Pagi yang cerah di sebuah vila yang berdiri megah di atas bukit. Vila yang didirikan beberapa tahun lalu itu menghabiskan uang yang tidak sedikit. Karena akses jalan yang sulit, membuat Redho harus membuat jalan terlebih dahulu untuk bisa sampai ke puncak bukit. Walau puncaknya bukan yang paling tinggi di desa itu. Masih ada puncak bukit yang lebih tinggi lagi.
Seperti yang saat ini sedang dilalui Hilman dan Eva. Hilman dan Eva meninggalkan vila sudah dari pagi hingga siang hari. Sementara Laila baru selesai menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Redho.
Laila tidak tahu mengapa Redho menyuruh Laila untuk menandatangani beberapa berkas yang ada di meja yang ada di ruangan khusus. Seperti tempat kerja orang kantoran. Laila tidak membaca dengan teliti dokumen-dokumen yang diberikan Redho. Karena Redho menyuruh Laila untuk cepat-cepat tanda tangan.
Laila hanya mengingat tulisan besar yang menyebutkan kata 'Surat Kuasa' yang tertulis di awal halaman. Dan ada beberapa halaman yang harus Laila tanda tangani.
"Akhirnya selesai juga," lirih Redho. "Sekarang kamu bisa keluar dari ruangan ini," pungkasnya. Ia mempersilahkan Laila untuk keluar dari ruangannya.
Sementara di samping Redho ada dua orang yang menyaksikan Laila menanda tangani berkas-berkas tersebut. Bahkan mereka merekam apa yang dilakukan Laila. Ini sebagai bukti bahwa Laila sudah melaksanakan tanda tangan untuk penyerahan harta kekayaan milik Redho.
"Iya, Pak. Meskipun aku tidak tahu apa itu, aku yakin papa nggak akan melakukan hal buruk pada Laila, kan?" ujar Laila yang tidak menaruh kecurigaan sedikitpun pada mertuanya.
"Kamu tenang saja, Nduk. Karena kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami, maka kamu secara resmi menjadi perlindungan kami."
"Laila pamit, Pah. Assalamualaikum," pamit Laila.
"Waalaikumsalam," jawab Redho. Redho mengangguk pada Laila. Karena kepergian Hilman dan Eva, baru Redho tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melaksanakan apa yang seharusnya ia lakukan. Sekarang sudah secara resmi, Laila adalah pemilik sah harta kekayaan Redho. Hilman, bahkan Redho sendiri pun tidak bisa seenaknya menggunakan harta itu seenaknya.
"Terima kasih sudah datang dan mau membantu," ungkap Redho pada dua orang yang mendampingi mereka.
"Sama-sama, Pak Redho. Ini sudah tugas kami. Kalau begitu, kami mohon pamit dulu."
"Terima kasih, mari saya antar." Redho berdiri dari duduknya. Ia berniat mengantar kedua tamunya.
Mereka adalah pengacara yang dipercaya oleh Redho. Merupakan orang kepercayaannya juga. Dua orang yang melihat dan melaksanakan tugasnya kini memegang dokumen-dokumen tersebut. Mereka juga telah menandatangani berkas-berkas penting itu. Begitu pula dengan Redho yang juga ikut andil.
Ketiganya keluar dari ruangan itu menuju ke ruang tengah. Setelah bersalaman, kedua pengacara pun meninggalkan vila itu. Redho pun sudah merasa lelah karena dari pagi, melakukan pertemuan dengan distributor dan juga dua pengacara. Walau pertemuan itu di dalam rumah, dari pagi belum bisa bernafas lega.
"Ah, akhirnya selesai juga," desah Redho. Ia duduk di ruang tengah yang merupakan ruang keluarga.
"Sudah selesai, Pah?" tanya Seruni. Ia tahu Redho baru saja menghempaskan badannya ke sofa ruang keluarga. Jadi ia tidak melihat dua orang pengacara juga.
Seruni juga tidak ingin ikut campur urusan Redho yang telah menyerahkan semua harta dan asetnya pada Laila. Ia duduk di samping Redho dan memandangi suaminya itu.
"Apakah semua harta, sudah dilimpahkan pada Laila, Pah?" tanya Seruni. Ia ingin memastikan sekali lagi apa yang telah diucapkan Redho tempo hari.
"Tidak juga, Mah. Sebenarnya tidak semua ...." Seakan tahu isi pikiran Seruni, ia tidak ingin Seruni mendapatkan kabar buruk soal harta yang sudah bukan atas nama suaminya.
"Lalu ... apakah ada sisa untuk kita, Pah?" Sekali lagi Seruni masih belum mendapat titik terang dari suaminya. Ia belum tahu Redho berbicara benar atau tidak.
Melihat suaminya yang nampak kelelahan, Seruni berdiri dan berjalan ke belakang sofa atau lebih tepatnya ke belakang Redho. Ia memijat Bahu suaminya dengan pelan. Walau bibirnya ia tekuk karena berpikir bahwa dirinya sudah tidak bebas menikmati harta kekayaan suaminya lagi.
"Mama kenapa? Seperti Mama nggak terima, kalau papa limpahan semua harta kepada menantu kita? Oh, ayolah, Mah. Mana mungkin papa tega terhadap istri dan anak sendiri?"
"Jadi, Papa ...." Seruni sedikit mengembangkan senyum. Berpikir masih ada harapan baginya.
Redho mengulum senyum dan meraih tangan Seruni. "Kita tidak akan kehilangan apapun, Mah. Harta bisa dicari. Tapi pernahkah Mama ingat, dulu almarhum Fattah telah banyak membantu kita. Padahal dirinya sendiri pun membutuhkan."
Redho teringat dengan sahabat terbaiknya. Dia masih menganggap Fattah sahabat walau sudah meninggal dunia. Yang tersisa saat ini adalah Laila, anak dari Fattah dan Maisaroh.
"Sebenarnya apa maksud dari perkataanmu, Pah? Mama jadi bingung dengernya."
"Harta bisa dicari. Dan sebenarnya kita tidak memerlukan banyak harta duniawi ini. Jadi Papa menyisahkan dua puluh lima persen harta papa untuk Raisya," terang Redho. "Apa Mama tidak setuju dengan keputusan yang papa ambil?" tanya Redho.
"Pah ...." Seruni tidak tahu harus bagaimana. Bagaimanapun juga, Raisya juga anak mereka. Anak yang dikandung sendiri oleh Seruni. Meskipun Raisya dulunya diasuh neneknya saat masih balita. Tetap saja Raisya berhak atas harta tersebut.
"Dan untuk bagian Raisya, kita bisa kembangkan lagi nantinya. Dan kamu tidak perlu khawatir kita akan hidup miskin, Mah. Selama Laila menjadi istri Hilman, kita masih bisa menikmati ini semua. Dan jika mereka bercerai, kita masih memiliki dua puluh lima persen harta papa untuk Raisya. Namun Hilman–"
"Hilman sudah tidak mendapatkan apa-apa? Gitu, Pah?" tebak Seruni.
"Iya, Mah. Makanya nasib Hilman, tergantung pada dirinya sendiri. Papa sudah menulis surat kuasa. Jika mereka berpisah, maka semua kekayaan milik Laila. Itupun kalau Hilman yang menceraikannya. Dan apabila Laila yang meminta perpisahan, maka Hilman berhak mendapatkan lima persen harta tersebut," terang Redho.
"Ooh ... bagaimana baiknya saja, Pah. Kukira semua telah dilimpahkan pada menantu kita. Kalau begini, mama bisa tenang. Kita tidak perlu banyak harta. Yang penting ada untuk menyambung hidup. Bukannya kita pernah hidup kesusahan? Jadi kita tidak perlu khawatir lagi." Seruni kembali memijat Redho. Ia tidak menyesal atau marah pada keputusan suaminya.
"Eh, apakah mama lihat Laila?" Redho tidak melihat Laila setelah Laila keluar dari ruang kerjanya. Ia tidak tahu ke mana menantunya itu.
"Tidak, Pah. Mama juga tidak tahu ke mana Laila. Oh iya, Pah. Tadi Raisya pamit pulang ke rumah. Dia diantar pak Warso, tadi," terang Seruni.
"Oh, baiklah ... memang kita seharusnya sudah kembali ke rumah. Tapi nanti sore mungkin kita bisa pulang," ujar Redho.
Redho tiba-tiba teringat kejadian pagi tadi. Saat Hilman membawa Eva pergi. Dan karena kepergian mereka, Redho Memiliki kesempatan untuk meminta Laila tanda tangan. Kemarahannya redha karena ia tidak perlu lagi membuat rencana agar Hilman tidak ikut campur dalam urusannya.
"Sudahlah ..." tandasnya lirih. Ia tidak mau memikirkan lagi apa yang dilakukan Hilman. Yang penting bagaimana menjelaskan kepada Laila.
***