Satu minggu kemudian.
"Sarapan hari ini, telur gobal gabul dan juga roti bakar!" seru Jasmine dengan riang. Ia menaruh telur dadar di atas piring Leonardo.
"Apa tak ada menu lain selain telur?" tanya Leonardo, setiap hari Jasmine selalu memasak menu dengan bahan dasar telur. Mulai dari telur ceplok, telur dadar, omelet, telur orak arik, dan kali ini telur dadar dengan irisan daun bawang, cabe, irisan sosis, dan tomat.
"Itu namanya gobal-gabul, Leon!" Jasmine melepaskan apronnya. (Masakan telur dengan berbagai macam isian)
"Tetap saja ini telur. T - E - L - U - R!!" seru Leonardo.
"Nggak mau ya?" Jasmine menundukkan kepalanya sedih, ia tak menyangka setelah 7 hari penuh memakan masakannya, Leonardo akhirnya protes juga.
"I—ini aku makan, kok! Enak kok!" Leonardo tak tega juga melihat sang istri mencabikkan bibirnya. Bagaimana pun Jasmine juga telah berusaha keras membuat hidangan yang bisa ia nikmati setiap pagi.
"Sungguh?? Enggak karena terpaksakan?" Jasmine duduk di samping Leonardo. Meja makan panjang itu terlihat legang karena hanya ada mereka berdua di sana.
"Enak!! Terlepas dari kata 'telur' masakanmu memang enak." Leonardo mengelus pucuk kepala Jasmine, wanita itu sedikit menjulurkan lidahnya karena senang. Pujian Leonardo walaupun hanya hal kecil bisa membuat Jasmine bahagia. Ia senang merasa dihargai, ia senang merasa diperhatikan.
"Aku akan minta pelayan membungkus sisanya untuk bekal makan siang." Jasmine mengangguk.
"Berjanjilah kau akan memasak menu lain besok, Baby!! Karena kalau makan telur setiap hari, bisa-bisa aku timbilan!!" Leonardo menyentil dahi Jasmine. Masa iya ganteng-ganteng punya bisul di area sekitar mata.
"Timbilan itu karena mengintip orang mandi, Leon. Bukan karena makan telur!" sanggah Jasmine.
"Itu mitos istriku yang cantik!!!" Leonardo gemash, polos iya, bodoh jangan.
"Hahahaha!! Aku juga cuma bercanda." Jasmine terbahak, ia hanya menggoda suaminya.
"Kau hari ini akan mulai bekerja bukan?" tanya Leonardo sembari menyesap kopi susu dari cangkir couple yang baru dibeli Jasmine semalam. Jasmine merenggek agar Leonardo membelinya saat mereka berjalan-jalan di mall. Cangkir bergambar hati bila disatukan, agak kekanakan memang —tak seperti tipenya, tapi demi melihat Jasmine bahagia, Leonardo juga tak keberatan memakainya.
"Iya, aku akan bekerja di bagian pemasaran!! Doakan aku ya!! Semoga aku dapat tim yang ramah." Jasmine mengangguk, ia sungguh berharap teman-teman satu timnya mudah diajak bekerja sama dan juga tidak merundungnya seperti kebanyakkan anak baru yang belum punya pengalaman kerja.
"Bilang saja bila mereka menganggumu, akan aku bunuh mereka satu per satu saat itu juga!" Leonardo geram.
"Ish ...! Jangan donk! Main bunuh kayak ayam aja!!" Jasmine menutup mulut Leonardo dengan tangkupan tangan.
"Lepas, Baby. Ga bisa bernapas!"
"Berjanjilah dulu padaku, Leon! Jangan sok kenal denganku bila di kantor. Aku tak ingin mereka jadi sungkan bekerja denganku karena aku istrimu." Pinta Jasmine. Leonardo mengeryit sampai alisnya tertaut.
"Dasar aneh, bukankah kau seharusnya memamerkan diriku?! Bukankah seharusnya kau dengan bangga mengakui bahwa aku suamimu?!" Leonardo bergeleng, istrinya memang unik, tak seperti kebanyakan wanita pada umumnya.
"Aku bangga kau suamiku, Leon. Tapi mendompleng nama besarmu bukanlah hal yang baik. Bayangkan cibiran mereka bila tiba-tiba saja aku menjadi direktur dan saat itu perusahaan merugi besar?!" Jasmine duduk pada pangkuan Leonardo, ia mencoba menjelaskan maksudnya pada sang suami.
"Terserah kau saja, lakukan apapun yang kau mau, aku akan menurut asal kau bahagia." Leonardo tak bisa melawan keinginan istrinya, baginya ucapan istri itu firman Dewa yang mesti ia turuti agar mereka berdua hidup bahagia.
"Asyikkk!!!" Jasmine meloncat senang di atas pangkuan Leonardo sembari mengedipkan mata.
"Jangan menggodaku!! Sana ganti bajumu. Kita berangkat bersama!"
"Oke, Boss!! Laksanakan!" Jasmine memberi hormat.
"Sana cepat!! Apa kau mau terlambat di hari pertama ngantor?!" Leonardo menceples pantat istrinya sebelum wanita itu pergi.
"Auh...! Dasar mesum!" pekik Jasmine sambil melotot galak.
"Hehehe ... tapi kau suka kan?!!" kekeh Leonardo, Jasmine lagi-lagi menoleh galak ke arah suaminya.
•
•
•
Tak lama Jasmine telah bersiap, ia mengenakan pakaian formal yang tidak terlalu mencolok. Wanita ini sengaja meminta Relia membelikan baju kantoran sederhana seperti blouse, kemeja, blezer, dan rok-rok. Ia tak mau terlihat glamor atau membuat semua pegawai lain bertanya-tanya tentang statusnya.
"Kau siap?" tanya Leonardo.
"Siap, Boss!" Jasmine bergelayut manja pada lengan suaminya. Mereka berdua melangkah menuju ke mobil. Kato sudah menunggu mereka di depan pintu utama.
•
•
•
Berbeda dengan Jasmine yang hidup dengan sederhana padahal sekarang ia punya segalanya. Ameera, adik Jasmine. Remaja berusia 17 tahun itu tengah menikmati masa remajanya di sekolah baru. Sekolah elit milik yayasan Wijaya. Ameera menjalani hidup berkelimpahan berkat nama besar kakak iparnya.
Ameera bergabung dengan grup cewek terkece, mereka terdiri dari tiga orang cewek kaya raya yang sangat glamor dan modis. Pertama Ameera merasa canggung, namun ia juga ingin dilirik oleh banyak mata, menjadi pusat perhatian, dan juga menikmati rasanya menjadi orang kaya raya seperti mereka.
Tak dipungkiri, Ameera juga ingin mendapatkan lelaki kaya dan berkuasa seperti Leonardo. Ia ingin menjadi nyonya besar seperti kakaknya Jasmine. Yang tak hanya mendapatkan kekayaan dan nama besar, namun juga cinta dari prianya kelak. Maka dari itu, Ameera belajar menjadi seperti teman-temannya.
"Ayo kita ngopi ke cafe!!" ajak salah seorang temannya sepulang sekolah.
"Caffee?" Ameera seumur-umur belum pernah masuk ke dalam caffee, bukan hanya karena harganya yang tak terjangkau, Ameera juga malu karena tak tahu menu apa yang akan ia pilih.
"Iya, ada caffe yang baru buka belakangan ini di dekat sekolahan. Ayolah!! Aku ingin minuman manis." Julie, ia adalah cewek tercantik di sekolahan, paling terlihat mencolok, suka melipat rok di atas lutut dan baju kurang bahan. Anak seorang pengusaha rumah makan bintang lima. Restorannya tersebar ke seluruh negeri bahkan beberapa negeri tetangga.
"Ayuk, aku juga gerah!! Pengen ice cream!!" Della menimpali, ia anak seorang pengusaha pemasok tepung terigu dan perkebunan sawit.
"Kau ikutkan?!" Vero menoleh pada Ameera. Dia yang terakhir, anak seorang pemilik hotel.
"Tentu saja, aku ikut! Aku senang bersama kalian." Ameera tersenyum dan menyahut tasnya.
"Kau baru saja ganti tas ya, Jul?" Vero melirik tas Julie, warna merah terang dengan brand terkemuka.
"Iya, oleh-oleh Papa dari Paris. Ini pesanan khusus hlo!! Gimana lucu nggak?" tanya Julie bangga.
"Lucu kok, aku minta Papa beliin juga ah."
"Kau nggak ganti tas, Ra? Tasmu merk apa?" tanya Della, entah dia benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa tas sekolah Ameera hanyalah tas biasa tanpa merk.
"Oh, iya, rencananya aku juga bakalan ganti tas kok." Ameera tersenyum masam. Ia mengekor ketiga temannya dengan lemas. Mana mungkin ibunya mengizinkan Ameera membeli tas seharga puluhan juta, walau pun pasti itu hanya recehan bagi Jasmine.
Sesampainya di cafee, mereka berempat duduk pada bangku tak jauh dari jendela kaca. Caffee bergaya classic itu terlihat mewah dan pastinya sangat mahal, mungkin hanya orang-orang tertentu yang mampu duduk dan membayar nominal yang tertera pada buku menunya.
Gila, kopi hitam saja 50ribu? Steak satu juta? Teh 35 ribu?! Yang benar saja?! batin Ameera, tapi ia berusaha tetap tenang, toh jumlah uang yang berada di dalam saldo debit cardnya saat ini amat sangat cukup untuk membeli makanan itu.
Tenang Ameera, jangan seperti orang kampung, kau gadis kaya sekarang. pikir Ameera, ia akan memesan makanan yang paling mahal bila perlu.
"Woi, bukankah itu Victor?" Julie menunjuk seorang pria seumuran dan dengan seragam yang sama. Ia duduk sambil membaca buku novel dan menikmati secangkir coklat panas. Wajah tampannya sesekali mengeryit saat merasa seru dengan apa yang ia baca. Dua orang pengawal berjaga di belakangnya.
"Duh, tampan sekali!! Gila, cuma duduk saja auranya beda!" Vero ikut menatap dan mengagumi pesona Victor. Cowok itu terlalu tampan untuk dianggurkan begitu saja.
"Siapa dia?" tanya Ameera, wajahnya ikut menghangat saat melihat Victor.
"Kau tak tahu?" Della melotot heran ke arah Ameera. Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Di atas langit masih ada langit, kau tahu pribahasa itu?? Di atas orang kaya masih ada yang lebih kaya. Keluarga Victor, jauh lebih kaya dari Wijaya."
"Serius??" Ameera tertegun, padahal Leonardo terbilang sangat kaya, ini lebih kaya lagi?! Apa dia anak sultan?
"Benar, ah, sudah tampan, pintar, kaya raya lagi!! Kurang apa coba?!" Julie menyangga dagunya sambil mengamati pria tampan itu.
"Dia satu angkatan dengan kita?" tanya Ameera penasaran. Tak dipungkiri, melihat wajah setampan itu lengkap dengan kriteria pria idaman melekat pada dirinya, sungguh membuat gadis itu terpesona.
"Benar. Kelas XII-IPA1, tempatnya anak pintar," celetuk Della. Ameera mengangguk paham.
"Hai, kalian mau pesan apa?" Seorang gadis cantik dengan rambut terikat ke belakang tiba-tiba menyapa mereka. Ia menggunakan pakaian pelayan dan membawa kertas dan bolpoin, bersiap mencatat pesanan.
Julie kesal karena kedatangannya mengganggu gosip mereka dan menutupi bayangan Victor.
"Hlo, bukankah kau Erren?! Dari kelas XII-IPA1?! Wow ... lihatlah dirimu!! Kau pelayan di tempat ini ternyata??" Vero mengenali gadis itu sebagai teman satu angkatan mereka.
"Benar," jawab Erren dengan sopan.
"Wah, wah, tak ku sangka, ternyata kau hanyalah pelayan." Julie menatap sinis pada Erren.
"Memang apa salahnya menjadi pelayan?" tanya Erren dengan nada ketus.
"Hei, kok malah nyolot sih?!" Julie menatap Erren dengan sebal.
"Bagaimana bisa gadis miskin sepertimu masuk ke Sekolah Yayasan Wijaya?!" cibir Vero, uang sekolahnya saja sangat mahal. Mana mungkin gadis yang bekerja sebagai pelayan bisa membayarnya.
"Jangan-jangan kau mengencani om-om kaya raya ya??" Della mendorong bahu Erren. Gadis itu tetap berdiri tegap dan tegar.
"Lihat, dia memakai kalung keluaran VCA!! Ini imitasi atau hasil dari menjual diri?" cerca Julie.
Wajah Erren mulai merah padam karena menahan amarah. Jantungnya berdebar kencang, tangannya mengepal, ia ingin menampar Julie, namun ia bertahan demi pekerjaan ini. Gajinya cukup besar untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Erren bertekat, tuduhan atau pun provokasi tak akan membuatnya mundur.
"Kenapa diam saja? Jadi benar kau jual diri??" Della lagi-lagi memojokkan Erren.
"Mera kenapa kau diam saja? Kau tak ingin mengucapkan sesuatu padanya?!" Vero menoleh pada Ameera, gadis itu justru menatap Erren dengan iba. Ia juga pernah berada di posisinya, bekerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terlunta-lunta sampai terlambat membayar SPP sekolah dan mengemis kartu ujian. Dan kini, teman-temannya, para gadis arogan itu menyuruh Ameera untuk merundungnya juga. Apa yang akan Ameera lakukan? Mana yang akan ia pilih?
"Aku ...."
oooooOooooo
Hmm, adik Jasmine.
Dih,,, remaja 😤😤😤
Hari ini review terakhir ya gaes. Aku tunggu sampai jam 6 malam.
Terus aku undi via Igeh, @dee.meliana
Nanti akun yang menang aku share di IG dan juga episode yang up di tanggal 1/4/21