(Alur mundur dikit gaes. š)
Rafael mengikuti Jasmine sampai wanita itu tiba pada terotoar jalan.
BRUK!!
Tanpa sengaja Jasmine menabrak seorang pria dan terpental, ia terjatuh cukup keras karena pria itu sepertinya juga sedang berburu-buru.
"Ach!" pekik Jasmine kesakitan, pantatnya sempurna mendarat pada kerasnya paving jalanan.
"Hei di mana sih matamu??? Selain kaki mata juga dipakai buat jalan?!" umpatnya kasar.
Saat itu Rafael hendak datang untuk menolong Jasmine. Hatinya berdenyut saat Jasmine terjatuh dan pria itu mengumpat padanya. Namun seorang wanita paruh baya lebih dahulu melakukannya. Wanita itu membantu Jasmine berdiri, ia juga memapah Jasmine masuk ke dalam kliniknya.
Samar-samar Rafael bisa mendengar tentang kehamilan. Wanita itu tengah hamil, kenapa Rafael sesak saat mendengarnya? Hei, Kenapa juga Rafael harus peduli padanya? Sebagai pelarian, sudah seharusnya ia tak boleh menaruh perhatian pada siapapun, harusnya ia tahu tak boleh membuat ikatan apapun.
"Jangan bodoh!! Kau bahkan tak mengenalnya." Rafael mengurungkan niatnya untuk menemui wanita itu. Ia memutar tubuhnya untuk kembali ke veterian.
Namun, baru beberapa langkah berjalan, Rafael terdiam.
"Shit!!" Rafael tak bisa menjaga hatinya untuk tidak terbawa perasaan. Pria itu memutuskan untuk menunggu Jasmine. Duduk pada beton pot pohon di pinggir jalan. Memandang pintu klinik dari mini market di seberang jalan. Ia bahkan telah membeli obat lecet, plester dan air mineral dingin. Siapa tahu Jasmine membutuhkannya.
"Siapa ya namanya?" gumam Rafael, ia meminum yogurt rasa pisang dengan cepat.
Cukup lama Rafael menunggu, wajahnya langsung cerah ceria saat melihat Jasmine keluar dari pintu klinik. Wanita itu berjalan tertatih karena tumitnya lecet. Rafael tahu makanya ia membeli obat merah dan juga plester. Rafael hendak mengejarnya, namun seorang pria lain juga terlihat mengejarnya.
Rafael tak bisa melihat wajah pria yang mendekati Jasmine karena gelap, namun yang pasti ia terlihat seperti bukan orang sembarangan dalam balutan setelan jas mahal itu. Rafael menghela napasnya panjang saat melihat pria itu menggendong Jasmine.
"Ah, dia sudah bersuami." Rafael menggaruk kepalanya, ia melirik ke arah bungkusan plastik berisi obat.
"Sayang sekali." Rafael membuang bungkusan itu ke tong sampah. Lalu ia memutar tubuhnya untuk pulang.
Selama perjalanan pulang jantung Rafael berdegup sangat kencang. Bergemuruh seakan ia baru saja kehilangan sesuatu yang berharga. Rafael mulai tersiksa, ia bahkan ingin mecabik isi di dalam dadanya yang menggelitik gatal itu bila bisa. Sayang sekali, bahkan Rafael tak tahu rasa apa yang bersarang di dalam hatinya. Getaran apa itu yang berdesir nyeri sampai membuatnya mual itu?!
oooooOooooo
ā¢
ā¢
ā¢
Di veterian, Rafael duduk di samping Eric, ia membacakan buku novel yang belum selesai. Tinggal sebentar, seperempat bagian, sudah klimaks dan hampir tamat.
Tak terasa sudah berjam-jam ia membaca buku. Rafael mulai pegal, ia meliukkan badan ke kanan dan kiri. Regina baru saja memberikan asupan gizi lewat selang pada lubang lambung Eric. Makanan cair berwarna putih susu itu masuk perlahan-lahan sampai habis.
Rafael sedikit miris, melihat kondisi Eric yang semakin hari semakin menurun membuat hati Rafael tersayat. Rasa pilu dan menyesakkan saat mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu. Saat itu mereka benar-benar kehilangan segalanya.
"Aku sudah selesai memberi Eric asupan gizi. Kau juga harus makan, S!" Regina membuang kantong bekas cairan makanan itu ke dalam sampah.
"Aku tidak lapar," jawab Rafael, ia memang kehilangan nafsu makannya sejak bertemu dengan Jasmine dan melihatnya bersama pria lain.
"Terserah, kau bukan anak kecil lagi sekarang." Regina bergeleng dan meninggalkan ruang hybrid. Naik ke atas kamarnya.
Rafael menghela napas panjang, hatinya tak kunjung membaik, terus saja mengingat akan sosok Jasmine yang menggetarkan hatinya. Rafael meremas kaos di depan dadanya. Rasa apa yang berkecambuk menjadi satu ini? Rasa apa yang terus menggelitiknya dengan desiran halus yang tak kunjung menghilang.
"Apa kau pernah merasakan hal ini, Kak?? Apa kau pernah merasakan desiran semacam ini? Sampai kau tersiksa dan walau gatal kau tak pernah bisa menggaruknya?" Rafael bertanya pada Eric, tak ada orang lain yang bisa ia ajak untuk berbagi cerita selain Eric.
Layar monitor yang terhubung pada tubuh Eric seakan menunjukkan respon akan pertanyaan Rafael. Diagram mirip rumput yang semula tenang sedikit menunjukkan pergerakan. Jemari Eric bergerak pelan.
ā¢
ā¢
ā¢
Pernahkah kau merasakan rasa gatal itu, Kak? Yang terus berdesir sampai menggelitik hatimu, membuncahkan rasa yang tak bisa kau tahan? Yang terus membuatmu bahagia namun juga khawatir?
DUAR!! DUAR!!
Ledakan geranat membuat pos penjagaan hancur berantakan. Setelah melemparkan granat, King bersembunyi di balik bebatuan bersama dengan Light. Wajah mereka berdua terlihat kacau, debu dan asap tebal mengepul dari pos yang terbakar. Beberapa orang tentara musuh meloncat dari pos, mereka terlihat berlarian mencoba memadamkan tubuh mereka yang ikut terbakar.
"Light?!! Sekarang!!" King menepuk pundak Light, pria itu mengangguk dan bergegas menerobos brikade.
"Shadow lindungi Kakakmu!" King memberi perintah lewat Radio HT.
"Yes, Sir!" Shadow membidik siapa pun target yang mencoba menghalangi kakaknya masuk ke dalam gedung utama. Markas itu tempat mereka menyandera para wartawan.
Bidikan Shadow tak pernah meleset, dari kejauhan ia membidik musuh. Gunner berada tak jauh darinya, memutar kendali pada mobil radio kontrol jarak jauh, ia memberikan visual di depan Light. Memberitahukan pada Light dan Shadow keberadaan musuh-musuh mereka. Mobil robot kecil seukuran tas olah raga itu dilengkapi dengan sensor pendeteksi suhu, inframerah, sampai senjata kecil bila diperlukan.
"Di depanmu, Light! He's comming in three, two, one!!" Gunner berteriak pada radionya.
JLEB!!
Light menusuk pria itu tepat di dadanya. Pria brewok itu tumbang dalam hitungan detik karena pisau Light tepat mengenai organ vitalnya.
"Kau terlambat, Shadow!" ledek Light. Shadow kesal.
"Ada dua lagi, dari kanan dan kiri, mereka datang bersamaan, membawa shotgun. Comming in three, two, one!" Gunner memberi aba-aba.
Light meloncat ke kiri, mendorong ujung senapan yang meledakkan timah panas dengan cepat ke arah seberang, sementara tangannya tangkas memutar belati dan menusukkannya tepat di jantung musuh. Kedua tentara pemberontak itu langsung tumbang secara bersamaan. Yang satu terkena peluru kawannya sendiri yang satu tertancap belati Light.
"Kau terlambat lagi, Shadow!" Light terkekeh saat meledek adiknya. Shadow merasa kesal karena lagi-lagi ia kalah cepat dengan sang kakak. Gunner ikut tertawa.
"Jangan bercanda di area perang, Kids!! Fokus!! Semakin cepat kita menyelesaikan misi, semakin banyak nyawa yang selamat!!" King membentak ke tiganya dengan kasar.
"Sorry, Boss." Gunner kembali fokus pada layar monitornya.
"Vipers, kau mendengarku?! Aku akan menyusul Light sebentar lagi. Kau siapkan peralatan medis bila ada sandera atau salah satu dari kita yang terluka." King memberi kode pada Vipers.
"Siap, Boss!" Vipers menderukan mesin mobil offroadnya. Berhiaskan senjata metic laras panjang, mobil itu melaju menembus gelombang pasir di tengah gurun, bersiaga tak jauh dari markas musuh yang porak poranda karena beberapa orang pria saja.
"Light, status?!" King menyusul masuk setelah mengamankan garda depan, membuka jalan untuk Vipers.
"I'm in ...!" Light melapor dia sudah di dalam bangunan. Tangannya memutar dua buah belati, pisau itu menari cantik pada jemarinya.
"Shadow, lindungi Kakakmu!" Perintah King.
"Yes, Sir! On my way!!" Shadow berlari untuk mencari titik lain agar menemukan sudut terbaik untuk melindungi Light. Dengan lincah Rafael mendekap senjatanya sambil berlari, senjata panjang itu terlihat berat.
Light mengendap-endap, ia berusaha setenang mungkin menyergap lawannya. Diikuti oleh mobil Gunner sebagai penunjuk jalan. Gunner terlihat berkeringat, begitu pula Light. Mereka tegang karena akan berurusan dengan pemimpin kelompok pemberontak yang menjalankan aksi teror pada banyak daerah-daerah berotonomi rendah.
"No Way!!" Light berseru saat melihat kedua sandera berada di tengah-tengah ruangan. Lengkap dengan bom terpasang melilit pada tubuh mereka. Bom berkekuatan ledak dasyat yang bisa menghancurkan seluruh ruangan itu beserta isinya. Tak ada pasukan pemberontak, mereka telah meninggalkan markas itu dan meninggalkan sandera sebagai pengulur waktu.
"Keluar dari sana, Light!!" King berteriak.
"Kak Eric!! Keluar dari sana!" Shadow panik saat melihat angka digital yang menunjukkan kurang dua menit lagi dari teropong senapannya.
"Tidak, mereka adalah misi kita!! Kita harus menyelesaikan misi dan pulang ke Indonesia!" Light mengusap keringat yang menetes dari keningnya, ia punya janji untuk mengajak Kaleela pulang ke negaranya. Mencari ibu kandungnya.
"Hemmp ...! Hemmp ...!" Kedua sandera itu menangis memohon belas kasihan Light, mereka tak bisa berteriak karena mulutnya tersumpal.
"Easy, Gaes!! Aku tak akan meninggalkan kalian. Aku akan menolong kalian!! Berhentilah bergerak, kalian akan memicu bom berjalan lebih cepat." Light mendekat pelan-pelan, kedua wartawan muda itu mengangguk pasrah.
"KAK ERIC!! JANGAN GILA DAN KELUAR DARI SANA!!" Shadow menjerit. Namun Light tidak peduli, ia berjalan mendekati bom yang menempel.
01:37
"Gunner, bantu aku!" Light memberikan visual pada bom itu melalui mobil milik Gunner.
"Buka penutupnya, Light!!" Gunner berkeringat, ia terus menatap layar tanpa berkedip.
Dengan tangkas tangan Light melucuti tiap-tiap komponen yang menutupi jam digital pada bom waktu dengan pisaunya. Tampak ada beberapa kabel, merah, hijau, biru, hitam, dan kuning.
01: 05
Detik demi detik berlalu, secepat keringat yang mengucur pada sekujur wajah Light.
"Gunner!!! Ayolah!! Tak ada waktu." Light berusaha mendesak Gunner.
Gunner kebingungan mempelajari struktur bom waktu itu. Minimnya pencahayaan membuat kabel-kabel yang melilit susah untuk ditelusuri.
"Light!! Aku tak bisa melihat sumbunya!" Gunner berteriak, Light menarik kabel dari dalam boks pemicu percikkan.
00: 37
"Gunner!!!" Light berseru.
00: 25
"Dua puluh empat, dua puluh tiga!" Light mulai berhitung, tangannya menggenggam erat belati tajam.
Keringat dingin mengucur dari pelipis Gunner, pria ahli IT dan juga senjata itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengalahkan bom waktu. Namun sampai detik-detik terakhir, ia belum menemukan ujung pangkalnya.
00: 10
"GUNNER!!" Light berteriak.
"KAK ERIC!!" Shadow menjerit.
King dan Vipers tercekat menunggu akhir dari misi berbahaya mereka kali ini.
oooooOooooo
Wuih tegang!!!
Apa yang akan terjadi pada ERIC??!
Besok ya
Vote dan Komen.