Dada Jasmine bergemuruh, ia merasa sesak akibat rasa cemburu yang menggelora di dalam dada. Namun lagi-lagi Jasmine berusaha untuk tenang, berusaha untuk menyimpan amarah dan kekecewaan. Bukankah sudah jadi keputusannya untuk mendapatkan cinta Leonardo kembali? Sesakit apa pun itu, sesulit apa pun, Jasmine harus bertahan demi keluarga kecilnya, ia harus memperoleh kebahagiaan untuk anaknya, menghadirkan keluarga yang utuh dan harmonis.
"Aku akan kembali lagi nanti." Jasmine berusaha kabur. Berat rasanya harus melihat langsung perkara ini terjadi di depan mata.
"Tuan Leon menyuruh Anda masuk, Nona." Kesya menatap Jasmine sendu.
Kesya sudah membukakan pintu untuknya. Ingin kabur dari sana pun percuma, sudah tak ada alasan baginya untuk mundur saat ini. Jasmine dengan ragu melangkah masuk.
Ayolah, Jasmine. Tenangkan hatimu, jangan mau terusik, kau adalah istrinya yang sah, wanita itu bukan. Pikir Jasmine, ia memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak mungkin, mencoba mengusir perasaannya yang kalud.
"Kau sudah datang, Baby?" Leonardo ikut melihat Jasmine, istrinya itu mematung beberapa saat begitu melihatnya. Leonardo melepaskan beberapa kancing kemeja sehingga dada bidangnya terlihat menyembul, sambil memeluk erat tubuh Leonardo, Hilda memainkan jarinya di atas dada pria itu. Matanya yang tajam melirik licik ke arah Jasmine seakan ingin mengatakan bahwa ialah pemenangnya, ia pemilik tubuh dan hati Leonardo.
"Aku membawakanmu makan siang. Tapi tampaknya kau tidak lapar." Jasmine berusaha tetap tenang meski suaranya bergetar hebat, ia menaruh bungkusan di atas meja kerja Leonardo.
"Aku akan makan siang dengan Hilda," jawab Leonardo.
"Ah, begitu."
"Duduklah, Baby. Ayo kita mulai wawancara kerjanya." Leonardo menepuk sofa.
Jasmine dengan berat melangkahkan kaki dan duduk di depan Leonardo. Ia harus menahan diri melihat keduanya bercanda sembari bermesraan di depannya seakan Jasmine adalah patung tanpa perasaan.
Jasmine mengepalkan tangannya menahan kegelisahan. Jujur, pemandangan ini sangat menyakitkan baginya. Pemandangan ini membuatnya muak.
Dasar Bajingan!! Sepertinya keputusanku salah, dia hanyalah bajingan mesum yang kejam. Iblis laknat. Geram Jasmine dalam benaknya, ia terus mengumpati suaminya sendiri karena berselingkuh tepat di depan matanya tanpa merasa malu.
"Jadi bagaimana wawancaranya?" Jasmine menyela Leonardo yang sedang mencumbui leher Hilda, membuat wanita itu melengguh pelan, desahan itu terdengar menusuk-nusuk di telinga Jasmine. Ini benar-benar neraka nyata dalam hidupnya, belum pernah Jasmine semiris ini, bahkan saat mendengar berita kematian Rafael sekali pun.
"Anda tidak sabaran sekali sih, Nona? Apa Anda tidak lihat, Tuan Leon sedang bermesraan denganku?" Hilda menimpali.
"Aku tidak bertanya padamu! Aku bertanya pada suamiku!" Jasmine meyahut ucapan Hilda dengan ketus.
"Sayang, istrimu marah padaku." Hilda memanjakan suaranya di depan Leonardo, membuat Jasmine semakin meradang.
"Sudahlah, kalian selesaikan saja dulu. Aku ingin ke toilet." Jasmine bangkit, ia keluar dari dalam ruang kerja Leonardo menuju ke toilet.
Sepeninggalan Jasmine, Leonardo langsung mendorong tubuh Hilda menjauh darinya. Wanita itu terjungkal, tersungkur di bawah kaki Leonardo. Dengan tangkas Leonardo mencekal wajahnya. Wajah tampan itu terlihat merah padam karena amarah.
"Siapa bilang kau boleh menyela ucapan istriku?" cerca Leonardo.
"Ma ... maafkan saya, Tuan. Saya kira Anda ingin saya beracting sebaik mungkin." Hilda ketakutan, wajah Leonardo terlihat garang dan ingin mencincangnya saat itu juga.
"Pergilah!! Aku sudah tak membutuhkanmu. Berikan uangnya, Kesya." Leonardo mengusir Hilda.
"Jes, Tuan Leon. Mari ikut saya, Nona." Kesya membantu Hilda bangkit.
Leonardo berjalan menuju ke meja kerja, ia merapikan kemejanya yang kusut dan mengencangkan kembali dasi silver yang dipilih oleh Jasmine pagi tadi. Bau sedap menggelitik hidungnya. Terlihat sebuah wadah makan yang terbungkus pepper bag berwarna coklat.
Leonardo bergegas membukanya. Sebuah bento dengan bentuk singa yang imut. Entah butuh berapa lama bagi Jasmine untuk menyiapkan bekal itu, yang pasti memang bentuknya terlalu manis dan sayang untuk di makan.
"Pantas saja ada beberapa plester di jarinya. Ternyata dia belajar memasak." Leonardo bergeleng saat teringat ada beberapa plester bergambar kartun di jari Jasmine.
"Cih, wanita itu benar-benar bertekat rupanya." Leonardo mengambil sosis goreng dan memakannya dengan bahagia.
oooooOooooo
β’
β’
β’
Jasmine berjalan gontai menuju ke toilet, namun bukannya berbelok masuk ke dalam pintu Toilet, ia justru masuk ke dalam emergency exit. Jasmine menangis, air mata menetes deras, luruh bak air terjun dari kedua pelupuk matanya.
Brengsek!! Pria brengsek!! Jasmine menangis, hatinya sakit. Penolakkan yang menyakitkan dari suaminya sendiri, saat Jasmine telah bertekat mengejar cinta suaminya kembali justru suaminya menjawab dengan penolakkan.
Jasmine merasa lelah dengan perasaannya. Ia merasa kembali ketitik awal kejatuhnnya dulu. Rasa yang sama saat ia kehilangan Rafael. Walaupun Rafael tidak mencintainya namun setidaknya Rafael tak pernah menyakiti hatinya dengan berselingkuh.
"Aku harus ke mana?" Jasmine mendesah, ia ingin sendiri, ia ingin kabur untuk menenangkan diri. Namun tak ada tempat yang bisa ia tuju, bahkan Jasmine tak mungkin pulang dan mengadu kepada sang Ibu, bisa-bisa jantung lemahnya kembali kumat saat mendengar suami Jasmine berselingkuh di depan mata anaknya, mereka baru menikah kurang lebih satu bulan.
Menyesakkan memang, tak ada yang bisa Jasmine lakukan selain menuruni anak tangga ini. Ia dulu pernah menaiki tangga ini dari bawah ke atas untuk menolak cinta Leonardo, dan kini ia menuruni tangga ini dari atas ke bawah, karena cintanya ditolak oleh Leonardo. Sungguh ironi yang pahit dan menyesakkan. Jasmine terkikih bak orang gila bila mengingat hal itu.
Menggelikan, sungguh pahit dan menggelikan. pikir Jasmine.
Langkah kakinya membawa wanita itu keluar dari gedung. Berjalan tanpa arah tujuan. Wajahnya terus menunduk menyapu jalan karena malu terlihat sedang menangisi nasib.
Jasmine luntang lantung di jalanan, menikmati hembusan angin yang cukup hangat di siang hari. Tanpa sadar ia melangkah menjauhi perusahaan suaminya, ingin melangkah ke tempat yang tak terjangkau oleh orang lain. Yang hanya ada Jasmine seorang diri.
Di tengah Jalan Jasmine tak sengaja menyenggol tubuh seseorang, ia menurunkan topi baseballnya lebih dalam agar wajahnya tak terlihat.
"Maaf," ucap Jasmine.
"Tak apa," jawab pria itu.
Jasmine sempat tertegun beberapa saat kemudian menoleh namun pria itu sudah tidak ada di sana. Menghilang pada tikungan jalan.
"Suara itu, El??!" Mata hitam Jasmine membulat sempurna saat mengenali suara yang pernah memenuhi hari-harinya dulu. Suara yang pernah teramat sangat ia rindukan.
Pada balik tikungan, pria itu menghentikan langkah kakinya. Suara itu membuat dadanya bergemuruh dengan cepat, perutnya berdesir nyeri, dan air mata meleleh tanpa sebab.
Kenapa? batinnya.
ooooOoooo
Huhuhu, pahitlah, Jas. Tapi kalau ga gitu gal ketmu El donk π€π€π€
Mon maaf bikin kau nangis lagi Jas.
ππ»ππ»ππ»