"Aduh!" Kali ini dia benar-benar kesakitan. Roni mengusap kepalanya.
"Mau ngapain? Mau ngapain tadi?" Aku mengambil kuda-kuda mau meninjunya
"Apaan sih Nad? Saya mau pasangin seat belt aja?" Dia masih memegangi pipinya yang merah oleh tamparanku.
Dia balik menjitakku. "Pikiran kamu kali yang ngeres."
"Wajar, saya itu harus selalu waspada sama siapapun, kan saya wanita pak, harus bisa jaga diri." Aku berbicara dengannya tanpa memandang wajahnya. Hanya ekor mataku ke arahnya.
"Iya, tentu saja, tapi apa kamu pikir saya tega melakukan hal yang tidak-tidak sama kamu?"
Lalu melajukan mobilnya kencang membuatku kaget dan hampir terjungkal.
"Hati-hati dong! Saya hampir terjungkal nih." Aku mendengus kesal.
"Itulah guna seat belt." Belanya.
"Iya ntar saya bukan mati karena terjungkal malah mati karena jantungan gara-gara anda!"
Bukan merasa bersalah dia malah tertawa puas. "Hahaha."
"Sorry sorry." Roni mencoba menghentikan tawanya, dia mengatupkan kedua bibirnya ke dalam mulut.
"Ok Nadia, jadi sekarang kamu mau makan apa?"
"Terserah." Jawabku pendek
"Bakso?" tawarnya.
"nggak mau, nggak ada nasinya, kan saya laper."
"Oke kalau gitu nasi Padang?"
"Anda mau bikin saya gendut malam-malam makanan berlemak?"
"Nasi goreng?"
"Saya nggak bisa makan makanan pedas malam-malam."
Roni mendesah putus asa. Bener kata orang. Kalau nawarin makan ke cewek jawabnya terserah endingnya lebih ribet dan lebih rumit. Udah kayak nebak klub' sepak bola mana yang bakal menang.
"Astaga Nadia, terus mau kamu mau makan apa?" Dia sudah frustasi dan menjambak rambutnya.
"Kalau kamu nggak mau jawab mau makan apa, nanti lama-lama kamu yang bakal saya makan!"
"Idih amit-amit, iya-iya, kita makan di angkringan ya?" Sambarku cepat.
"Nadia bukan saya nggak mau, tapi saya nggak pernah makan di angkringan."
"McD aja gimana?" Tawarnya antusias.
Aku hanya menggeleng. "Tu depan ada angkringan turun yuk?"
Roni menepikan mobil dekat angkringan. Namun dia masih malas untuk turun. Sementara aku turun dari mobil dengan semangat. Aku ketuk jendela mobilnya.
Tok tok tok. Dia membuka sedikit kaca jendelanya. "Kamu makan sendiri ya? Saya tunggu disini aja."
Aku yang tidak puas dengan jawabannya, membuka pintu mobilnya lalu menarik tangannya agar dia mau keluar dari mobilnya itu. "Ayo…"
"Aduh...sejak kapan sih kamu suka paksa-paksa?" Aku hanya masa bodoh.
"Duduk." Aku menyuruhnya duduk, dan dia hanya menurut. "Anak pintar." Dia melirik dengan ekor matanya sambil mencebikkan bibir.
Di depan kami sudah tersedia berbagai macam menu angkringan. Mataku berbinar-binar. Aku mencomot nasi bakar tempe gembus serta sate kepala ayam sate hati ampela ayam. "Dah beres tinggal bakar." Aku tersenyum senang.
Aku melihat Roni masih belum memilih apapun. Dia malah terlihat bingung dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kok masih diem, ayo milih." Aku menyodorkan piring kosong.
"Milih apa, aku nggak pernah makan makanan ini, aku nggak ngerti."
"Oke biar saya yang pilih." Aku mengambilkan menu yang sama seperti yang aku pilih tadi, serta memesan 2 gelas wedang teh khas angkringan. Roni hanya pasrah.
"Bang tolong bakarin ini ya?"
Tak menunggu lama makanan kami datang. Aku langsung membuka bungkus nasi bakarnya lalu menyuapkan ke dalam mulutku dengan lahap. Sementara Roni masih sibuk membolak-balikkan tempe gembus dan kepala ayam yang ditusukkan ke tusukan sate. "Kok cuma diliatin, ayo makan."
Aku yang gemas melihat tingkahnya lalu mengambil piringnya dan membukakan nasi bakarnya. "Nih makan."
Meski terpaksa akhirnya dia memakan nasi bakarnya tapi tidak dengan kepala dan tempe gembusnya.
"Enak kan?" Aku bertanya antusias.
"Biasa aja." Dengan ekspresi wajah kakunya.
"Ya karena lauknya nggak dicobain, gih cobain dulu."
"Nadia lihat tempenya hitam begitu, dan kepala ayamnya? Itu mengerikan." Dia malah bergidik ngeri melihatnya.
"Yaelah itu kepala ayam apanya yang ngeri? Kalau kepala banteng yang disediain baru deh lo ketakutan."
"Ini juga, ini tempe bacem itu direbus dulu pakai bumbu kecap trus dibakar ya terang aja hitam, semua sate hitam Pak Roni."
Aku mencebikkan bibir. Aku mengambil kepala ayam dan gembusnya lalu aku suapkan ke mulutnya secara paksa.
Awalnya dia tidak mau dan memberontak seperti anak kecil. Tapi akhirnya dia mau memakannya setelah aku memiting lehernya dengan tangan kananku.
Sebenarnya bisa saja dia tetap menolak dan memberontak. Namun itu justru akan mempermalukan dirinya sendiri karena terlanjur dilihat banyak orang.
"Tu kan, enak kan?"
"Biasa aja, aku hanya kasihan padamu." Kilahnya sambil menyesap secangkir teh.
"Biasa aja habis, apalagi doyan ya pak?" Aku meledeknya.
Dia bilang biasa saja, tapi ketagihan dengan tempe gembusnya. Dia memborong semua tempe gembusnya yang mungkin totalnya ada 10 tusuk, tapi tidak dengan kepala ayam dan makanan berlemak lainnya. Iya Roni itu memang tipikal orang yang suka healthy food, jadi tidak suka makanan berlemak seperti itu.
"Cie yang ketagihan tempe gembus, hehe."
"Kamu kalau masih ngledekin , ntar saya tinggal disini baru tau rasa kamu." Ancamnya yang tidak membuatku takut. Malah memebuatku tertawa.
"Hahaha tinggalin aja, orang kos-kosan saya tinggal 10 meter jalan, tu lihat." Aku menunjuk kos-kosanku.
"Hah iya benar juga, gue nggak punya senjata buat nakut-nakutin elo sekarang." Desahnya tak berdaya lagi.
"Bukannya kamu punya rumah, kok ngekost?" tanyanya penasaran.
"Lagian setau saya, rumah kamu nggak jauh kan dari kantor?"
Memang benar rumahku tidak jauh dari kantor. Tapi dulu aku terpaksa pindah ke kost, agar orang tuaku tidak tahu kalau aku tidak nyaman dengan Roni, bosku itu.
Tapi untuk apa aku bilang dan menjelaskan padanya. Sepertinya itu hal yang sia-sia saja.
"Saya pindah kost karena biar searah sama Adit Pak," jawabku akhirnya.
Aku tidak berbohong kan dengan jawabanku tadi? Itu memang salah satu alasan aku kost di sini.
"Iya benar juga," jawabnya. Tapi raut wajahnya nampak kecewa. Sepertinya dia nampak tidak puas dengan jawabanku tadi. Apa yang dia pikirkan ya?
"Oke, kamu segera istirahat, jangan sampai sakit," ungkapnya.
"Sejak kapan anda memperdulikan saya?" tanyaku.
"Kalau kamu sakit, bagaimana dengan pekerjaan saya?" nada bicaranya meninggi.
Ah, kupikir dia peduli denganku. Ternyata dia hanya menghawatirkan dirinya sendiri.