Got a head full of noise
'Bout a hundred different things I'm tryna avoid
- Don't Come Lookin' by Jackson Dean -
============
Karena tidak terus ditatap sengit oleh Bu Sayuki, Reiko tahu diri dan melakukan hal yang sekiranya akan menyenangkan empunya rumah.
Apalagi semalam, saat mereka di pasar street food, Bu Sayuki dengan jelas membisikkan kelimat padanya saat dia memasak. "Kalau kau bermaksud tinggal menumpang di rumahku dengan gratis, maka lakukan sesuatu yang berguna untukku, mengerti?"
Kala itu, Reiko sempat terkejut mendengar ucapan gamblang dan terus terang dari Beliau, tapi kemudian dia memikirkan lagi dan wajar apabila Bu Sayuki mengatakan itu. Sebagai seorang yang ulet di dunia bisnis meski bukan skala besar seperti pengusaha berkantor dan berpabrik, maka wajar apabila semua hal diperhitungkan, terutama uang.
Oleh karena itu, Reiko menahan letihnya untuk membantu Bu Sayuki berjualan malam itu. Dan kini, dia tidak mungkin berpangku tangan bersantai saja ketika berada di rumah orang, kan?
Dahulu ketika di rumah paman pun Reiko cukup tahu diri dan mengambil pekerjaan rumah tangga di rumah itu hingga mereka akhirnya melunjak dan memperlakukan dia bagai seorang pembantu rumah tangga sungguhan.
Memang sungguh mengecewakan apabila sikap saudara atau kerabat bisa seperti itu. Walau Reiko sudah tahu diri, namun mereka tetap menekannya dan membuat dia tidak betah, dan akhirnya memutuskan keluar dari sana untuk menjalani hidup mandiri di kota besar macam Tokyo.
Dan sekarang di sini, karena dia memang tengah terjepit kebutuhan akan tempat hunian untuk berteduh dari panas dan hujan, rasanya tidak ada salahnya jika Reiko mengalah dan bertahan untuk membantu Bu Sayuki.
Toh, nantinya apabila dia sudah berhasil mencari lowongan pekerjaan yang pantas, dia akan meninggalkan rumah Runa ini dan tidak akan merepotkan Bu Sayuki lagi.
Pagi ini, Reiko menyapu halaman samping rumah Bu Sayuki yang masih bergaya tradisional. Bahkan pintu pun masih menggunakan jenis shoji, yaitu pintu geser khas Jepang yang terbuat dari rangka kayu dan dilapisi oleh kertas yang direkatkan pada petak-petak kayu tersebut. Dulunya, gaya ini berasal dari Cina, namun sekarang kita justru sering menemukannya pada rumah-rumah berarsitektur Jepang tradisional.
Tidak hanya itu saja, lantai di beberapa ruangan pun masih memakai tatami (tikar ala Jepang yang terbuat dari jalinan jerami atau alang-alang yang sudah ditenun rapi dan setiap tepinya dijahit dengan kain brokade, tapi jaman modern ini, banyak tatami berasal dari styrofoam) sebagai alasnya.
Dan bahkan tidur pun masih memakai futon. Apa itu futon? Itu adalah alas tidur tipis khas Jepang yang bisa dilipat seperti halnya selimut atau bed cover bagi kita. Selain di Jepang, kadang juga ditemukan futon di Korea meski penamaannya berbeda.
Futon biasanya diletakkan atau digelar di atas tatami (tikar khas Jepang) dan disiapkan dengan baik sebelum digunakan. Satu set futon biasanya terdiri dari shikibuton sebagai alas tidur dan kakebuton yang lebih lembut juga lunak sebagai selimut.
Tapi untuk yang lengkapnya, futon dalam satu set nya biasanya terdiri dari Shikibuton (matras) yang biasanya hanya sedikit lebih tebal dari Bed Cover, Shiitsu (seprai kasur), Kakebuton (selimut tebal), Houfu (sarung dari selimut), Makura (Bantal) dan Makura Kaba (sarung bantal).
Karena futon merupakan kasur lipat, maka itu sering dipakai untuk menghemat ruang, terutama apabila ada tamu yang menginap.
Selain menghemat ruang, futon juga lebih disukai karena bagus untuk kesehatan. Karena, sebenarnya tidur di lantai bisa membantu punggung, kepala, pinggul dan bahu dalam posisi lurus dan rileks selama tidur.
Biasanya, futon selesai digunakan akan dilipat dan disimpan di lemari, maka ruangan kamar akan terasa lebih lapang dan praktis. Dan bisa dijemur beberapa hari sekali atau dicuci.
Sepertinya Bu Sayuki masih mempertahankan gaya arsitektur tradisional pada rumahnya. Mungkin ini rumah warisan turun temurun.
"Sudah selesai?" tanya sebuah suara di belakang Reiko. "Perlu aku bantu?" Ternyata itu adalah Tomoda.
Reiko menoleh ke belakang dan melihat kakaknya Runa hanya bertelanjang dada dan memakai celana kolor pendek, sungguh membuat risih mata saja. Apalagi sikapnya terlalu santai dan menggaruk perut seenaknya di depan Reiko. Jangan sampai tangan itu masuk ke dalam celana kolor juga atau Reiko akan memilih untuk pergi.
Untungnya, hal yang ditakutkan Reiko tidak terjadi. Tomoda hanya menggaruk perutnya secara santai sambil memandangi Reiko. Gadis itu pun menyahut, "Ohh, tidak usah, Kak. Aku bisa melakukannya sendiri." Ia menolak dengan memaksakan senyumnya keluar meski sebenarnya gerah dengan penampilan Tomoda.
"Namamu Reiko, kan?" tanya Tomoda, belum ingin beranjak dari sana, padahal Reiko sudah menyibukkan diri kembali menyapu dedaunan kering yang berhamburan di tanah, memunggungi pria itu. "Boleh aku memanggilmu Reiko atau Reiko-chan?" Mata Tomoda secara lancang melihat belakang tubuh Reiko, terutama pantat gadis itu.
Reiko yang tidak menyadari kelakuan Tomoda, hanya secara perlahan berbalik lagi untuk menjawab lelaki itu. "Gomenasai[1] (Maaf), tapi sepertinya akan kurang nyaman apabila begitu, Shirazaki-san." Ia menekankan panggilan itu untuk Tomoda agar lelaki itu sadar diri mengenai status mereka.
Sufiks -san digunakan secara umum di Jepang sebagai bentuk kesopanan kepada orang yang tidak terlalu dekat dan bahkan pada orang asing. Untuk seseorang memanggil Reiko dengan sufiks -chan, memangnya seberapa dekat mereka? Sungguh percaya diri sekali Tomoda ini!
Apakah lelaki itu sudah sering mengobrol dengan dirinya? Apakah mereka sudah akrab dan berbincang dengan nyaman sebelum ini? Reiko mendengus dalam hatinya.
"Awwhh ... sayang sekali aku tak boleh memanggil begitu padamu. Rei-"
"Tomo! Sedang apa kau?" seru ibunya tak jauh dari sana. "Apa kau terlalu menganggur, heh? Jangan ganggu dia menyapu! Sana pergi membeli ayam potong di tempat Shido-san!" hardik Bu Sayuki.
--------------
[1] gomenasai adalah kata 'Maaf' yang sopan dan baku dan formal di Jepang. Bentuk slang-nya atau informalnya adalah gomen, tapi gomen hanya dipakai oleh sesama orang muda atau yang seusia saja.