Aku masih mengingat jelas waktu itu, ketika eyang putri dari garis keturunan mama menyisir dan membelai rambutku yang panjang dan begitu hitam legam. Waktu itu, aku berlibur ke rumah eyang yang ada di Jogja. Eyang kakung sudah meninggal waktu itu jadi, eyang putri tinggal bersama seorang yang diminta mama untuk menemani eyang.
Eyang sangat menyayangiku, karena aku adalah cucu satu-satunya dari Putri semata wayangnya. Eyang putri selalu berkidung ketika menyisir rambutku yang panjangnya sampai pinggang ku waktu itu. Sekarang pun masih seperti itu.
"Nduk..." Suara eyang yang begitu lembut dan menyenangkan hati memanggilku, yah, seperti halnya orang Jawa, aku dipanggil seperti itu. Aku menyukainya. Sangat menyukainya.
"Enggih eyang..." Jawab ku yang waktu itu usiaku sepuluh tahun, sangat fasih berbahasa Jawa halus, seperti turunan ningrat yang tumbuh di Jogja sepenuhnya, saat itu aku langsung duduk menghadap eyang putri.
"Di tanah iki, ing bumi iki, wanita itu dianggap lemah oleh kaum lelaki. Kita hanya dianggap sebagai pelengkap, pemanis. Ananging sejatine mereka membutuhkan kita, takluk akan kaum kita."
"Maksud eyang pripun? Dilla mboten ngertos ingkang eyang maksud." Tanyaku yang belum mengerti maksud eyang waktu itu.
"Kanggo sak iki, awakmu pancen durung nyandak apa sing eyang maksud. Awakmu, mung perlu ngiling-ngiling pesan eyang iku. Nek awakmu wes gedhe, wes dewasa lan ngrasakke legi, pahit, asin, sepette dunyo iki, awakmu bakal paham."
"Nggih eyang. Dilla bakal mboten kesupen kalihan pesanipun eyang dinten niki wau."
"Eling ya nduk! Sak najan ing njero jiwo kita iku satrio penakluk ananging, ing njobo kito kudu nampak koyo kembang kapas, putih, rapuh, lan indah."
"Inggih eyang." Eyang tersenyum sumringah ketika mendengar kepatuhanku. Melanjutkan lagi membelai rambutku. Kenangan itu masih terngiang jelas diingatanku sampai saat ini. Pesan eyang yang selalu aku ingat.
Pesan eyang, yang tak ku mengerti di usiaku yang sepuluh tahun waktu itu, kini sedikit demi sedikit aku memahaminya, di usiaku yang ke delapan belas tahun -beberapa hari kedepan sesungguhnya- sedikit banyak aku mengerti maksud eyang waktu itu.
Ananging sejatinya mereka takluk oleh kita. Yah mereka yang merendahkan kaum wanita dan mereka yang takluk oleh kaum wanita adalah para lelaki. Mereka sebenarnya memuja dan terperdaya akan keindahan kaum wanita bahkan, ada beberapa perang yang terjadi hanya karena kecantikan seorang wanita di suatu Negeri. Perang besar yang hanya memperebutkan seorang wanita cantik.
Apakah hanya dengan sebuah kecantikan saja wanita dipuja? Tentu tidak, wanita mempunyai banyak sekali keahlian yang mampu untuk menaklukkan kaum lelaki, keahlian dalam intelektual, keahlian dalam berbicara, dan keahlian lainnya, mungkin salah satu contohnya adalah seperti yang dari kulakukan saat ini.
Leon, pacarku yang saat ini usianya sama denganku mendongak dengan mata terpejam dan dahi mengkerut, tidur ataukah sedang bermimpi buruk? Jawabannya adalah tidak keduanya. Satu tangannya aktif membelai kepalaku dan sesekali membenarkan letak anak rambutku karena aku terlalu sibuk dan menikmati kegiatanku bersama dirinya yang sedang keras di bawah sana.
Suara geraman nikmat dan beserta desah itu memenuhi seisi ruangan mobil Leon yang sedang terparkir di pinggir jalan sepi dan gelap. Aku yakin mobil Leon saat ini nampak bergoyang secara harus dari luar karena gerakan kepalaku.
Aku sedang menganggap bagian Leon di bawah sana, yang sedang keras dan maskulin itu, serupa dengan Lollipop dan es krim. Sehingga, begitu betah aku menjilat dan mengulum benda itu. Satu tangan Leon meremas sandaran kepala pada jok mobil. Suara desisan kenikmatan dari bibir Leon Semakin menjadi, kulepaskan benda itu dari mulutku menggantinya dengan tangan kiriku kubelai dan kupijat dengan penuh perasaan naik turun dari seluruh batang dengan cepat lalu pelan lalu. Dengan cepat lagi lalu pelan lagi masih seperti itu tinggal Leon mulai tak bisa tenang. Aku kembali menunduk mengombinasikan antara mulut dan juga tanganku, berharap Leon segera mendapatkan melepaskannya karena perutku sudah meronta ingin diberi makan.
"Oh... Dillahh... " semburan hangat berisi cairan kental nan hangat menyembur kedalam mulutku, sebagian meleleh di sela bibirku. Segera ku raih tissue yang ada di mobil, membuay cairan itu dari mulutku dan membersihkan sisanya. Aku tak ingin cairan cinta Leon menjadi menu pembuka makan malam ku, itu saja. Sedikit berkumur dengan air mineral yang selalu aku bawa di dalam tumblr ku dan membuangnya lewat jendela.
"Suka?" Tanyaku yang telah bersih kepada Leon yang masih sibuk dengan celananya. Muka merahnya karena gairah kembali berlangsung menuju warna normal tergantikan wajah cerah nya.
"Selalu." Dia tersenyum puas padaku sambil menutup resleting celananya. "Aku selalu menyukainya. Terima kasih baby." Leon membelai rambutku mengecup pipiku lalu keningku. Perlakuan manisnya itu mampu membuatku tersenyum dan kembali pulih atas kerja kerasku terhadap miliknya yang keras tadi. Leon selalu bisa menunjukkan rasa terima kasih atas pelayanan ku dan itu membuatku bangga.
"Aku laper babe, butuh asupan tenaga." Kataku memelas kepada Leon dan tentu saja di setujui olehnya. Leon selalu mengiyakan permintaanku, menuruti perkataanku terlebih, setelah ia mendapatkan pelepasan seperti tadi. Tanpa memintapun, ia akan melakukan dengan sepenuh hati. Mobil kami pun dengan segera melaju meninggalkan pinggir jalan yang gelap dan sepi tempat kami parkir dadakan. Karena Leon merasakan desakan kebutuhan yang harus segera dituntaskan dengan bibir dan tanganku.
Leon adalah kekasihku saat SMA saat ini maksudku, sebenarnya aku tidak berniat memiliki kekasih saat aku masuk SMA waktu itu, terlalu malas dan ada sedikit trauma karena mantan pacarku yang berhasil waktu SMP yang sialnya lagi adalah, dia pacar pertamaku. Tapi, Leon berjuang mengejarku, meyakinkanku untuk berpacaran dengannya. Hampir satu tahun ia berjuang untuk mendapatkan ku. Hingga akhirnya aku luluh akan kegigihannya itu dan setuju menjalin hubungan dengannya. Cinta? Aku tidak tahu apakah aku mencintainya atau tidak yang aku tahu Leon berani memperjuangkanku itu berarti bahwa aku cukup berarti dan berharga untuknya. Itu adalah alasan yang cukup untukku sam menerimanya sebagai pacar.
Terlebih Leon tidak mengetahui identitas ku yang sebenarnya. Jangan berpikir aku bukanlah manusia atau penyihir yang cantik dan seksi. Bukan seperti itu walau, seksi cukup cocok untukku yang memiliki proporsi tubuh dengan tinggiku yang hanya 155 cm berat badan 50 kg dengan ukuran bra 34B namun wajahku tidaklah cantik kata orang wajahku itu manis dan imut.
Yang aku maksud dengan identitas dirikuu yang sesungguhnya adalah latar belakang keluargaku.Aku adalah seorang putri tunggal semata wayang sekaligus kesayangan dari pengusaha properti dan hotel di negeri merah putih ini. Hendrix Wicaksono adalah nama papaku sedang, nama namaku adalah Ayu Wulan Wicaksono. Leon hanya tahu diriku sebagai Dila Ayu seorang siswa SMA biasa tanpa embel-embel Wicaksono di belakang namaku.
Entah bagaimana Papa melakukannya, menyembunyikan latar belakang ku. Awalnya Papa memang menolak keinginan ku itu karena, aku adalah penerus tunggal. Tapi, karena kegigihanku akhirnya Papa setuju. Bukan tanpa alasan aku melakukan hal tersebut. Itu semua karena mantanku yang brengsek itu. Namun, Leon menerimaku apa adanya aku, walau tanpa embel-embel nama Wicaksona di belakang nama aku, tanpa mobil mewah, tanpa barang branded di sekelilingku. Leon dia istimewa untukku.