- Hiraeth -
"Tentang kamu, aku, kisah cinta kita, dan takdir Tuhan."
-oooo-
Helaan nafas terdengar dari seorang perempuan yang kini tengah menatap dirinya di depan cermin seraya merapihkan rambutnya yang mulai berantakan.
Walaupun wajahnya terlihat lelah, tapi sebisa mungkin perempuan itu ingin kembali tampil rapih dan cantik di waktu jam pulang kerja sore ini.
Lipstik berwarna coco kembali ia oleskan di bibir padatnya, tidak lupa parfum ia semprotkan untuk menjaganya tetap wangi. Perempuan dengan tinggi 165 cm itu akhirnya kembali merasa puas dengan penampilannya, ia kemudian tersenyum untuk menyemangati dirinya sendiri.
Padahal suasana kantor sudah sangat sepi, tapi perempuan itu malah betah ber-mirror selfie dan mengambil berkali-kali untuk mendapatkan angle yang bagus. Saking fokusnya ia tidak sadar kalau ada yang memperhatikannya dengan sebuah senyuman.
"Sarah..." Panggil seseorang itu, membuat Sarah terkejut dan hampir saja menjatuhkan ponselnya ke wastafel.
Sebelum menoleh, Sarah mengelus dadanya terlebih dahulu dan menghela nafas lega. Lega setelah memastikan yang dibelakangnya itu betulan manusia.
"Kaget aku." Ujarnya pelan, entahlah dia tidak malu kepergok sedang selfie. Yang membuat ia lega hanya satu, bukan hantu yang memanggil namanya.
Perempuan dengan high heels warna hitam itu akhirnya menoleh dan kembali terkejut. Memang sepertinya sore ini dipenuhi dengan rasa keterkejutan untuk Sarah.
"Sebentar, Alana, ya?" Tanya Sarah, menatap orang dihadapannya lekat-lekat. Sarah hanya takut salah orang, tapi sepertinya yang dihadapannya ini betulan teman SMA nya. Sarah masih ingat betul wajah cantik si ketua OSIS Alana.
"Iya. Aku gak tahu kamu kerja disini, Sar." Jawab Alana, tersenyum dan memandang kagum Sarah.
Benar, Sarah Klareta yang Alana tahu dulunya adalah teman sebangku yang sangat anti sekali dengan namanya make-up. Alana masih ingat betul bagaimana Sarah mengamuk karena tidak ingin memakai make-up untuk drama musikalnya.
Itu jelas sudah lama sekali. Masa putih abu telah tertinggal tapi masih menjadi kenangan yang amat sangat menyenangkan, begitu pun untuk Alana dan Sarah. Keduanya telah berubah penampilan, juga umur yang semakin bertambah.
Lama tidak bertemu saking merasa pangling nya, Alana dan Sarah hanya saling menatap untuk beberapa detik. Hanya tidak menyangka usia mereka sekarang telah menginjak 24 tahun ketika mereka bertemu lagi.
"Al, aku masih ingat gimana kamu narik-narik bajuku cuma buat maksa-maksa pakai lipstik." Ujar Sarah, tertawa pelan dan kembali bernostalgia dengan masa-masa putih abu mereka.
"Gak menyangka ya usia kita juga ternyata udah kepala dua?" Lanjutnya.
Alana tersenyum dan mengangguk, gurat-gurat lelah diwajahnya tak ingin ia perlihatkan didepan Sarah. Karena Alana tau, Sarah juga pasti sedang merasa kelelahan akibat pekerjaan yang sangat menumpuk.
Kalau dulu mereka mengeluh dengan pelajaran sekolah, sekarang mereka lebih sering mengeluh tentang kehidupan nyata yang kadang tidak sesuai ekspektasi.
Lelah masing-masing sejenak mereka lupakan untuk saling menyapa satu sama lain dengan keceriaan yang sangat bahagia. Kapan lagi memang bertemu dengan teman dekat semasa SMA?
"Time file so fast ya, Sar?"
Sarah mengangguk, keduanya melangkahkan kaki dengan perbincangan hangat di sela waktu sore yang semakin gelap. Layung berwarna oren menembus kaca besar membuat pemandangan kota terlihat cantik jelita.
Suara high heels dan tawaan itu sukses membuat kedua teman baik ini ingin sekali kembali ke masa itu. Masa di mana sedang membuat coretan kenangan yang indah, karena mereka beruntung masa-masa pahit putih abu tidak begitu terlalu banyak singgah.
"Kamu pulang sama siapa, Sar?" Tanya Alana, begitu sampai di lantai paling bawah. Mata coklat Alana masih menatap Sarah yang sepertinya kebingungan.
"Sama ojek online atau grab, tapi kok gak dapat-dapat ya? Padahal cuaca cerah begini." Jawab Sarah, masih setia mencari driver. Kebetulan hari ini perempuan itu tidak membawa kendaraan karena dipakai adiknya.
Sarah mengalah, karena adiknya itu ngotot ingin mencoba mobil Sarah yang baru. Padahal mobil itu juga masih nyicil. Impian Sarah memang ingin mempunyai kendaraan dari hasil keringatnya sendiri, tidak apa-apa walaupun nyicil yang terpenting itu murni hasil keringatnya.
"Aku sebenarnya masih ada kepentingan habis ini, tapi kayaknya aku gak bisa tinggalin kamu sendiri, Sar."
Mendengar ucapan Alana, Sarah tertawa. Tidak salah Alana berkata seperti itu? Sarah bahkan sudah sering seperti ini dan dia adalah orang dewasa yang mandiri. Sarah bisa mengatasi semua masalahnya, apalagi hanya tidak dapat driver ojek online.
"Kamu tenang aja, Al. Kamu pikir aku anak kecil?" Ujar Sarah, menepuk pundak Alana. "Cuma gak dapat driver, gampang lah nanti aku telfon adikku itu."
"Loh, si Septian, ya? Dia sudah gede, kah?" Kata Alana, antusias. Dia ingat sekarang, kalau Sarah mempunyai adik bernama Septian.
Septian yang Alana ingat dulu sering sekali ingusan dan menangis jika Sarah pergi nongkrong bersama teman-temannya. Entah anak itu sekarang pasti sudah gede atau mungkin tingginya sudah melebihi Sarah dan Alana. Luar biasa rasanya memang ketika sudah lama tak bertemu dan kehidupan memang akan terus berjalan.
"Ya tentu saja dia sudah gede Al, di kuliah sekarang. Ambil jurusan komunikasi." Jelas Sarah.
"Gak ingusan lagi kan dia?"
Sarah tertawa dengan pertanyaan Alana, memang adiknya itu terkenal anak yang sering ingusan sampai teman-teman Sarah pun tahu. "Sudah enggak, ganteng sekarang. Makin nyebelin dan banyak maunya."
"Sama dong kayak adikku." Timpal Alana membuat Sarah menepuk jidatnya.
"Iya ya, kamu juga punya adik laki-laki. Apa kabar dia? Dulu pas kita masih SMA dia masih SD kan?"
Alana mengangguk kemudian melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga menit. "Kabar Dirga baik, masih kelas tiga SMA. Ngeselin juga dia orangnya, mungkin semua adik kayak gitu kali ya?"
"Emang, kakaknya dibikin repot terus. Tapi emang Dirga ya namanya? Aku ingat-ingat lagi yang lintas di kepalaku bukan Dirga. Dia ganti nama?"
Alana tertawa. "Enggak, dari lahir juga namanya Alex Dirga. Gak pernah diganti, kayaknya kamu yang lupa kan memang sudah lama."
"Kayaknya sih gitu."
Sarah masih mencoba mencari driver ojol, dia tidak ingin menyerah karena tau pasti si Septian itu tidak akan mau menjemputnya. Septian harus Sarah kasih pancingan terlebih dahulu, dikasih uang contohnya atau dibelikan sesuatu. Memang adiknya itu sedikit kurang ajar.
"Gak dapat-dapat, ya? Mau aku panggilin ojek pribadiku?" Tanya Alana, membuat Sarah mengernyitkan dahinya.
"Ojek pribadi? Emang kamu punya?"
"Ada, mau gak? Sebentar lagi malam loh, mau aja ya? Aku WhatsApp dulu orangnya."
Belum juga Sarah menjawab Alana sudah bertindak, tapi Sarah bersyukur Alana mau bantu. Sarah juga tau betul Alana ada kunjungan lain dan tidak bisa mengantarnya pulang.
Sarah kemudian menggerak-gerakkan sepatunya karena sudah merasakan pegal. Pekerjaan hari ini memang sangat banyak dan Sarah masih harus melakukan lembur di rumah. Perempuan itu tidak pernah mau mengerjakan lemburan di kantor kecuali ada temannya, kalau sendirian dia tidak berani karena Sarah adalah orang penakut.
"Sar, kamu pulang sama Dirga, ya? Kalau aku duluan boleh?"
Ucapan Alana barusan sukses membuat Sarah langsung menoleh dan menatap Alana tidak percaya. "Dirga? Bocah SD itu?"
"Dia sudah SMA, Sar. Sudah bisa ngendarain motor sendiri." Alana tertawa lagi. "Dia ojek pribadiku loh, gimana? Aku boleh duluan?"
"Boleh, tapi itu adikmu gimana?"
"Gak gimana-gimana, aku sudah ngomong kok sama Dirga."
Sarah kembali gusar, dia jadi merasa tidak enak kepada Alana. Sudah adiknya baik dan katanya mau mengantarnya pulang, dan sekarang dia mau meminta permintaan lagi.
Sebelum bilang, Sarah tersenyum dan menggenggam kedua tangannya merasa canggung. "Al, kamu bisa disini dulu sampai Dirga datang? Aku gak tau dia yang mana."
"Boleh, bentar lagi dia sampai kok. Yang santai sama aku lah, Sar, kayak sama siapa aja. Aku ini teman dekat mu loh."
Sarah hanya tertawa canggung, perempuan itu mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Alana ternyata masih sama baiknya seperti dulu. "Makasih ya, Al."
"Udah aku bilang santai aja—tuh kan orangnya datang."
Sarah hanya bisa mengedipkan matanya ketika seorang laki-laki memberhentikan motor dihadapan Alana. Dia masih tidak menyangka bocah SD yang sering makan permen karet itu sudah sebesar ini sekarang.
Dulu ketika Sarah main ke rumah Alana, pasti Dirga, bocah ini sedang menangis karena tidak diperbolehkan memakan permen lagi oleh Mama nya.
"Nih, salam dulu. Ada teman Kakak, yang sopan." Ujar Alana, menatap Dirga yang membuka helmnya.
Cowok itu lalu menatap Sarah dan mengulurkan tangannya. "Hey..."
"Loh, kok hey?" Kaget Alana, memang adiknya ini tidak bisa dipercaya kalau perihal sopan santun. Kata-kata yang keluar dari mulutnya pasti luar biasa membuat semua orang kesal. "Kenalan yang benar dong."
"Iya, aku Dirga. Adiknya Kak Alana, gitu kan?"
Sarah hanya tersenyum dan membalas uluran tangan Dirga.
Lagi-lagi masih tidak menyangka si bocah permen karet itu sudah berubah menjadi anak tampan nan rupawan. Tubuh tinggi tegapnya, warna mata yang kecoklatan, juga struktur wajah yang bisa dibilang sempurna.
"Sarah." Balas Sarah.
"Eh, cantiknya nambah kalau senyum." Celetuk Dirga, membuat Alana langsung mencubit tangan anak itu pelan. Tapi karena Dirga selalu melakukan reaksi yang berlebihan jadi Alana cepat-cepat menutup mulut anak itu.
"Itu mulut suka rem blong begitu, Dek." Omel Alana. Malu dia dengan mulut ceplas-ceplos Dirga.
"Tapi bener kan? Sarah cewek, masa aku bilang ganteng?" Jawab Dirga, membuat Sarah tidak habis pikir dengan perkataan anak SMA ini.
"Kak Sarah, bukan Sarah aja. Benar-benar deh gak ada sopan nya ini anak." Alana lalu menatap Sarah dengan ekspresi tidak enak. "Maaf ya, Sar? Adikku emang suka kurang ajar, mulutnya suka minta di obras."
"Gak apa-apa, Al." Sarah kembali merapihkan bajunya, padahal sudah rapih tapi entah kenapa ingin dirapihkan lagi.
"Yaudah kalau gitu, kamu pulang sama Dirga, ya?"
Dirga langsung menatap Kakaknya kaget. "Tuh kan, mulai deh buli adik sendiri. Katanya aku kesini mau dikasih uang jajan."
"Gak usah deh, aku naik busway aja. Ngerepotin, lagian adik kamu baru pulang sekolah, masih capek kayaknya." Sergah Sarah, begitu mendengar dari mulut Dirga ternyata dia dibohongi Alana.
Sarah semakin tidak enak hati dan lebih memilih naik kendaraan umum.
"Enggak, dia mana ada capek." Alana lalu menarik jaket Dirga, menyuruh adiknya itu menghormati Sarah yang notabenenya lebih tua. "Sana anterin Kak Sarah pulang!"
"Jauh enggak rumahnya?" Tanya Dirga, ogah-ogahan. Padahal habis ini juga pasti dia dapat uang dari kakaknya.
"Enggak, deket kok. Sudah sana anterin dulu, keburu hujan loh."
"Apa, sih? Orang aku nanya ke Sarah." Sewot Dirga yang sepertinya akhirnya mau mengantarkan Sarah pulang.
Anak itu jadi bersemangat setelah ada notifikasi sejumlah uang masuk ke rekeningnya. Anak ini kan benar-benar, sama Mama nya disuruh aja masih minta upah, apalagi antar teman Alana.
Untuk Sarah sih di antar sampai rumah lumayan ya, dia jadi gak perlu mengeluarkan uang untuk ongkos ojek. Ingat, masih ada cicilan mobil dan banyak barang yang Sarah inginkan di keranjang belanja online nya.
"Mau pake helm?" Tanya Dirga pada Sarah, tapi yang jawab malah Alana dengan nada sewotnya.
"Pake lah, nanti ada polisi kamu kena tilang lagi!" Kata Anna.
"Aku dari tadi tanya Sarah loh, Kak. Kok situ yang jawab terus?" Dirga memberikan helm kepada Sarah yang hanya diam melihat adik kakak itu tengah erantem.
Bukan hal baru untuk Sarah, karena dia juga sering seperti ini dengan Septian.
"Habisnya nyebelin, gak ada sopan santun panggil Sarah pake embel-embel nama doang."
"Sarah nya aja biasa, kok Kak Alana yang repot?" Cowok itu kembali naik ke motornya dan menyalakannya. "Udah Sarah, cepet naik. Masa cuma naik aja lama."
"Iya sabar." Jawab Sarah, padahal dia sudah ingin maki anak SMA ini karena dari tadi gak sopan padanya.
Dan beruntung hari ini Sarah pakai celana, jadi dia bebas gak perlu susah-susah naiknya. Coba nanti kalau sudah gak ada Alana, ini si Dirga dia jewer sekalian sampai kupingnya copot.
Mereka akhirnya pergi, tak lama Alana juga segera berlalu karena masih ada urusan yang harus ia selesaikan.
Di perjalan gak ada yang memulai pembicaraan. Udara semakin dingin dan matahari mulai tampak menyembunyikan dirinya. Suasana lampu-lampu di gedung yang tinggi membuat Sarah sedikit terkesima.
Dari lahir tinggal di kota ini, tapi ini adalah pertamakali Sarah merasakan keindahan yang sesungguhnya ketika melihat pemandangan sore menjelang malam hari.
Sarah menyimpan kedua tangannya di pundak Dirga karena takut jatuh. Cewek ini bahkan masih terkesima dengan motor Harley Davidson milik Dirga.
Wah masih SMA sudah pakai motor Harley. Memang sih bukan motor Harley yang biasa dipakai bapak-bapak untuk touring, modifikasi nya simpel cocok untuk anak sekolah.
Sarah kembali mengingat-ingat dan berdecak kesal. Benar, Alana Prasetya adalah anak dari Pak Rifnu Prasetya. Beliau adalah pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Pantas si Dirga ini motornya Harley.
Memang bodohnya Sarah, dari tadi mengobrol dengan Alana sampai lupa identitas temannya itu.
"Beneran dianggap tukang ojek ya? Sampai pegangan dipundak?" Tanya Dirga, dengan sedikit berteriak. Maklum keduanya memakai helm, biasanya pendengaran sedikit berkurang ketika berkendara di roda dua seperti ini.
"Ya habisnya pegangan ke mana? Kebelakang gak ada pegangannya loh, nanti aku jatuh ke aspal." Jawab Sarah, dari awal dia memang bingung harus pegangan kemana dan akhirnya berakhir dipundak.
"Ya ke pinggang lah, peluk gitu biar hangat."
"Heh, anak ini ya!" Sarah memukul pundak Dirga, terkejut dengan ucapan anak SMA ini. "Berani banget ngomong begitu, aku sudah tahan-tahan gak ngamuk dari tadi. Dasar gak sopan!"
Dirga cuma tertawa pelan dan kembali fokus menatap jalanan yang mulai gelap. Gelap menuju malam tercampur gelap akan turun hujan. Tadi cerah sekarang agak mendungan.
"Kamu pasti tipe-tipe siswa populer kayak di cerita-cerita novel gitu kan?" Tanya Sarah, sangat random.
"Enggak juga sih, yang paling populer itu si artis sinetron, aku gak tau namanya. Tapi a ku juga gak kalah ganteng kok." Jawab Dirga dengan percaya diri. Sarah yang mendengarnya hanya memutar kedua bola matanya malas.
"Populer tapi kok kamu gak tahu namanya? Aneh banget."
"Emang gak tahu, males cari tahu juga."
Sarah hanya bisa menggelengkan kepalanya, lama-lama lelah ya mengobrol dengan anak ini. Tapi kalau gak ngobrol nanti malah canggung. Sarah benci kecanggungan.
"Pake motor begini ke sekolah emang boleh?" Tanya Sarah lagi, dia belum pernah tuh lihat anak SMA pakai motor Harley.
Yang sering Sarah lihat ya mereka pakai motor besar-besar yang suaranya juga besar terus kalau bonceng cewek, ceweknya nungging.
"Boleh, kenapa juga gak boleh? Mau vespa, ninja, beat, mio, scoopy juga boleh asal udah punya SIM dan surat-suratnya lengkap." Jelas Dirga.
"Pasti kamu anak geng motor, ya?"
"Heh, kenapa dari tadi pertanyannya gak mengenakan banget? Kamu pasti banyak baca cerita sampai nuduh-nuduh mulu sama aku?!" Ujar Dirga, merasa tidak terima. Hanya karena dia pakai motor apa langsung saja dibilang anak geng motor, benar kayaknya Sarah terlalu banyak baca novel.
"Aku bukan anak nakal, Sar. Dan tolonglah bedakan realita dengan cerita fiksi yang kamu baca." Lanjutnya.
"Tapi kamu bau-bau anak nakal loh, Dirga. Meskipun aku cuma nebak sih." Dengan kurang ajarnya Sarah malah mengendus-endus jaket cowok itu sampai akhirnya Dirga kesal juga.
"Parfum di jaket ku awas ada peletnya. Nanti kamu naksir." Ujarnya sengaja.
"Halah, itu mulut luar biasa sekali kalau ngobrol. Dasar bocah!" Sarah kembali memukul pundak Dirga sampai anak itu terkekeh pelan.
"Bocah apanya? Aku udah 17 menuju 18 tahun."
"Aku 24 tahun, denger gak aku 24 tahun? Anak piyik kayak kamu harusnya hormati orang yang lebih tua!"
"Iya...iya, terus ini belok kanan apa kiri?" Ujar Dirga, berhenti sebentar ketika sampai di salah satu komplek perumahan.
"Kanan." Jawab Sarah.
"Okay, aku ingat-ingat ya, Sar. Kanan."
"Emang kenapa? Kok diingat-ingat?" Tanya Sarah, bingung.
"Ya siapa tahu kamu butuh ojek aku lagi, atau malam minggu aku mau ngapel."
"Heh, ini anak benar-benar. Licin banget itu mulut kalau soal godain cewek, kita beda hampir 7 tahun loh, Dirga." Sarah mengelus dadanya merasa lelah mengobrol dengan anak ini tapi di sisi lain seru juga.
Kesal iya, seneng juga iya karena Dirga seru juga di ajak ngobrol.
"Gak inget sama aku ya bocah? Dulu kamu tukang nangis kalau gak dikasih permen." Lanjut Sarah.
"Lupa-lupa ingat, tapi sekarang sudah gak makan permen lagi. Jadi tolonglah gak usah dibahas." Jawabnya, membuat Sarah tertawa.
"Ada yang malu tapi bukan malu-maluin. Anak SD ini ternyata sudah segede ini, gak nyangka."
Dirga tidak menjawab, dia memelankan laju motornya. Sudah malas dengan percakapannya dengan Sarah yang malah bahas masa kecil, kan Dirga tidak suka. Apalagi dibilang bocah, Dirga sudah SMA seperti ini masa panggilannya masih bocah.
"Kenapa diem?" Tanya Sarah.
"Ya masa harus ngomong terus, suka ya kamu ngomong sama aku?"
"Kepedean nya lumayan lah." Jawab Sarah, tertawa.
Dirga ini umurnya dibawah adiknya, ya wajar kalau masih kayak anak kecil. Dilihat-lihat memang tampangnya manis, tapi mulutnya itu gencar sekali kalau urusan godain cewek.
"Berarti emang seneng ya ngobrol sama aku, Sar?"
"Terserah kamu lah, tapi bisa gak panggil aku kakak?"
Dirga menggelengkan kepalanya membuat Sarah berdecak sebal. "Kakak aku cuma satu, cuma Kak Alana aja."
"Heh, ya enggak gitu hitungannya loh. Aneh deh kamu." Sarah kembali menghela nafas jengah.
"Ya terserah aku lah, jangan marah-marah terus ngomong sama aku nya. Tadi kan aku udah bilang kalau Sarah senyum, tambah cantik." Ujar Dirga, sengaja menggoda Sarah.
"Modus terus itu mulut, gak sadar umur masih piyik."
Kembali Sarah gak habis pikir sama Dirga, Sarah bisa menebak kalau adik dari Alana ini adalah seorang fucek boy yang gebetannya banyak. Perkataan yang keluar dari mulutnya sih begitu. Manis dan tidak bisa dipercaya, tipe-tipe yang berkata seperti itu kepada semua wanita.
Gak tau lah, perasaan Sarah diantara lega karena sepanjang jalan gak canggung tapi jengkel juga karena Dirga ngomong-nya ngeselin minta ampun.
Yang jelas Sarah sangat berterimakasih kepada Alana, dia sangat terbantu karena dikirimkan ojek pribadinya.