"Bagaimana, Tuan dan Nyonya Pram? Apakah Anda berdua sudah mencobanya? Apakah khasiatnya seperti yang saya katakan seminggu lalu?" Senyuman Liana Fransisca Sudiyanti menggelantung di sudut bibirnya yang tipis dan seksi. Dia memberikan sebuah cermin kepada pasangan suami istri itu. Pasangan suami istri itu terlihat puas dengan wajah dan penampilan mereka kini. Walau sudah berusia enam puluhan awal, mereka berdua tetap terlihat seperti anak muda berusia dua puluhan akhir.
Kedua suami istri yang sepertinya merupakan orang Thailand itu kerap memperhatikan wajah dan perawakan fisik Liana Fransisca Sudiyanti. Memang benar Liana Fransisca yang meski sudah berusia lima puluhan, tetap tampak awet muda layaknya anak muda berusia dua puluhan. Mereka jadi bertanya-tanya apa rahasianya. Liana Fransisca malah memberikan mereka sekotak bedak dan menyuruh mereka mencoba dulu bedak tersebut selama satu minggu ke depan.
Kini setelah satu minggu berlalu, kedua suami istri itu datang menemui Liana Fransisca lagi untuk memberikan laporan percobaan mereka.
Tampak Nyonya Pram menyentuh-nyentuh wajahnya di depan cermin Liana Fransisca.
"Tidak usah disentuh lagi, Nyonya Pram… Anda sudah terlihat jauh lebih muda sekarang. Tuan Pram juga…" Liana Fransisca terbahak sejenak dengan raut wajahnya yang penuh dengan kepuasan.
Tuan Pram yang jauh lebih realistis pun berhenti menyentuh-nyentuh wajahnya sendiri di depan cermin. Sementara itu, istrinya terlihat masih memeriksa wajahnya di depan cermin yang sama seakan-akan dia ingin mendapatkan cela yang bisa diajukannya sebagai protes kepada Liana Fransisca. Akan tetapi, sudah tentu cela tersebut tidak dapat ia temukan.
"Jadi bagaimana? Saya tidak bohong kan? Jika saya berbohong pada kalian, saya juga berbohong pada jutaan pelanggan saya yang lain. Perusahaan saya takkan bertahan sampai sekarang. Cabang-cabang perusahaan takkan sebanyak sekarang, Tuan Pram, Nyonya Pram." Senyuman misterius masih menggelantung nan menghiasi wajahnya yang cantik jelita. Dia tampak menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya dengan santai.
"Apa rahasianya, Nyonya Liana? Jika saya membeli sebagian good will Anda, apakah saya bisa tahu apa rahasianya?" tanya Tuan Pram sembari mengerutkan dahinya dalam-dalam.
Liana Fransisca mendekatkan wajahnya ke wajah lawan bicaranya dan menatapnya dengan sorot mata misterius.
"Seandainya Anda membeli franchise dari suatu merek yang sudah mendunia, tentunya Anda juga hanya langsung menerima bahan-bahan mentahnya yang sudah tercampur merata kan? Mustahil sekali Anda bisa menerima bahan-bahan mentah yang tercerai-berai dan Anda gabungkan sendiri. Iya nggak?"
Tuan Pram menelan ludahnya kembali. Nyonya Pram tampak merapatkan sepasang bibirnya. Ia tahu wanita di depannya ini sama sekali tidak bisa dikelabui. Tentu saja takkan ada orang yang sebodoh itu membocorkan rahasia perusahaannya sendiri.
"Oke… Kami ingin membeli franchise Anda. Kontrak sepuluh tahun… Berapa harga yang Anda ajukan?" tanya Nyonya Pram dengan mata yang sedikit mendelik tajam dan nada suara yang sedikit ketus.
"Saya sudah menghitung-hitungnya kemarin malam sampai dengan siang ini. Dua ratus lima puluh miliar, di luar harga bahan-bahan bakunya ya…" Senyuman penuh percaya diri tampak menggelantung di sudut bibir Liana Fransisca.
Tuan dan Nyonya Pram terlihat saling berpandangan sesaat dengan kedua bola mata mereka yang membeliak lebar.
"Apakah Anda tidak sedang merampok saya, Nyonya Liana?" Tuan Pram memundurkan kursinya sedikit ke belakang.
"Kami membeli franchise toko kue yang sudah terkenal sampai seluruh dunia, itu pun harganya baru empat setengah miliar. Anda membuka harga yang sungguh berada di luar nalar saya, Nyonya Liana! Harga segitu sudah bisa bangun satu hotel berikut dengan semua fasilitasnya!" Nyonya Pram tampak duduk tak tenang di tempatnya.
"Karena yang bakal Anda dapatkan bisa mencapai ratusan triliun dalam satu tahun ke depan. Saya berani mematok harga yang tinggi untuk produk-produk saya karena memang setiap produk yang saya pasarkan akan langsung habis dalam waktu satu atau dua bulan," kata Liana Fransisca tajam.
Tuan Pram terlihat menepuk ringan tangan istrinya di bawah meja kerja Liana Fransisca. Dari pergerakan tangan Tuan Pram, Liana Fransisca tahu Tuan Pram sedang menepuk tangan istrinya. Dia hanya memasang sebersit senyuman menggantung menanti jawaban dari kedua suami istri itu.
"Iya… Kami tahu memang perusahaan Anda termasuk ke dalam sepuluh perusahaan paling berpengaruh di seluruh dunia. Kami sudah mengetahui keberhasilan dan kesuksesan Anda dalam dua puluh tahun terakhir, Nyonya Liana. Namun, apakah Anda bisa menurunkan harga tersebut menjadi suatu harga yang lebih masuk akal?" Tuan Pram tampak lebih segan sekarang.
Liana Fransisca tampak merenung selama beberapa detik. Akhirnya ia menatap kedua lawan bicaranya lagi dan mulutnya kembali berucap,
"Dua ratus miliar – harga mati dan maaf… Saya tidak bisa bernegosiasi lebih lanjut lagi soal harga good will saya dengan Anda."
Liana Fransisca kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Tuan Pram dan Nyonya Pram berdiri dari duduk mereka setelah mereka saling berpandangan cukup lama.
"Kami akan mempertimbangkannya dulu, Nyonya Liana," ujar Tuan Pram jelas, singkat, padat, berisi.
"Jika dalam satu minggu ke depan tak ada kabar dari kami, anggap saja pembicaraan hari ini tidak pernah terjadi."
Nyonya Pram berjalan ke pintu keluar menyusul suaminya yang sudah lebih dulu melangkah keluar.
Liana Fransisca masih bersandar pada sandaran kursinya. Senyuman penuh kepuasan dan kemenangan masih mendekorasi wajahnya yang cantik jelita.