Uli diam terpaku mendengar perkataan Arya. Apa yang dibilang suaminya itu memang benar.
Hanya Berdua ....
Hanya Berdua ....
Hanya Berdua ....
Dua kata itu terus berputar-putar dipikiran dan terngiang-ngiang di telinga Uli.
Kata terakhir yang diucapkan Arya seolah menampar dirinya dengan halus. Menancap tepat di lubuk hati yang paling dalam. Sungguh sakit tapi, tak berdarah.
Uli masih ingat, sangat ingat dan tidak akan mungkin lupa. Kejadian siang tadi begitu membekas dan tidak mau pergi dari pikirannya seolah kejadian itu adalah jodoh yang dikirim Tuhan.
Hanya karena mendengar bisikan Abang dan suaminya membuat Uli meradang. Bertanya pun ia lakukan dengan nada berapi-api sudah seperti menangkap basah suaminya yang sedang selingkuh saja.
Padahal situasi siang tadi sangat jelas sekali. Bahwa suami dan Abangnya sedang menikmati makan siang, lebih tepatnya baru menikmati. Jadi tidak sepantasnya diganggu.