"Max… Max… Oh, Max… Kumohon bertahanlah, Max…"
Ambulans tiba di tempat kejadian satu menit kemudian. Tubuh Max Julius Campbell dinaikkan ke dalam ambulans. Junny Belle ikut naik ke mobil ambulans. Ditinggalkannya semua barang belanjaannya tadi di tepi jalan begitu saja. Mobil ambulans pun berlalu pergi membawa Max Julius Campbell ke rumah sakit.
***
Junny Belle terheran-heran kenapa Max Julius tidak dimasukkan ke dalam ruangan operasi padahal ia mengeluarkan darah yang cukup banyak. Max Julius hanya ditangani di dalam ruangan IGD. Junny Belle yang tidak bisa membendung keheranannya lagi, mulai bertanya kepada dokter jaga IGD.
"Aku kira dia perlu dioperasi, Dok… Ia mengeluarkan darah yang cukup banyak…"
"Itulah sebenarnya yang saya herankan, Nyonya… Suami Anda baik-baik saja… Saya rasa ia tidak perlu dioperasi…" kata si dokter jaga IGD dengan kening mengernyit dan raut wajah yang tidak pasti.
"Apakah kau yakin? Ia mengeluarkan darah yang cukup banyak loh… Dan sampai sekarang masih belum sadarkan diri…"
"Tidak sadarkan diri karena suami Anda masih shocked terpental cukup jauh dan tubuhnya menghantam palang pembatas jalan tadi, Nyonya. Tapi saya sudah cek kondisi sekujur tubuh suami Anda. Saya bisa pastikan kondisi suami Anda baik-baik saja. Kalau Anda ingin lebih pasti lagi, ini saya akan masukkan suami Anda ke kamar rawat inap dulu dan akan saya minta tolong pada seorang dokter ahli penyakit dalam untuk memeriksa keadaan suami Anda dengan lebih terperinci."
"Kenapa bisa? Jelas ini tidak mungkin…" Dahi Junny Belle tampak mengerut dalam. Ia menggigit bibir bawahnya petanda tidak begitu percaya dengan penjabaran si dokter IGD.
Namun, Junny Belle hanya bisa mengangguk mengiyakan terhadap saran yang diajukan oleh si dokter IGD.
"Oke… Baiklah… Lebih baik kau panggilkan seorang dokter ahli penyakit dalam untuk memeriksa kondisi suamiku, Dok…" kata Junny Belle tanpa sadar.
Beberapa detik kemudian, Junny Belle baru menyadari ia telah larut ke dalam suasana. Ia tidak sadar telah mengakui Max Julius Campbell sebagai suaminya. Max Julius yang meski tidak bisa membuka mata dan mulutnya, sebenarnya kesadarannya masih bekerja dengan baik. Tampak sudut bibirnya sedikit terangkat tatkala ia mendengar Junny Belle menyebutnya sebagai suaminya.
Detik demi detik berlalu. Menit demi menit berlalu. Kini terlihat seorang dokter ahli penyakit dalam mengambil sampel darah Max Julius untuk dicek di laboratorium rumah sakit tersebut. Dia melakukan scanning terhadap organ-organ vital Max Julius. Terlihat kening si dokter ahli penyakit dalam tersebut berkerut dalam.
"Bagaimana keadaan suamiku, Dok?" tanya Junny Belle yang sedari tadi menunggu di tepian tempat tidur Max Julius Campbell dengan gugup.
"Tidak apa-apa… Kondisi suami Anda baik-baik saja… Tidak ada luka parah pada organ-organ vitalnya… Saya bisa dengan yakin menyatakan keadaan suami Anda sehat walafiat. Sebentar lagi dia akan segera sadar…" kata si dokter dengan raut wajah yang bingung nan sulit diartikan. Dia sebenarnya tidak yakin pasien ini adalah korban tabrak lari.
Junny Belle mengernyitkan dahinya dalam-dalam.
"Benaran suami Anda ini mengalami kejadian tabrak lari tadi?" tanya si dokter ahli penyakit dalam. Junny Belle menganggukkan kepalanya dengan mantap.
"Suami Anda baik-baik saja, Nyonya. Tapi untuk lebih yakinnya, saya akan bawa sedikit sampel darah suami Nyonya ke laboratorium untuk dicek. Hasilnya akan keluar nanti sore. Saya permisi dulu…" kata si dokter ahli penyakit dalam.
Beberapa suster membereskan peralatan-peralatan yang dibawa oleh si dokter ahli penyakit dalam tadi. Setelah si dokter dan para suster keluar dari kamar rawat inap Max Julius, tinggallah Junny Belle berduaan dengan Max Julius Campbell kesayangannya di dalam kamar rawat inap tersebut.
Junny Belle terlihat duduk di samping tempat tidur sang lelaki tampan nirmala. Tangan yang lembut naik dan membelai-belai wajah dan rambut sang lelaki tampan nirmala.
"Aku senang kau baik-baik saja…" tukas Junny Belle lemah lembut.
"Cepatlah sadar, Max… Jangan membuatku terus merasa khawatir padamu… Jangan membuatku terus merasa tidak tenang takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu…" gumam Junny Belle begitu lemah lembut – nyaris tidak terdengar.
Sudut bibir Max Julius terangkat sedikit lagi. Kesadarannya masih bekerja dengan baik walau saat ini dia masih belum memiliki kekuatan yang cukup untuk membuka kedua matanya dan membuka mulutnya. Dia bahkan belum memiliki kekuatan yang cukup untuk menggerakkan kedua kaki dan tangannya.
Menit demi menit berlalu lagi. Junny Belle akhirnya merebahkan kepalanya ke tempat tidur Max Julius Campbell dan akhirnya terlelap sesaat di sana.
***
Mendadak ponsel Aira Antlia berdering. Dia mengernyitkan dahi sejenak karena jelas terlihat nomor tersebut bukanlah nomor Australia. Akan tetapi, dia tetap menjawab panggilan telepon tersebut.
"Halo…"
"Aira… Ini aku, Junny Belle…"
Sontak mata Aira Antlia membelalak lebar. Kala itu dia sedang makan siang bersama Clark Campbell. Clark Campbell mulai merasa penasaran siapa sebenarnya yang tengah menelepon Aira Antlia kesayangannya.
"Oh, Junny Belle… Ada di mana saja kau selama ini? Dasar tidak setia kawan… Kenapa sekarang kau baru meneleponku ya?"
"Sorry… Really really sorry… Aku tidak ingin merepotkanmu, Aira. Aku tidak ingin kau, Dokter Norin, Daniela dan Tasma ikut-ikutan mengkhawatirkan keadaanku… Really really sorry…" gumam Junny Belle lirih.
"Kau ada di mana sekarang?"
"Di Jakarta, Indonesia, Aira… Aku tinggal di salah satu rumah peninggalan orang tuaku di sini. Jangan bilang sama Dokter Norin ya… Aku tidak ingin terus merepotkannya lagi…" kata Junny Belle lirih.
"Oke… Tapi kau benaran keterlaluan deh tidak menghubungiku sampai sekarang. Tentu saja kau takkan merepotkan aku, Daniela, dan Tasma – kau tahu itu dengan jelas, Jun… Kami adalah sahabatmu… Apakah… Apakah… Apakah kau perlu kutemani, Jun? Jika iya, aku akan segera terbang ke Jakarta."
"Ada… Ada Max Julius di sini, Aira… Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku…" kata Junny Belle lemah lembut sambil tersenyum tipis kepada sang lelaki tampan nirmala yang masih terbaring tidak sadarkan diri di hadapannya. Tangan masih membelai wajah dan rambut sang lelaki tampan nirmala dengan lemah lembut.
"Kau sudah bertemu dengannya?"
"Baru saja… Tidak kusangka dia juga bisa ke Jakarta menemuiku…"
"Dia sudah mengetahui segalanya, Junny… Dia sudah tahu segala kenyataan yang kausembunyikan selama ini…" kata Aira Antlia singkat, jelas, padat, berisi.
"Iya… Aku tahu…"
"Dan kau langsung memaafkannya?" Aira Antlia sungguh tidak percaya.
"Mmm… Mungkin ini yang namanya cinta, Aira… Entahlah… Aku tidak tahu… Selama dua bulan ini aku sudah menguatkan hati takkan memaafkan dan menerimanya kembali. Aku sudah berusaha mengingat semua kekasaran dan kebenciannya terhadapku. Namun, begitu ketemu tadi dan tatkala ia mengakui ia sudah tahu semuanya, ia bilang ia akan menebus semua kesalahannya selama ini, dan ketika ia bilang ia sangat mencintaiku, semua penguatan hati dan rencana yang kususun selama dua bulan belakangan ini hancur berantakan."
Junny Belle tertawa lemah lembut.