"Alhamdulillah ... kita sudah dapat banyak hari ini," kata Diyon yang sedang memegang ikan dan kepiting di tangannya. Ia sangat senang karena bisa menangkap banyak ikan di sungai itu.
"Wah, kita sudah lama, yah! Eh, bagaimana dengan Neni sama Nur? Ayo samperin mereka!" ajak Ayub. Ia tidak sabar untuk memamerkan hasil buruannya pada dua anak gadis yang sedang menunggu.
Wawan, Diyon dan Ayub sudah cukup dapat banyak ikan. Mereka pun ingin segera menyantap hasil tangkapan yang berupa ikan, udang dan kepiting.
Apalagi ikan-ikan itu sudah dibersihkan dari kotoran dan yang ada di perut. Mereka hanya tinggal mencari ranting kering dan membakarnya.
Mereka kembali ke jalan di mana mereka meninggalkan dua gadis yang baru pertama naik ke bukit tersebut. Saat mereka sudah dekat, terlihat Neni dan Nur yang ketakutan. Di depan mereka ada Hilman dan Eva yang merasa bingung dengan dua gadis itu.
"Kenapa kalian takut melihat kami? Kami bukan orang yang jahat, kok," ujar Eva. Niat awal hanya ingin bertanya, mengapa dua gadis itu ada di hutan yang jarang dilalui orang.
"Takut, Mbak," ucap Nur lirih. Ia bersembunyi di belakang Neni. Neni juga merasa takut karena ia tidak pernah melihat dua orang itu. Apalagi keduanya terlihat asing.
Eva dan Hilman memakai jaket hitam dan terlihat seperti orang jahat bagi Neni dan Nur. Saat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, tiga anak lelaki itu sudah ada di belakang mereka.
"Heiy, lihat! Kami sudah dapat banyak ikan!" seru Ayub, memamerkan hasil tangkapan ikannya pada Neni dan Nur.
"Pak Hilman? Selamat pagi, Pak," sapa Diyon ramah. Ia menundukkan kepalanya pada Hilman.
"Selamat pagi. Oh, kalian," sahut Hilman. Ia mengingat-ingat tiga anak itu. Ia mengingat tiga anak itu adalah tiga anak yang pernah ke kebunnya dan dibawa oleh Laila kepadanya.
"Kamu tahu mereka, Mas?" tanya Eva pada suaminya.
"Mereka itu–" Hilman bingung harus mengatakan apa. Ia tidak ingin menyinggung Laila di depan Eva. Walau kenyataannya, tiga anak lelaki itu berkaitan langsung dengan Laila.
"Selamat pagi, Bibi," sapa Wawan pada Eva. "Kami lagi mau naik ke puncak, Pak Hilman juga mau ke sana?" tanyanya pada Hilman.
Ketiga anak itu tidak melihat Laila bersama Hilman. Padahal mereka sudah tahu kalau Hilman telah menikahi Laila, guru ngaji mereka. Karena tidak melihat Laila, membuat tiga anak itu bingung.
"Pak Hilman, kak Laila-nya mana?" tanya Ayub. "Apa dia ada di belakang?" lanjutnya lalu menatap ke belakang Hilman. Namun tidak melihat siapapun lagi.
"Oh, dia lagi di rumah. Kami tidak mengajaknya," ucap Hilman hati-hati.
Mereka yang mendengar Hilman tidak mengajak Laila pun merasa kecewa. Percuma saja kalau Hilman ke bukit tanpa mengajak Laila. Jadinya mereka sungkan untuk melakukan kesenangan di depan Hilman. Jika ada Laila, mereka bisa lebih bebas melakukan apa saja.
"Siapa mereka, Mas? Kok tahu Laila?" telisik Eva. Ia merasa ada penjelasan untuk semuanya. Apalagi ini terkait dengan madunya.
"Mereka–" Hilman bingung harus mengatakan apa. Ia sebenarnya ingin menghindari masalah. Namun malah jadi seperti ini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan tiga kurcaci.
"Kami adiknya kak Laila, Bibi," sahut Wawan bangga. Ia tentu bangga memiliki seorang guru ngaji yang juga dianggap sebagai kakaknya sendiri.
"Betul!" Diyon membenarkan ucapan dari Wawan.
"Mas, aku tidak jadi ke puncak bukit, ayo pulang!" ajak Eva. Apapun yang berhubungan dengan Laila, ia ingin menghindarinya. Apalagi setelah tahu siapa tiga anak itu.
"Kenapa buru-buru ingin pulang? Mereka hanya anak-anak. Lagipula kita sudah separuh perjalanan, Sayang," terang Hilman.
"Tapi mereka–"
"Cukup, Sayang. Aku tidak mau kamu memikirkan yang macam-macam." Hilman tahu maksud Eva yang tidak mau lagi ke atas bukit.
"Bagaimana kalau kita bakar dulu ini ikannya?" usul Ayub pada anak-anak lain. Walau kecewa Laila tidak diajak oleh Hilman, mereka harus menikmati perjalanan mereka.
"Ayo!" seru Wawan. "Aku akan mencari kayu bakar dengan Diyon. Kalian siapkan tempat, yah!"
"Nur sama Neni, ayo!" ajak Ayub. Ia mengajak kedua gadis itu untuk menyiapkan tempat mereka istirahat.
"Eh, ayo," balas Neni. Karena tiga kurcaci mengenal orang yang datang pada mereka, ia tidak lagi khawatir. Apalagi saat mendengar ini ada hubungannya dengan Laila.
"Kalau begitu, kami akan naik ke puncak duluan," ungkap Hilman. Ia menarik tangan Eva dan berniat meninggalkan anak-anak itu.
Hilman merasa tidak perlu khawatir dengan dua anak perempuan yang disangka tidak bersama siapapun. Karena melihat tiga kurcaci bersama mereka, Hilman sudah tenang untuk meninggalkan mereka.
"Iya, Pak." Ayub tidak terlalu menggubris Hilman karena ia sedang menatap dua gadis di depannya sedang membersihkan tempat untuk istirahat.
Sementara Diyon dan Wawan sudah menemukan banyak ranting kering. Mereka tidak perlu mencari ke tempat yang jauh. Karena di sekitar mereka ada banyak. Tinggal mengambil dan membawa ke pinggir jalan.
Hilman dan Eva sudah pergi jauh dari anak-anak itu. Kelima anak itu pun meneruskan untuk membakar ikan yang telah dibersihkan. Wawan mengambil korek dari sakunya.
"Ke hutan pada bawa korek?" Neni yang melihat heran pada Wawan. Ia tidak pernah ke atas bukit sebelumnya, jadi tidak tahu kalau mereka selalu membawa korek.
"Iya selalu, dong. Kami masing-masing membawa korek dan pisau. Liat ini!" ucap Wawan mengambil pisau kecil dan korek dari sakunya.
"Aku juga bawa ini," ucap Ayub. Ia juga membawa pisau kecil dan korek.
Karena mereka memasuki hutan, jadi mereka sudah terbiasa. Kaki-kaki mereka sudah kuat berjalan jauh. Walau sudah berjalan sejauh dua kilometer, mereka belum juga merasa lelah. Malah bisa menangkap ikan dan kepiting.
Mereka membuat api dan membakar ikan dengan menusuk ikan seperti sate dengan sebilah ranting. Mereka sangat menikmati hari dimana bisa saling bercanda dan bermain bersama.
"Wah, ini sudah matang. Ayo kita makan!" seru Wawan.
"Eh, sebentar!" balas Diyon yang membawa pelepah daun jati. Pelepah daun jati biasa mereka gunakan untuk alas duduk atau untuk menaruh makanan.
Banyak pohon jati yang tumbuh di perbukitan. Daunnya pun tidak terlalu tinggi-tinggi. Tidak sulit bagi Diyon untuk memetik daun-daun tersebut.
Mereka menikmati ikan dan kepiting bakar bersama. Walau tidak menggunakan bumbu, tetap saja mereka menikmatinya dengan lahap.
Sesekali mereka bersenda gurau dan saling menyuapi satu sama lain. Seperti yang dilakukan Diyon terhadap Wawan.
"Ini, kamu makan," ucap Diyon yang menyuapi Wawan.
"Aaa!" Wawan membuka mulutnya. Bersiap untuk menerima suapan. Namun ia kecewa karena dikerjai oleh Diyon.
Alih-alih menyuapi, Diyon membelokan suapannya dan kembali ke arahnya sendiri. Ia malah memakan sendiri ikan yang sudah dipisahkan dari dirinya.
"Kamu mau aku suapin? Ini buat kamu," ucap Ayub pada Neni.
"Enggak, ah. Aku bisa sendiri!" tolak Neni. Ia menatap ke adiknya. Ia melihat Nur yang lahap memakan udang. Ia tidak mau makan ikan dan hanya mengambil udang.
***