Namaku Elizha Lathifa, namun banyak orang memanggilku Sazha. Aku tak pernah mempermasalahkan setiap panggilan orang padaku. Jujur aku tak pernah menganggap penting itu semua, karena memang pada dasarnya sifat acuh tak acuh ku. Namun bukan berarti aku acuh pada setiap hal. Aku bukan orang yang tega bila melihat orang lain kesusahan. Karena sifat itulah orang lebih menyukai berteman denganku. Mungkin karena aku terlalu baik dan percaya ataukah ada maksud lain. Aku tidak tahu.
Oh ya, aku sampai lupa mengenalkan diriku sendiri. Aku Sazha, wanita yang berumur 22 tahun. Seperti wanita pada umumnya rambut panjang sebahu sedikit berwarna karena aku memang gemar mewarnai rikmaku. Toh pekerjaan ku tak melarang aku melakukannya. Tubuh tak terlalu tinggi dan tak terlalu rendah membuatku nyaman dengan hasil yang sudah Tuhan cetakkan padaku.
Menulis, menulis memang bukan profesi ku
Menulis pula bukan hobi ku. Namun entah mengapa aku lebih menyukai menulis untuk mengungkapkan seluruh isi di kepalaku.
Dengan menulis aku bisa menggambarkan isi hatiku, dengan menulis aku bisa membagi kebahagiaanku, dengan menulis aku bisa meluapkan emosiku, dengan menulis aku bisa menjadi diriku sendiri.
Menulis adalah caraku protes pada ketidakadilan pada diriku sendiri, aku sudah tak adil pada diriku sendiri. Bukan aku tak memiliki banyak pendengar dan menjadi tempatku berkeluh kesah. Aku lebih leluasa menulis daripada harus bersusah payah bercerita pada orang yang belum tentu mau mendengarku.
Saat ini aku bergabung dengan sebuah perusahaan perangkat keras komputer. Aku ditunjuk menjadi salah satu marketing tim eksekutif. Karena memang sesuai jurusan yang aku ambil sewaktu aku mengenyam pendidikan formal ku yakni komunikasi. Sudah hampir setahun aku dipercaya oleh perusahaan untuk meng handle beberapa progam dan event di wilayah salah satu kota besar di Jawa Timur.
Kota Pahlawan, kota dimana aku menghabiskan beberapa masa mudaku. Kota dimana aku menjadi salah satu Hamba materi. Jangan tanya sesuka apa aku dengan makhluk yang bernama materi atau lebih tepatnya uang. Begitu banyak warga kota pahlawan yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hati Si uang. Uang lah yang selama ini dinanti kehadirannya bagi sebagian khalayak di kota ini. Termasuk juga saya. Hingga akhirnya aku meninggalkan kewajiban yang harus aku tunaikan pada Sang pemberi helaan napas.
Setiap aliran darah yang mengalir di raga ini selalu menuntunku untuk berlomba-lomba dengan para penghuni kota ini dalam mencari kesenangan duniawi. Sungguh sia-sia hidup ini. Sia-sia yang sudah aku jalani sejak dulu, namun aku tak pernah merasa menyesal sedikit pun.
Siang ini, aku baru saja menginjakan kakiku di kota metropolitan terbesar kedua di Negara ini. Setelah beberapa hari aku menghabiskan masa ku di Kota dingin. Stasiun kereta api di Kawasan Surabaya Timur menjadi titik kepulangan ku. Sambil membawa travel bag yang menggantung indah di bahu kananku aku keluar dari Stasiun moda transportasi darat tersebut.
Cuaca terik cukup menyengat dan sedikit mencubit kulitku, lantaran aku bukan wanita berhijab sengatan matahari lumayan menusuk hingga ke pori-pori kulit ku. Ku lihat suhu udara dari layar ponsel pintar ku, "Hmmm ... 38," gumamku pelan menuju parkir tempat itu.
Dengan langkah tergesa, ku percepat perjalanku menuju tempat di mana kendaraanku kutitipkan. Sesekali aku menengok kearah lain, para penjaja minuman keliling menarik perhatianku yang sudah terlihat lusuh bak cacing kepanasan. Penjaja minuman itu memanggil-manggil para calon pembeli dengan menawarkan barang dagangannya.
"Mizone, Aqua dingin, Sprite!" serunya memecah terik kota ini.
Ku palingkan wajahku, agar aku tak terbujuk rayuan mas-mas penjaja minuman dingin tersebut. Bukan aku tak selera, namun aku sengaja tak ingin mengulur waktu lama-lama. karena akan menghabiskan banyak waktuku yang berharga.
Ketika aku hendak membuka jalan masuk ke mobilku, kurasakan ada dorongan dari arah belakang badanku. Dengan tenaga yang cukup kuat, benda yang menggantung di bahuku tersentak lepas lantaran sebuah tarikan dari lelaki bertubuh tambun. Aku mencoba meronta dan berteriak sekencang-kencangnya.
Meski sedikit sepi, parkir mobil yang menjadi tempat kendaraanku bermalam cukup mudah dijangkau.
"Lain kali hati-hati mbak," ucap Sesosok pria yang tak ku kenali. Pria itu telah menolongku dalam mempertahankan benda berharga milikku. Di dalam tabel bag yang aku bawa, selain berisi beberapa pakaian ganti ada pula Notebook yang berisikan data-data pekerjaanku. Materi bisa dicari namun data penting jangan sampai terlewati.
"Terimakasih Mas," ucapku berterima kasih pada pemuda yang telah menyelamatkan aku. Atau lebih tepatnya menyelamatkan pekerjaanku.
"Jangan berterimakasih pada saya mbak, Anda punya Tuhan kan? berterimakasih lah pada Tuhanmu, saya hanya perantara saja!" ujarnya seraya berjalan menjauhi tubuhku yang hanya memaku tepat disamping kendaraanku.
Deg ... jantungku serasa sejenak berhenti bekerja, tak ada lagi irama yang mengajakku menyerukan untuk bertasbih. Jantung yang selama ini mengajakku untuk meng Esakan Tuhanku.
"Tuhanku? Siapa aku?" ucap dari lisanku. Kakiku gemetar hingga tak mampu menopang ragaku. Aku terduduk lemas dibelakang kemudi sedanku. Sedanku? bukan miliku, ini adalah salah satu inventaris dari perusahaan. Lalu apa yang aku miliki? Raga ini? Raga ini milik siapa? sejuta tanya kini memenuhi batinku.
Aku tak tahu lagi apa yang ingin aku lakukan, mengapa setiap kata dari lisan yang terucap dari mulut pemuda itu begitu menampar setiap sudut di relungku. Aku memaku, suara itu masih terngiang tajam di indera pendengaranku. Hingga aku mencoba menguatkan diirku untuk menjalankan mobil yang selama ini menemaniku.
Tepat di lampu merah pertigaan depan sebuah supermarket, mobilku berhenti. Aku menoleh sejenak ke kanan dari posisiku, disanalah aku sering menghabiskan malam ku bersama rekan kerja dan temanku. Di salah satu tempat hiburan malam yang tepat diatas gedung supermarket itu berdiri.
Aku mulai menundukan wajahku, tempat seperti ini sudah menjadi rahasia umum bagi kawula muda seperti aku. Namun ada rasa malu saat ini. Sebelumya aku tak pernah merasakan hal yang saat ini aku alami. Kenapa aku bisa sampai di titik seperti saat ini.
Duka? tentu saja bukan. Ini lebih tepatnya kecewa, kecewa kenapa aku bisa melupakan Sang Pemberi kehidupan. Lalu bagaimana caraku menebus ini semua? Apa yang harus aku lakukan?
*
Titik Sepi
seperti angin yang berhembus
kususuri sunyi dalam garis lurus
menuju titik yang pernah kau gores
pada lembar hidupku
kan kututurkan sejuta syair
wacana berbedanya harapan dengan kenyataan
wacana kecewa tanpa sesal
wacana perih tanpa nganga luka
wacana rasa juga cinta
wacana kita
yang mengalah pada sejuta hukum nyata
ya, kita
yang telusuri garis lurus sunyi
menuju titik sepi