Satu hari setelah menikah, Ganjar dan kedua istrinya melakukan perbincangan dan meminta persetujuan dari kedua istrinya itu, untuk membagi jadwal pulang. Rara dan Aisyah sepakat bahwa Ganjar harus menggilir tiga hari penuh tinggal di rumah Aisyah dan tiga hari penuh tinggal di rumah Rara.
"Kalau memang itu sudah menjadi kesepakatan kalian, Aa setuju," tandas Ganjar menatap wajah kedua istrinya itu.
Aisyah dan Rara tersenyum dan kompak memeluk Ganjar dari kedua arah dengan melingkarkan tangan ke pinggang suaminya itu. "Iya, A. Aku setuju dan mulai hari ini, Aa tinggal di rumah Rara dulu!" Aisyah memberikan luang untuk Ganjar dan Rara untuk menikmati suasana pengantin barunya itu.
"Tapi, Teteh kan sedang hamil?!" protes Rara.
"Tidak apa-apa, kan ada Teh Marni," jawab Aisyah penuh kebijaksanaan.
Rara semenjak menikah dengan Ganjar, mulai membiasakan diri menyapa Aisyah dengan panggilan Teteh. Karena ia menghargai Aisyah sebagai istri pertama suaminya.
"Ya sudah, sekarang kita makan bersama!" ajak Aisyah bangkit.
Ganjar dan Rara pun langsung bangkit dan berjalan mengikuti langkah Aisyah menuju ke ruang makan.
***
Pukul 17:00, Ganjar dan istri mudanya langsung pamit kepada Aisyah untuk kembali ke kediaman Rara, karena sudah menjadi kesepakatan hari itu Ganjar harus berada di kediaman Rara. Aisyah tersenyum dalam posisi berdiri di beranda rumah memandangi laju mobil yang perlahan meninggalkan halaman kediamanya itu. "Neng, sudah sore pamali kalau sedang hamil berada di beranda rumah!" kata Marni, kemudian mengajak Aisyah untuk masuk ke dalam rumah.
Aisyah pun menuruti saran dari Marni dan bergegas masuk ke dalam rumah. "Mang Ujang ke mana, Teh?" tanya Aisyah duduk di sopa ruang tengah sembari membuka laptop untuk melihat data terbaru penghasilan dari perkebunan suaminya. Karena Ganjar sudah mempercayakan Aisyah sebagai pengatur keuangan di perkebunannya.
"Katanya tadi berangkat ke Pak Haji Syarif bersama Bapak," jawab Marni lirih.
"Oh, nanti kalau datang bilang ke Mang Ujang suruh ngambil kue di rumah Ibu!" kata Aisyah lirih.
"Iya, Neng," jawab Marni.
Ada sesuatu hal yang ingin Marni katakan di hadapan Aisyah. Namun ia urung mengatakannya dan lebih memilih kembali melangkah ke ruang dapur untuk merapikan ruangan tersebut. Aisyah tersenyum, ia paham dengan sikap asisten rumah tangganya itu, kemudian Aisyah memanggil Marni, "Teh!"
"Iya, Neng," jawab Marni.
"Ke sini dulu;" pinta Aisyah.
Marni bergegas melangkah menuju ke tempat Aisyah yang sedang duduk. "Ada apa, Neng?"
"Duduk dulu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan!" pinta Aisyah sembari meraih dompet yang ia letakkan di atas meja di hadapannya itu.
Marni tampak penasaran dan bertanya-tanya dalam benakya, "Bukankah aku yang mau bicara penting?" ucap Marni dalam hati.
"Teteh butuh uang kan, untuk anak Teteh di kampung?" Aisyah memandang bias wajah Marni.
Marni diam tersipu, kemudian memberanikan diri mengatakan hal yang sebenarnya, "Iya, Neng. Kok, Neng Aisyah tahu sih?" Marni mengerutkan kening tanda merasa heran, karena Aisyah sudah tahu tentang apa yang ia butuhkan saat itu.
"Tahu dari gerak-gerik Teteh," gurau Aisyah menyerahkan lima lembar uang pecahan seratus ribuan kepada Marni. "Ini, Teh!" kata Aisyah lirih.
Marni tampak malu untuk menerima uang tersebut. "Maaf, Neng. Teteh kan, belum waktunya gajian?"
"Tidak apa-apa, lagi pula Teteh kan masih kerja di sini!" jawab Aisyah mengepalkan uang tersebut ke telapak tangan Marni.
"Terima kasih ya, Neng," ucap Marni tampak senang karena apa yang ia butuhkan sudah diberikan oleh Aisyah.
Pukul 17:40, Aisyah sudah bersiap untuk melaksanakan Salat Magrib. Sebelum melaksanakan Salat Magrib, Aisyah menyempatkan diri membaca Yasin dan hadiah doa untuk Almarhum kedua orang tuanya terselip juga doa yang terbaik untuk usaha perkebunan sang Suami dan juga mendoakan kelangsungan rumah tangganya dengan Ganjar dan juga rumah tangga Ganjar dengan Rara. Tidak sedikitpun tumbuh perasaan iri atau dengki terhadap kemesraan Ganjar dengan Rara.
Aisyah senantiasa berusaha keras untuk menghindari sifat seperti itu. "Ya Allah, Ya Rabb. Lindungi rumah tangga kami, aku, suamiku dan Rara dari dari segala bentuk fitnah yang kejam. Lindungi pula bayi yang ada dalam kandunganku ini, jadikan sebagai keturunan yang saleh dan saleha, Amiin Ya Rabbal'alamiin," ucap Aisyah dalam sebuah doa yang ia panjatkan.
***
Keesokan harinya, sebelum berangkat ke perkebunan, Ganjar menyempatkan diri singgah di kediaman Aisyah untuk menemui istrinya itu. "Assalamu'alaikum," ucap Ganjar lirih.
"Wa'alaikum salam," jawab Aisyah yang saat itu sedang duduk di ruang tengah.
Ganjar langsung melangkah menghampiri sang Istri, Aisyah mencium tangan dan kening suaminya penuh kasih sayang.
"Aa mau berangkat ke perkebunan?" tanya Aisyah menatap wajah sang Suami.
"Iya, Neng." Ganjar meletakkan tangan di atas perut Aisyah yang sudah tampak membesar karena usia kandungan Aisyah saat itu sudah menginjak bulan ke tujuh.
"Tidak terasa ya, Neng. Sebentar lagi kita akan mempunyai buah hati?" kata Ganjar lirih tak hentinya mengelus lembut perut sang Istri.
Sembari membaca doa untuk bayi yang ada di dalam kandungan istrinya.
اللهم احْفَظْ وَلَدِي مَادَامَ فِى بَطْنِ زَوْجَتِي وَاشْفِهِ أَنْتَ الشَّافِى لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَآؤُكَ شِفَآءً لآيُغَادِرُ سَقَمًا اللهم صَوِّرْهُ فِي بَطْنِ زَوْحَتِي صُوْرَةً حَسَنَةً وَثَبِّتْ قَلْبَهُ إِيْمَانًا بِكَ وَبِرَسُوْلِكَ اللهم أَخْرِجْهُ مِنْ بَطْنِ زَوْجَتِي وَقْتَ وِلَادَتِهَا سَهْلًا وَتَسْلِيْمًا اللهم اجْعَلْهُ صَحِيْحًا كَامِلًا وَعَاقِلًا حَاذِقًا عَالِمًا عَامِلًا اللهم طَوِّلْ عُمُرَهُ وَصَحِّحْ جَسَدَهُ وَحَسِّنْ خُلُقَهُ وَأَفْصِحْ لِسَانَهُ وَأَحْسِنْ صَوْتَهُ لِقِرَاءَةِ الْحَدِيْثِ وَالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ بِبَرَكَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
"Allahummahfadz waladî mâ dâma fî bathni zaujatî wasyfihi anta asy-syâfi lâ syifâ`an illâ syifâuka syifâ`an lâ yughâdiru saqaman. Allahumma shawwirhu fî bathni zaujatî shûratan hasanatan watsabbit qolbahu îmânan bika wa bi-Rasûlika. Allahumma akhrijhu mim bathni zaujatî waqta wilâdatihâ sahlan wa taslîman. Allahumma ij'alhu shahîhan kâmilan wa 'âqilan hâdziqan 'âmilan. Allahumma thowwil 'umrohu wa shahhih jasadahu wa hassin khuluqohu wa afshah lisânahu wa ahsin shautahu liqirooatil hadîtsi wal qur`ânil 'adzîm bibarokati Muhammadin shallallâhu 'alaihi wasallam. Walhamdulillâhi Robbil 'âlamîn".
"Ya Allah, jagalah anakku selama ia berada dalam perut istriku, sehatkan ia, sesungguhnya Engkau Yang Maha Menyehatkan, tak ada kesehatan kecuali kesehatan dari-Mu, kesehatan yang tak terganggu penyakit. Bentuk ia yang ada di perut istriku dalam rupa yang baik, tetapkan dalam hatinya keimanan pada-Mu pada Rasul-Mu. Keluarkan dia dari perut istriku pada saat kelahirannya secara mudah dan selamat. Jadikan ia utuh, sempurna, berakal, cerdas, banyak beramal. Panjangkan umurnya, sehatkan jasadnya, baguskan rupanya dan fasihkan lisannya untuk membaca hadits dan Al-Qur'an Yang Agung, dengan berkah Nabi Muhammad SAW. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam".
"Amin Ya Rabbal'alamiin," ucap Aisyah menyahuti dia yang dibacakan oleh Ganjar.
"Sebentar lagi Ada jadi bapak dan kamu jadi ibu," kata Ganjar tersenyum-senyum.
"Iya, A. Alhamdulillah, Allah sudah mengabulkan doa kita." Aisyah balas tersenyum dan bersandar di bahu suaminya.
Tanpa menjawab, Ganjar mencium kening sang Istri kemudian bangkit. "Aa mau berangkat sekarang?" Aisyah mengangkat wajah dan memandangi suaminya yang berdiri di hadapannya.
"Iya, Neng. Sudah siang, Mang Ujang sudah berangkat belum?" tanya Ganjar lirih.
"Sudah, A. Tadi subuh bersama Haikal," jawab Aisyah.
Ganjar langsung pamit kepada Aisyah dan segera berangkat ke perkebunan dengan menggunakan mobil Aisyah, karena saat itu mobil Ganjar sedang dipakai oleh Ujang supir pribadinya yang sekarang ditugaskan di perkebunan sebagai supir khusus mengangkut hasil perkebunan dan belanja segala kebutuhan untuk perkebunan tersebut.
Setibanya di perkebunan, Ganjar langsung menghampiri ayahnya yang saat itu sedang melakukan pekerjaan penanaman jagung. "Assalamu'alaikum," ucap Ganjar lirih.
Pak Edi bangkit dan menjawab lirih ucapan salam dari putra semata wayangnya itu, "Wa'alaikum salam."
"Yang kemarin panen jagungnya sudah dikirim ke Bandung semua, Pak?" tanya Ganjar lirih.
"Sudah, Nak. Totalnya empat mobil, sekitar 60 karung lebih," jawab Pak Edi duduk di samping perkebunan jagung itu.
"Banyak juga ya, Pak?" Ganjar tampak semringah dan ikut duduk di samping ayahnya.
***