"Pak Roni ngantuk ya?" Sindirku.
"Nggak enak aja!" Elaknya.
"Saya nggak ngantuk, ayo lanjutin." Pintanya dengan mata lelah yang sudah tergambar jelas. Berkali-kali juga ia menguap.
"Bapak tunggu sini saya akan bikinkan kopi." Aku mencoba berbaik hati padanya.
Segeralah aku menuju pantry untuk membuatkan kopi untuk kami berdua.
Belum sampai pantry tiba-tiba seluruh lampu penerangan di kantor mati. Padahal aku paling takut kegelapan. "Bagaimana ini, aku masih jauh dari ruangan Roni."
"Tolong!" Pekikku ketakutan.
Aku meraba saku bajuku. "Celaka, aku tidak membawa ponsel untuk membantu penerangan." Aku mulai panik.
Aku tidak berani melangkah. Kakiku gemetaran dan seperti terpaku disini. Setelah itu terduduk lesu tak mampu bergeming. Aku mati langkah seketika. Iya aku memang sangat takut pada kegelapan.
Aku berteriak minta tolong dengan air mata yang mengucur deras. Aku tidak melihat seorangpun disini, sepertinya kantor sudah sepi. "Apa semua karyawan sudah pulang?"
"Tolong…" pekikku, semakin gelisah dan bertambah panik.
Sebuah cahaya datang dari arah samping. "Nadia?!" Roni datang dengan cahaya pada ponselnya berteriak mencariku.
Bukannya menjawab aku malah terpaku masih gemetar. "To tolong." Gumamku lirih. Badanku lemas seperti mau pingsan.
Roni yang mengetahui keberadaanku segera berlari menghampiri aku. "Nadia kamu nggak papa?" Dia bertanya tak kalah panik. kedua tangannya memegangi pipiku yang basah. Lalu dia memelukku erat. Sementara aku berusaha menghentikan sesenggukanku.
Roni memapahku berdiri. Dia berusaha menenangkan aku. "Kamu tenang ya, jangan takut, ada aku disini."
Kami berjalan ke arah ruang kerja Roni. Masih dengan suasana yang sama, listrik masih mati. "Aku ambilkan minum dulu ya?" Tawar Roni.
Aku menggeleng cepat lalu memeluknya dari belakang. Entahlah aku sendiri tidak tau kenapa aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri saat gelap seperti ini. Apalagi di gedung pencakar langit seperti ini. Seram sekali rasanya.
Dia menghela nafas. Lalu merangkul pundakku sembari menuntunku mengambil air mineral tak jauh dari tempat kami.
"Kamu masih belum berubah ya dari jaman SMA dulu?" Roni terkekeh. Posisi kami sekarang duduk di pojokan sofa dekat meja kerjanya.
"Iya, hemgh, maafin atas sikap saya tadi ya kak." Aku segera membungkam mulutku. "UPS aku keceplosan memanggilnya dengan sebutan kak". Lalu kami saling menatap canggung.
"Maksudku saya tadi nggak sengaja peluk bapak." Aku mencoba menjelaskan.
"Bukankah sejak dulu, memang pundakku yang ternyaman bagimu?" Kelakarnya menyombongkan diri.
"Ih kepedean!" Decihku.
"Itu yang kamu katakan dulu, ingat nggak?" Roni menaikkan satu alis.
Roni terkekeh, "ada beberapa yang berubah dari kamu, meski nggak semuanya ternyata."
"Udahlah lupain aja kejadian tadi." Aku tersipu malu. "Tapi makasih ya pak, udah nolongin saya tadi, kalau nggak saya,-" aku tidak bisa melanjutkan ucapanku.
"Kamu bisa pingsan kayak waktu acara OSIS dulu itu, iya kan?" Roni melanjutkan ucapanku.
"Apaan sih?! Masih inget aja?" Pekikku malu aku mengingat masa itu.
"Tapi kamu masih ingat kan? Saat dulu kita kejebak di ruang guru pas mati lampu?" Roni mencoba membawaku pada kejadian itu. Delapan tahun yang lalu.
Orang ini benar-benar aneh. Kemarin dia menghindari ku setengah mati. Sekarang dia suka sekali menggangguku. Maunya apa sih? Untuk apa sih mengingat kisah 8 tahun itu. Aku saja berusaha keras melupakannya.
Sebenarnya aku masih ingat kejadian itu. Walau sudah sangat lama tapi masih berkesan di hati ku. Hanya saja aku malu mengakui.
***
Kejadian delapan tahun yang lalu. Waktu itu kami masih duduk di bangku SMA. Waktu itu Roni kelas 2, sedang aku masih kelas 1.
Iya dulu Roni kakak kelasku sewaktu SMA. Dia dulu salah satu kakak kelas idola para cewek di sekolah. Salah satunya aku. Kalau ingat rasanya malu sendiri aku.
Dia adalah kakak dari sahabatku Rena. Karena seringnya bermain ke rumah Rena. Lama-lama aku merasa nyaman dengan Rena. Di tambah lagi ternyata mama kami juga bersahabat sejak lama.
Roni adalah pria berhati lembut yang sangat sayang pada adik perempuannya itu. Dia bahkan juga memperlakukan aku, sama seperti adiknya. Lalu akhirnya aku jatuh cinta pada Roni.
Dia bilang dia sudah menganggap aku seperti adiknya sendiri. Tapi aku tidak menganggap dia seperti itu. Aku ingin lebih. Aku ingin memilikinya. Aku ingin dia menjadi kekasihku.
Aku menjadi teringat kembali kejadian itu. Saat itu sekolah kami sedang melakukan Diklat Anggota Pengurus OSIS, dimana aku dan Roni ada dalam 1 organisasi yang sama.
Kami para pengurus OSIS baik yang baru bergabung maupun senior harus mengikuti Diklat dengan menginap di sekolah.
Untuk acara malamnya, kakak senior pengurus OSIS akan memutar proyektor tentang memori manis kegiatan-kegiatan sekolah yang mereka lakukan sebelum kami. Sehingga nantinya kami tau gambaran tugas apa yang akan kami hadapi nanti. Termasuk acara piknik juga akan diputar nanti.
"Nadia ambil proyektor gih sana di ruang guru!" Perintah kak satria ketua OSIS
Sebagai anak baru aku tidak berani membantah. Meskipun sebenarnya aku takut ambil sendiri di ruang guru. Roni yang menyadari hal itu merasa kasihan kepadaku. Dia menawarkan diri untuk mengantarku kesana.
"Gue tau lo sebenarnya takut kan? Biar gue temenin nanti ya?" Roni menawarkan diri. Dulu aku sama Roni memang sangat santai bicaranya. Kami memanggil elo dan gue.
Aku bersorak senang seperti anak kecil yang mendapat permen. "Hore… makasih kak Roni, kak Roni baik deh."
Kata mereka aku ini masih kekanak-kanakan. Diosis aku diperlakukan seperti anak kecil karena pembawaanku yang ceria dan manja. Aku sudah kelas 1 SMA tapi masih saja suka melompat-lompat seperti anak TK.
"Kayaknya dia anak TK yang terjebak di tubuh anak SMA deh," ungkap kak Astrid salah seorang kakak senior.
"Mending anak lain galau diputusin pacarnya nyanyi lagu galau, nah dia tiap hari lagunya iklan susu balita, sekelas sama dia berasa jadi di taman kanak-kanak tau nggak?" Kata Rena sahabatku. Semua yang mendengar tertawa.
Aku mendengus kesal. "Ih nggak!"
"Sulit dipercaya ya? dulu dia seleksi pengurus OSIS nggak gini lho padahal, dia kalem dan kelihatan smart gitu?" Kata kak Sena menggosok dagunya.
"Jadi aku sekarang kelihatan bodoh gitu kak?" Tangkasku kesal. Lalu semua kembali tertawa riuh.
Malam telah tiba, saatnya aku bertugas mengambil proyektor untuk acara malam ini. Kami berjalan berdampingan di tengah mendung senja. Angin juga bertiup sedikit lebih kencang.
"Kak kok mendung ya? anginnya juga kencang," ungkapku sibuk merapikan rambutku yang tertiup angin. Tanpa sadar rambut panjangku mengenai wajahnya. Dan dia hanya tersenyum.
"Sorry sorry kak."
"Nggak papa, untung wangi," jawabnya.
"Makasih," aku tersipu malu.
"Iya kalau bau, mba Kun dong, hahaha," Roni tertawa geli.
"Hih, jahat banget," aku berlari mengejarnya karena kesal.
Aku masih terengah-engah, sibuk mengatur tempo nafasku setelah mengejar Roni tadi.
Padahal ruang guru yang akan kami tuju ada di untuk mengambil proyektor ada di lantai 3. Kalau naik tangga belum apa-apa udah capek duluan. Untung ada liftnya jadi tidak akan capek.
Kami telah sampai di lantai 3 dan sudah mengambil tas berisi proyektornya. Tiba-tiba hujan turun sangat deras sekali, diiringi petir juga angin kencang. "Wah gawat". Wajahku mulai panik ketakutan.
'DUAR' suara petir menggelegar. Spontan aku meringkuk bergelayut pada lengan Roni.
Roni mengusak rambutku dengan lembut sambil menenangkan diriku, "tenang ya, kan ada aku disini."
"Kayaknya lift nggak kondusif dipakai saat ini kita pakai tangga aja ya biar aman?" Imbuhnya. Aku hanya mengangguk tanda setuju.
Di lantai 2 Roni berpamitan ke toilet. "Nadia kamu tunggu sini dulu ya aku mau ke toilet bentar."
"Tapi aku takut kak, aku takut sama gledek." Aku merengek memegangi tangan Roni.
"Iya tapi aku kebelet pipis Nadia, masak kamu mau ikut?" ungkapnya. Lalu buru-buru aku lepaskan tanganku malu.