Angin sedikit lembab dan dingin. Angin yang basah seperti ini menandakan bahwa hujan akan segera tiba. Rafael tak pernah menyangka bahwa cuaca akan berubah mendung siang ini. Akan lebih susah membidik targetnya bila cuaca buruk.
Rafael nekat melangkah menuju ke tempat les piano dari targetnya. Ingin menyelesaikan misi ini secepat mungkin. Rafael menyandang tas ransel dan mengenakan jaket boomber berwarna hitam. Tak lupa topi baseball yang selalu menemaninya menyembunyikan wajah.
Siapa? Siapa lagi yang mengikutiku? Rafael merasa geram, kurang satu jam lagi les pianonya berakhir dan gangguan datang. Kenapa masih saja ada orang yang mengikutinya. Tak hanya di ibu kota, bahkan di kota kecil masih ada yang mengikuti langkah kaki pria itu.
Aku merasa tak mengusik siapa pun?! Aku bahkan tak mengenal kelima orang bernama Wijaya itu. Rafael menghentikan langkahnya, haruskah ia berhenti dan bertarung? Atau menghindar lagi dan membiarkan mereka mengorek informasi tentang dirinya?
Rafael ada misi yang harus ia selesaikan saat ini. Dan tak mungkin ia mengharapkan bantuan Albert atau Regina karena ada di kota berbeda. Banyak pertimbangan yang harus Rafael ambil, kelebihan dan kekurangan strateginya.
Rafael memutuskan untuk mengikuti alur yang mereka buat. Apa yang mereka inginkan dari pria tanpa identitas sepertinya.
"Halo, ada dua orang yang mengikutiku, G. Bisa kau periksa identitas mereka?"
"Hah?? Lagi?!" Albert tersentak di ujung sana. Kenapa akhir-akhir ini banyak yang mengincar Rafael, apa istimewanya pria ini? Uang saja tidak punya, hal yang ia bisa hanya menggambar dan meniduri istrinya yang cantik βmembunuh manusia tak masuk hitungan walaupun nyatanya itu bisa menjadi alasan utama, tentunya karena identitas palsu Rafael.
"Aku akan mengalihkan perhatian mereka dan kabur pada tikungan jalan. Periksa cctv jalan G. Pastikan kau menangkap wajah mereka kali ini." Pinta Rafael, Albert gagal mengenali wajah penguntitnya di stasiun dulu karena cctv selalu menangkap gambar tampak samping.
"OK!! Let's do it." Albert menggosok tangannya. Mencoba untuk berkonsentrasi dan memulai membajak cctv jalanan.
Gambar di layar monitor milik Albert mulai berganti. Menjadi gambar yang disorot oleh beberapa cctv sekitar Rafael berjalan. Memang ada dua orang pria yang mengikuti Rafael. Satu sedikit gempal dan yang satu tinggi besar. Keduanya berpakaian kasual dengan rambut cepak dan kaca mata hitam.
"Mereka memakai kaca mata hitam, El. Mana mungkin aku bisa mendeteksi identitasnya?" Albert mendesah sebal.
"Kalau begitu bantu aku mencari jalan keluar dari kejaran mereka. Aku harus membunuh bocah itu hari ini." Rafael mengencangkan ranselnya.
"Baik. Aku carikan jalan." Mata Albert menyapu monitor, mencari jalan-jalan tikus yang bisa digunakan Rafael kabur dari kedua cecunguk itu.
"Gunner!! Cepat!!" Rafael menilik jam digitanya, 30 menit menuju target.
"Albert, El!! Albert!! Aku punya nama sekarang." Albert berdecak sebal.
"Whatever, cepatlah!! Aku kehabisan waktu." Rafael mempercepat langkahnya.
"Belok kiri." Albert memberi intruksi.
"Gang ke tiga kanan. Lalu ambil kiri. Ada pabrik yang baru saja selesai jam kerja. Cukup untuk memperlambat mereka. Naik bis di jurusan 35B, bisnya tiba lima menit lagi." Albert mengetik cepat pada keybord lalu mengecek kamera dengan scroll bulat, ia mengarahkan gerakan leher kamera lewat benda itu.
"Baik, counting down lima menit." Rafael mengeset jamnya. Ia langsung berlari kecil menuju titik yang di beri tahu Albert.
Pria-pria yang mengikutinya kaget karena Rafael tiba-tiba saja bergerak cepat. Dengan tangkas mereka berlari mengejar Rafael. Masuk ke gang gang seperti Rafael, namun tertinggal jauh.
"Pabrik, El. Dua menita lagi." Albert menunjuk lokasinya. Rafael mengangguk paham, ia mempercepat lagi langkahnya, namun wajahnya terlihat datar dan santai.
"Satu menit. Mereka tepat 50 meter di belakangmu. Agak tersendat karena banyaknya karyawan yang menghambur keluar." Albert mengamati cctv.
"40 detik .... 30 detik ... 20 .... 10 ... bisnya terlihat, El! Naik!" Albert memberi kode, Rafael langsung naik begitu pintu bis terbuka, kedua pria yang melihatnya langsung berlari mengejar Rafael. Namun terlambat, pintu bis telah menutup dan bis meninggalkan halte. Rafael menatap tajam pada kedua orang yang mengejarnya itu.
"Hampir saja, El!!" Albert terkikih.
"Tinggal mengesekusi target. Apa bis ini turun di depan mall?" tanya Rafael.
"Iya, mall di samping gedung les piano anak itu," jawab Albert. Rafael menilik jam digitalnya, 15 menit menuju target.
"Berikan kematian yang tanpa rasa sakit El. Dia hanya anak berusia 10 tahun," ucap Albert.
"Kau bilang tak akan menggunakan perasaan?" Rafael membalas sindiran Albert padanya pagi tadi.
"Aku sekarang Romo kau tahu! Dan kau yang pembunuhnya." Albert tertawa.
"Aku akan memberikan kematian yang cepat, tak akan menyakitkan." Rafael menaiki tangga menuju ke rooftoop.
"Bertolak dengan namamu yang berarti malaikat penyembuh. Kau adalah malaikat pencabut nyawa." Albert terkikih.
Tiba-tiba ponse pintar Albert yang lain berbunyi. Ada pesan dari para pelayan Tuhan di gereja itu.
____________
Text:
Romo ada yang mau mengaku dosa.
Namanya Jasmine.
___________
"Hei, El. Jasmine datang ke gereja untuk mengaku dosa." Albert terkekeh.
"Benarkah??" Rafael mengeluarkan semua komponen senjata apinya.
"Aku tutup, ya. Selamat bertugas!" Albert menutup panggilannya.
Rafael mendesah panjang. Ia melihat jam tangannya, masih satu menit. Dengan cepat Rafael menyusun senjata laras panjangnya. Lalu berdiri, ia mengetes arah angin dan juga kecepatan angin dengan tangannya.
Tuhan membantuku, senyum Rafael. Angin tidak kencang, langit kembali cerah.
Tiga puluh detik yang berarti, Rafael mengangkt senjatanya. Membidikkan ke arah pintu keluar. Beberapa pengawal berjaga di sekitar pintu. Sopi telah bersiap membuka pintu mobil. Pengasuhnya juga telah menanti pada pintu keluar.
"Maaf, Nak! Jangan salahkan aku, salahkan takdirmu." Rafael membidik targetnya yang baru saja kelur dari gedung. Anak lelaki berusia 10 tahun. Tampan dan punya wajah berseri-seri.
Shoot!!
Sebuah tembakan yang teredam oleh alat peredam langsung melesat dengan kecepatan super. Melesat tanpa halangan. Menuju tepat di tengah kepala bocah itu. Rafael melucuti senjatanya. Lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Tepat tiga puluh detik.
Rafael keluar dengan tenang. Berjalan di tengah kericuhan yang terjadi di depan mall karena seorang anak kecil baru saja meninggal dunia, terbunuh dengan peluru bersarang pada kepalanya.
Jerit pilu tangisan kehilangan langsung menggema memenuhi indra pendengaran Rafael. Rafael terus berjalan tanpa peduli. Wajah tampannya terlihat datar. Hatinya bahkan tak bergeming dengan semua kesedihan itu.
Namun langkahnya terhenti saat teringat pada Istrinya Jasmine. Apa yang akan Jasmine lakukan saat mengetahui kenyataan bahwa suaminya adalah seorang pembunuh bayaran?
Apa yang akan Jasmine rasakan?
Apa Jasmine juga akan menangis sehisteris itu?
Atau bahkan memandangnya dengan jijik dan hina?
Akankah Jasmine meninggalkannya?
Tiba-tiba saja ketakutan mulai merengkuh hati Rafael.
Namun ia tak mungkin menghapus kenyataan bahwa dia memanglah seorang Pembunuh.
ooooOoooo
Bellecious jangan lupa votenya.
Baca twin's pet yuk. Kisah ttg manusia serigala kembar yang memperebutkan seorang manusia menjadi mate mereka ππππ