak terlihat.
"Gue tau, di sekitar sini ada si Kuker. Gak apa-apa kalau gak mau keluar dari persembunyian, tapi gue mohon gak usah terima apa pun yang cewek gue minta ke lo. Gue bisa bayar lebih dari apa yang lo dapat hari ini. Gue mohon, jangan ngomong apa pun ke cewek gue," teriak Dean.
Bagi Steffi, Dean adalah cowok gila. Bisa-bisanya dia berteriak di depan pemakaman seperti ini. Lagi, Steffi tak pernah menolak rezeki dan selalu bersikap profesional. Citranya bisa rusak hanya karena melakukan cancel secara sepihak untuk tawaran yang lebih tinggi.
Tak lama, Dean pun pergi, tak lupa perempuan itu juga ikut lagi bersamanya. Steffi membutuhkan 5 sampai 10 menit setelah Dean keluar baru dia akan pergi. Hal tersebut untuk menjaga-jaga agar tak ketahuan.
***
Baru saja beberapa detik Steffi merebahkan tubuhnya di atas kasur, sebuah pesan lagi-lagi mengganggu waktu istirahat tersebut.
Ini Kuker? Gue Dean, gue bisa bayar lo berapa aja.
Sebenarnya Steffi malas untuk berhubungan lebih lama dengan laki-laki itu.
Gue gak butuh.
Setelah menjawab pesan, sebuah panggilan masuk dari ponsel yang berbeda. Ya, Steffi menggunakan dua ponsel. Satu untuk dia sebagai Steffi dan satunya lagi sebagai Kuker. Ah, sebenarnya nama itu terlalu jelek. Sayangnya, mahasiswa Universitas Pendar yang memberikan julukan tersebut.
"Halo?" jawab Steffi.
"Gimana? Udah koreksi belom?" tanya Caitlin.
"Entar, maleman, ya, gue baru sampe rumah. Cape banget ini," jawab Steffi.
Lagi-lagi terdengar tawa dari seberang. Kadang Steffi berpikir, apa Caitlin memang suka tertawa?
"Lo kan mahasiswi kupu-kupu, yang kerjaannya kuliah langsung pulang. Tumben jam segini baru pulang? Abis ngapain aja, lo?"
Andai Caitlin ada di dekatnya, ingin sekali Steffi menjambak perempuan itu hingha terkapar. Ah, jiwa psikopat Steffi bangkit jika berkaitan dengan hal-hal menyebalkan.
"Gue juga ada acara, udah, ya, gue baru mau kerjain. Besok pagi gue print, gak usah bawel."
"Yakin bisa bangun pagi?" tantang Caitlin.
"Lo liat aja besok."
Sambungan pun terputus. Lagi-lagi Steffi menyudahi pembicaraan secara sepihak. Dari ribuan mahasiswa yang ada di kampus, mengapa hanya Caitlin yang mungkin lumayan dekat dengannya? Perempuan menyebalkan yang kerjaannya menggoda dan merendahkan orang-orang.
***
Misi tentang Dean belum terselesaikan, dan kini ia harus berkutat dengan tugas kuliah yang begitu menumpuk. Semester ini ia harus lebih baik lagi. Pikirnya, karena semester 2 kemarin, ia harus mendapat dua nilai C di mata kuliah Filsafat dan Bahasa Inggris.
Hampir tiga jam dengan sedikit-sedikit menengok di sosial media, akhirnya tugas selesai di jam 12 malam. Tepat saat hantu-hantu mulai bersemayam di pikirannya.
Steffi meringis. Tiba-tiba sebuah ide gila merasuk pikirannya. Ia harus bertarung melawan ketakutan dengan ide yang menurutnya lumayan bagus sebagai ajang pelajaran.
Dean harus tau siapa gue, bisa-bisanya nyogok gue, batin Steffi.
Steffi bangkit, setelah mem-print tugas, tak lupa ia mem-print foto-foto yang baru saja ia dapatkan. Lalu, kembali menatap dirinya di depan cermin.
Mengikat rambut lalu memakai rambut palsu berwarna merah muda. Make up dengan nuansa merah muda yang orang-orang tak akan menebak jika dia adalah Steffi. Pakaian yang selama ini ia gunakan terganti dengan baju putih ketat dan rok beberapa senti di atas lutut. Tak lupa, sepatu bot yang tak pernah sama sekali ia gunakan keluar rumah.
Steffi tampil sebagai Kuker, panggilan orang-orang padanya.
Dengan membaca doa, ia keluar rumah tanpa pamit. Mendorong motor hingga jauh dari rumahnya, baru ia menyalakan mesin agar orang rumah tak curiga. Sebenarnya yang Steffi takutkan adalah ia dituduh sebagai maling motor. Untungnya, itu tak terjadi.
Perjalanan yang singkat tanpa macet sedikit pun. Bahkan, Steffi bisa merasakan dirinya seperti pembalap motogp yang biasa kakaknya tonton.
Ia sampai di dalam kampus, memarkirikan motornya di depan perpustakaan lalu berlari dengan cepat dan naik ke gedung utama.
Sebuah mading besar di gedung utama ini hampir dilewati semua mahasiswa setiap harinya. Steffi menempelkan foto-foto tersebut dan dengan cepat berlari keluar.
Ia berlari keluar bukan karena takut ketahuan satpam, tetapi pikiran yang mulai melayang-layang membayangkan sosok hantu penunggu kampus. Itu lebih menyeramkan dari satpam kampus yang kerjaannya cuma tidur dan ngopi.
Untuk CCTV, untungnya tak ada di jalan utama dan di luar perpustakaan pun sama. Di kampus Pendar, CCTV hanya berada di dalam perpustakaan, laboratorium, Fakultas, parkiran, dan gedung kedokteran.
***
Caitlin salah menduga. Awalnya ia pikir Steffi akan terlambat sampai di kampus. Sebagai perempuan yang aktif organisasi, Caitlin tak menyangka jika kini orang yang lebih dulu mengisi ruang kelas adalah Steffi. Biasanya dirinya yang membuka pintu pertama.
"Tumben," goda Caitlin.
Tak acuh, Steffi memberi makalah beserta salinannya ke Caitlin.
"PPT-nya ada di lo, 'kan?" tanya Steffi.
"Sans, udah dikerjain sama Arya."
Hanya diberi anggukan oleh Steffi, tak lama Bella masuk ke dalam kelas dengan tergesa-gesa. Dihampirinya Caitlin dan Steffi yang terlihat bingung. Sedikit mengatur napas, lalu berteriak histeris bagai sedang kesurupan.
"Gila ... gila ... gila!" seru Bella.
"Kenapa? Lo gila?" tanya Caitlin menggoda. Perempuan itu mencoba menahan tawa melalui senyum manisnya.
Bella menggeleng beberapa kali. Perempuan dengan rambut ikal berwarna hijau itu tak memperlihatkan rasa kesal sedikit pun. "Kalian berdua, ke sini lewat mana? Jalan utama? Gedung utama depan?"
Caitlin dan Steffi saling pandang. Tatapan Caitlin yang bingung, dan Steffi yang pura-pura bingung.
"Lewat tangga belakang gue. Biasa, parkiran belakang, depan basecamp UKM. Kenapa emang?" tanya Caitlin.
"Lo berdua, ke lantai dasar gih, ke jalan utama! Cepetan! Ada gosip terbaru yang menggemparkan Universitas Pendar! Gila! Lo tau Dean dari FKM, 'kan? Cepetan ke sana!"
Steffi yang merasa tak acuh tiba-tiba merasa tergoncang saat Caitlin dengan kasarnya menarik pergelangan tangan perempuan itu menuju lantai dasar.
Sesungguhnya Steffi sudah cukup lelah naik ke lantai 4, tetapi karena paksaan dari Caitlin, perempuan itu harus turun lagi ke lantai dasar. Ia pun sempat merutuki kampus ini karena membiarkan lift rusak selama seminggu.
Sesampainya di lantai dasar, mading utama yang lumayan besar telah dipenuhi banyak mahasiswa lain. Caitlin dan Steffi sempat mengurungkan niat, tetapi bukan Caitlin namanya kalau tidak dapat mewujudkan apa yang ia mau. Menggenggam erat pergelangan tangan Steffi, lalu menariknya hingga membuat orang-orang bergeser. Kini, keduanya tiba di posisi terdepan.
"Gila, tangan gue sakit banget, sialan!" bisik Steffi ke arah Caitlin. Sayangnya, perempuan itu sudah tak mendengarkan apa pun. Kedua bola matanya membulat sempurna saat berhadapan dengan mading.
Dean dari jurusan Kesehatan Masyarakat, katanya udah punya pacar. Eh, tapi ... kok malah jalan sama cewek lain? Mainnya di kuburan lagi, ew! Gak modal banget jadi cowok. Ngapain aja, tuh?
Tertanda, Kuker! Gambar hanya pemanis.
Di bawah tulisan tersebut terdapat foto-foto Dean bersama perempuan yang tidak diketahui namanya berada di depan pemakaman umum.
"Gilaaa!" seru Caitlin.
Melihat ekspresi Caitlin dan yang lain, Steffi hanya dapat menyembunyikan senyum samarnya.
Tak lama, suara teriakan dari belakang membuat yang lagi terlonjak. Dean datang, membelah lautan manusia hingga sampai ke posisi paling depan. Ah, tepat di sebelah Steffi. Sesungguhnya, jantung Steffi kini berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena jatuh cinta, melainkan takut misinya ketahuan.
Dengan cepat Dean merobek-robek gosip terhangat darinya di mading. Berbalik dengan cepat ke arah mahasiswa yang lain, tak sengaja menyenggol Steffi yang ada di sebelahnya. Cukup peka dan refleks menangkap Steffi. Kini jarak Steffi dan Dean semakin dekat.
"Sorry," ucap Dean.
Steffi hanya mengangguk lalu mundur selangkah lebih jauh dari Dean.
"Siapa aja, yang bisa membongkar identitas Kuker, gue kasih motor gue itu!" seru Dean.
"Sabar, Bro!" ucap salah satu teman yang berada di depan Dean.
"Gue bakal buat perhitungan dengan dia. Sialan," geram Dean.
Steffi yang masih bersebelahan dengan Dean tentu mendengar itu. Tangannya mulai dingin bercampur keringat. Sesekali ia meneguk salivanya menahan grogi.
Kembali, Dean berbalik ke arah Steffi. Wajah yang tadinya penuh amarah, kini terlihat teduh.
"Lo beneran gak apa-apa, 'kan? Lo keliatan pucat banget," ucap Dean.
Dengan cepat Steffi menggeleng hingga beberapa tetes keringatnya berjatuhan.
***
Setelah menjawab semua pertanyaan dari mahasiswa lain, presentasi pun ditutup usai moderator memberi kesimpulan. Steffi ikut bersama ketua tingkat untuk membereskan LCD dan membawanya ke ruang tata usaha. Sebenarnya ia paling malas dengan urusan seperti itu, tetapi ia juga benar-benar harus menghindar dari tatapan Caitlin. Sedari tadi perempuan itu menudingnya telah jatuh cinta pada Dean. Hanya karena Steffi terlihat pucat.
Setelah keluar dari ruang tata usaha, perempuan dengan rambut panjang itu memilih untuk ke SM atau Student Mall, sebutan untuk kantin di Universitas Pendar. Sebenarnya lebih baik pulang lebih dulu, tetapi masih ada kelas dua jam lagi, dan tentunya Steffi tak ingin menunggu di dalam kelas.
Suasana SM benar-benar ramai. Lebih pantas disebut pasar ikan. Perempuan dengan mata berwarna cokelat memilih duduk di stan minuman sejuta umat. Ada banyak varian rasa, dan perempuan itu memilih rasa vanila blue.
"Masih ada kelas?" tanya seseorang yang membuat Steffi hampir menyemburkan minumannya.
Anggukan sebagai jawaban. Sungguh, Steffi menjadi gerah seketika.
"Nama gue Dean, lo?"
"Steffi."
"Gue minta maaf soal tadi."
"Santai aja," jawab Steffi.
"Gue pikir, tadi lo sakit. Pucat banget, kenapa?"
Steffi menangkap tatapan khawatir dari laki-laki di sebelahnya. Sebagai perempuan yang sudah kenyang dengan taktik pedekate makhluk yang disebut laki-laki, Steffi kembali memutar bola matanya jenuh.
"Iya, gue suka gitu kalau mau presentasi."
"Gue boleh minta nomor lo?"
Steffi menggeleng.
"Kenapa?"
Perempuan itu memilih bangkit dan sebelum pergi ia mengatakan, "Lo gak penting."
Ada senyuman yang terukir melihat pundak perempuan itu menjauh.
***
"Ke mana aja lo?" tanya Caitlin, padahal yang ditanyai saja baru selangkah memasuki kelas.
Tak menjawab, Steffi tetap menjalankan kakinya hingga sampai ke kursi tengah kelas ini. Duduk dan merapatkan kepala di atas meja. Steffi menyesali telah meminjamkan headset ke kemenakannya. Berakhirlah ia harus mendengar omong kosong dari Caitlin.
"Lo tau, gak? Katanya Dean sama pacarnya putus!" seru Caitlin.
Steffi masih terlihat tak acuh walau telinganya siaga 'tuk mendengarkan.
Jauh dari bangku pojok, Bella bangkit dan duduk di sebelah Steffi. "Masa sih, Cait? Gue belum denger gosip itu?"
Caitlin mengangguk mantap. "Lo ketinggalan kali ini. Gue gak tau siapa yang nyebarin videonya, tapi beneran kesebar sampe di grup angkatan. Gila, lho! Ceweknya minta putus setelah liat update-an mading tadi pagi."
"Ihh ... gara-gara si Kuker, tuh! Jahat banget, sih. Dia tuh udah berapa kali loh buat hubungan orang bubaran," sahut Bella.
Kepala yang tadinya merapat ke atas meja, kini bangkit dan menatap satu per satu perempuan di hadapannya.
"Kenapa?" tanya Steffi.
Kesal, Caitlin menjadi malas mengulang ucapannya.
"Serius deh, gue penasaran sama si Kuker itu. Lama-lama gedeg juga gue tau, gak?" geram Bella sembari meremas botol plastik yang baru saja dibawa mahasiswa lain saat lewat di sebelahnya.
Embusan napas lelah keluar begitu saja dari Caitlin sembari berujar, "Udahlah, kita yang mahasiswi standar gak bisa ngalahin Kuker. Dia kan mainnya sama borjuis mulu."
"Kenapa lo berpikir kalau kita mahasiswi standar?" tanya Steffi.
"Ya iyalah, karena Kuker gak pernah nawarin jasa ke mahasiswi kere kek kita," sahut Bella dan diangguki setuju oleh Caitlin.
"Sampo abis aja, bukannya beli malah ditambah aer."
"Makan mi aja pake nasi."
"Makan enak kek burger, roti sama sayurnya dimakan terpisah dengan dagingnya."
"Terus dagingnya dimakan pake nasi."
Steffi menggeleng dan tersadar juga, selama ini ia memang tak pernah mendapatkan kerjaan dari mahasiswa yang tergolong biasa saja. Dari situ, Steffi sadar bahwa mahasiswa borjuislah yang rela membuang-buang uangnya untuk hal seperti sampah.
Getaran dari ponsel Steffi pun membuat perempuan itu ke luar dari lingkaran gibah Bella dan Caitlin. Setelah mendapat tempat paling aman, ia menerima telepon tersebut.
"Hm?"
"Gue Natasya. Gue minta tolong cariin data dari ketua BEM di Fakultas Teknik yang baru aja terpilih."
"Oke, 1 juta."
"Gak bisa kurang?"
"Bisanya naik."
"Ha-ha, lo bisa aja. Ya udah, 3 juta. Gue tunggu sampe sore ini."
"Siap."
Steffi memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Untuk suara, Steffi sudah menyamarkan hingga orang yang mendengar tidak akan bisa menebak suara tersebut dari seorang perempuan ataukah laki-laki.
Baru saja akan berjalan, ia tak sadar bahwa ada seseorang yang tengah duduk sembari merokok di dekatnya.
"Lo jangan bilang-bilang," ucap laki-laki itu.
Steffi tak mengerti hanya memberi ekspresi sarkastik.
"Di lantai 4 dilarang ngerokok, 'kan? Lo jangan bacot," ucapnya.
"Oh, santai aja. Bukan urusan gue," jawab Steffi sembari berjalan menjauh.
Mengingat apa saja yang ia ucapkan di telepon setidaknya tak begitu mencurigakan. Steffi pun tak kenal dengan laki-laki itu. Toh, sepertinya hanya mahasiswa yang datang ke kampus di waktu mood-nya sedang bagus.
***
Setelah menyelesaikan perkuliahan selama satu setengah jam, Steffi dengan cepat beranjak. Tak peduli dengan teriakan Caitlin yang mengajaknya ke pasar untuk membeli beberapa kaus. Perempuan dengan kaki jenjang itu mempercepat langkah hingga sampai ke lantai 6. Sebenarnya ini kali pertama ia menginjakkan kakinya ke lantai ini.
Fakultas Teknik, lantai 6. Ada sedikit penyesalan saat kakinya sudah mendarat. Di lantai ini, kemungkinan 98% adalah laki-laki dan sisanyalah baru perempuan.
Steffi berusaha santai berjalan, memperhatikan setiap kelas yang ia lewati sampai pada akhirnya ia terhenti saat melihat Dean.
Kenapa dia lagi, sih, batin Steffi.
"Hai! Lo anak teknik?" sapa Dean.
"Gue anak bapak emak guelah."
Dean tertawa, padahal menurut Steffi, apa yang baru saja ia katakan adalah hal yang biasa terdengar. Begitu burukkah selera humor Dean?
"Serius dong," pinta Dean.
"Bukan, gue cuma nyari temen," jawab Steffi asal, padahal ia sama sekali tak punya teman di fakultas teknik. Namun, kalau tetangga ada, itupun tak saling akrab.
"Oh, kirain nyari gue. Temenin gue, yuk!"
"Hah?"
"Gue pengin nonton pelantikan temen gue yang baru aja terpilih jadi ketua BEM. Ayo dong," pinta Dean.
Sebenarnya, Steffi ingin tersenyum. Namun, ia tetap dalam pada ekspresi cool. Lalu, pura-pura menimbang-nimbang, menunggu bujukan Dean sekali lagi.
"Mau, ya?" bujuk Dean.
Itu yang Steffi mau. Wajah Dean benar-benar seperti memohon dengan ikhlas.
"Oke, tapi jangan lama-lama."
Dean dengan senangnya mempersilakan Steffi berjalan lebih dulu. Sebelum sampai ke ruang aula, Dean banyak bercerita, padahal Steffi menanggapi saja tidak.
Duduk di kursi paling belakang, Dean sempat melambaikan tangannya ke arah si ketua BEM tersebut.
"Itu temen lo?" pancing Steffi.
Dean mengangguk. "Iya, namanya Nakula. Sahabat gue dari kecil dia. Sayang masih jomlo."
Hanya satu kali pancingan dari Steffi, Dean mulai bercerita banyak hal tentang Nakula. Sampai acara selesai, cerita tersebut terhenti dan Steffi dengan cepat menyembunyikan ponselnya yang sedari tadi merekam omongan Dean. Pastinya suara Dean akan tersambar oleh suara pelantikan Nakula. Untungnya, Steffi mendengarkan ucapan Dean dengan sangat serius.
"Selamat, Bro!" seru Dean. Kini, acara selesai dan Dean mengajak Steffi ikut memberi selamat kepada Nakula.
"Selamat, ya. Lo keren," puji Steffi sembari mengulurkan tangan.
Nakula menjabat tangan Steffi. Rasanya lumayan lama hingga perempuan itu merasa sedikit risi, ditambah tatapan mata Nakula yang begitu tajam.
"Woy! Punya gue ini," sahut Dean menghentikan acara jabat tangan keduanya.
Nakula tertawa, tetapi matanya tak bisa lepas dari perempuan di sebelah Dean.
"Cepet banget punya yang baru. Pacar baru ceritanya?" tanya Nakula.
"Nggaklah," sangkah Steffi.
Merasa kesal, dan untungnya Steffi melihat tetangganya yang juga baru saja keluar dari kelas.
"Yaya!" panggil Steffi membuat orang yang dipanggil berbalik dengan tatapan bingung.
"Itu temen lo?" tanya Dean.
Steffi mengangguk. "Iya, udah dulu, ya. Bye Dean, bye Nakula!"
Dengan cepat ia berlari ke arah Yaya dan menarik pergelangan tangan perempuan itu untuk ikut bersamanya, padahal tidak begitu akrab. Sesampainya di parkiran, Steffi dengan sok akrabnya mengajak Yaya pulang bersama dengan motor. Untunglah kakaknya tidak meminjam motor lagi, jadi Steffi bisa memberi alasan untuk memberi tumpangan pada Yaya. Daripada naik bus dengan perjalanan jauh.