Wanita itu rebah di pembaringan dengan dada yang terluka dalam. Ia mencoba menggerakkan tangannya yang bebas untuk mengambil barang dalam satu kibasan. Dari jauh sehelai pashmina bergerak menuju dirinya. Kain yang datang tanpa disentuh digunakannya untuk membebat tangan kiri. Matanya nyalang mencari dua keranjang yang berisi bayi-bayi. Keranjang yang sudah disiapkan untuk diangkut pergi.
"Erion ... Eila!" Dia berteriak, memanggil dua nama, mencoba berdiri. Rumah itu sudah hancur, tidak ada barang yang utuh. Perkelahian yang baru saja terjadi memporak-porandakan seluruh isi rumah.
"Ura ... Aghni ... " Dia berteriak lagi.
Wanita itu tertatih melangkah menuju sebuah kamar, menyeret kakinya yang juga luka. Kakinya menabrak sebagian barang-barang. Hidungnya mencium bau gas, bau bahaya.
Ia bergegas membuka pintu kamar, kembali berteriak menyebutkan Erion, Ura, Aghni dan Eila. Dia Histeris melupakan tubuhnya yang penuh luka.
Bau gas makin menyeruak, ia masih sibuk memeriksa dua kamar lagi dan kamar-kamar mandi, berkali-kali meneriakkan empat nama.
Tidak juga ditemukannya dua keranjang bayi dan dua anak lainnya. Wanita itu bergegas ke pintu saat menyadari bahaya yang mengintai. Bertepatan dengan dirinya yang sampai di halaman dari arah dapur terdengar ledakan keras, menghancurkan satu rumah.
Wanita itu terduduk membeku.
"Balinda Daghda, sebaiknya nyonya ikut bersama saya."
seorang Pria menariknya berdiri, mengangkat tubuhnya melangkah menuju sebuah van besar.
***
Tubuh letihnya terbangun di ranjang putih dalam kubah yang juga putih tanpa jendela, Lukanya menghilang tanpa bekas, namun seluruh persendian masih kaku dan ngilu. Sudah 24 jam ia tak sadarkan diri.
Daghda mengerjapkan matanya, menyusun ingatan tentang apa yang telah menimpanya.
"Erion, Ura, Aghni, Eila ... di mana kalian?"
Airmata membasahi pipinya, mengalir tanpa bisa ditahan. Tubuh telentangnya tidak bisa digerakkan, ada sesuatu takkasat mata yang mengikatnya. Ia memejamkan mata lagi mencoba menghentikan tangis.
Salah satu bagian kubah tiba-tiba terbuka, dinding mulus itu mendadak berongga seluas orang dewasa. Seorang pria berusia sekitar 30an melangkah masuk.
"Bali ...," panggil pria itu pelan di telinga Daghda, dia melanjutkan kalimatnya "tetaplah tidur hingga kau benar-benar sembuh."
Wajah Daghda terlihat sangat tenang dan napasnya kembali teratur. Rongga pintu kembali membuka, seorang wanita masuk mendekati ranjang,
"Bagaimana Barraq? Apa dia kita pindahkan ke Ibukota? Di sini tidak aman. Aku yakin dia tidak akan keberatan."
Wanita dengan kacamata dan rambut lurus sebahunya memandang Barraq menunggu jawaban.
"Dia masih shock, Rora ... Tidak memungkinkan bagi kita memindahkannya. Tiga hari lagi, kumohon tiga hari lagi. Aku yang akan membawanya."
"Anakku ... Aghni ... Eila... Erion ... Ura." Daghda mengigau dalam tidurnya.
Rora menyentuhkan tangan ke ubun-ubun wanita itu, kemampuannya memanipulasi pikiran dia salurkan pelan untuk menutup ingatan Daghda. Namun, semacam tameng membatasinya. Keringat muncul di dahi Rora, kekuatannya melemah.
"Tidak perlu kau lakukan itu. Tidak ada satu ibu pun yang akan bisa menghilangkan ingatan tentang anak-anaknya. Jangan
lakukan itu, kumohon."
"Ia harus melupakan mereka, Barraq. Anak-anak itu tidak berharga, mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa. Kami mempertahankan istrimu, karena ia hanya gogor yang kau cintai."
Mata Barraq berkilat, kalimat yang disampaikan Rora mengusik harga dirinya. Wanita bodoh ini tidak tahu bagaimana keluarganya. Istrinya sangat pintar menyembunyikan kemampuannya, agar semua orang menganggap ia hanya Gogor—ras tanpa kemampuan kinesis— tanpa kemampuan apa-apa. Akan tetapi, Barraq tahu sebenarnya istrinya adalah seorang Gragona sejati, kemampuan telekinesis istrinya sudah melebihi level 5 saat ini. Ia bahkan sudah bisa memindahkan sebuah kendaraan berat dalam satu kedipan mata.
Barraq hanya diam tidak menyampaikan apa-apa.
Kibasan tangan Rora membuat rongga besar di dinding terbuka, Aurora –Rora– adalah salah satu dari lima Gragona, darah murni yang memiliki kemampuan kinesis tingkat tujuh.
"Aku sarankan kau untuk menikah lagi dengan Cyra, setidaknya dia Korgana yang memiliki kemampuan kinesis terbaik."
Kalimat yang disampaikan Rora membuat Barraq bergeming. Ia curiga Rora dalang dari penyerangan di rumahnya.