Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 49 - Pertemuan Dengan Dua Gadis Kecil

Chapter 49 - Pertemuan Dengan Dua Gadis Kecil

"Kamu mau ngajak aku ke mana, Mas?" tanya Eva. Saat ini Eva tengah dibonceng Hilman dengan sepeda motor. Ia merasa senang saat ia diajak oleh Hilman jalan-jalan di pagi hari itu.

"Kita mau ke atas bukit sana!" tunjuk Hilman pada sebuah bukit yang tinggi.

"Wah, asik! Pasti di sana, kita dapat melihat pemandangan yang indah, bukan?" tebak Eva senang.

"Iya, Sayang. Kamu kan belum pernah ke puncak bukit itu, kan? Aku sengaja mengajakmu karena ingin menunjukkan sesuatu ke kamu," tutur Hilman.

Eva merasa senang karena hari-hari ia habiskan dengan suami tercinta. Walau ia akan semakin dibenci mertua nantinya. Ia tidak peduli asal bisa bersama Hilman.

***

𝙁𝙡𝙖𝙨𝙝𝙗𝙖𝙘𝙠

Hilman bukan tanpa alasan membawa Eva ke puncak bukit itu. Ia ingin menenangkan Eva yang sedang bersedih. Walau ia harus menanggung kebencian lebih dari Redho.

Pagi itu Redho yang melihat Hilman membawa Eva pergi, kebetulan ia memiliki kesibukan sendiri. Ia sedang menikmati kopi dan sedang menunggu tamu. Itu yang membuat Hilman dengan mudah keluar dari rumah.

Karena Redho tidak ingin terjadi pertengkaran antara orang tua dan anak, ia harus menahannya karena terkait dengan bisnisnya. Jika Redho memarahi Hilman, maka ia tidak bisa membayangkan kalau bisnisnya akan buyar. Maka Redho membiarkan Hilman pergi dengan Eva. Walau di hatinya tersimpan amarah yang teramat.

Tadinya Redho sedang menikmati kopi hitam buatan Siti, pembantunya. Melihat Hilman bersama Eva, ia berdiri dan hendak memarahinya.

"Mau ke mana, kamu?" tanya Redho lirih. Ia melihat Hilman yang menggandeng tangan Eva. Ia sangat marah ketika melihat Hilman berniat membawa Eva pergi.

"Mau pergi," ujar Hilman. Ia melewati Redho yang berdiri di depannya. "Papa nggak perlu mengurus rumah tanggaku. Biarkan hari ini aku membawa Eva jalan-jalan. Aku akan mengurus Laila nanti," ujar Hilman dingin. Ia memegang tangan Eva erat. Tidak ingin melepas genggamannya pada sang istri tercinta.

Saat Redho ingin memarahi Hilman, ada orang memencet bel dari depan. Menandakan bahwa ada tamu yang datang. Karena Redho berjanji mengadakan pertemuan di vila itu, ia tidak bisa membuat rumah itu ramai dengan pertengkaran. Ia tidak boleh kehilangan bisnis besarnya.

Redho terpaksa membiarkan Hilman membawa Eva pergi. Setidaknya Redho harus merasa puas karena Hilman telah menikahi Laila. Redho masih memiliki rencana lain untuk memisahkan Hilman dengan Eva. Namun ia tidak bisa melakukan rencana itu pada saat ini. Ia akan menunggu waktu yang tepat.

𝙁𝙡𝙖𝙨𝙝𝙗𝙖𝙘𝙠 𝙀𝙣𝙙

***

Eva berpegangan pada pinggang Hilman. Karena jalan yang mereka lalui merupakan jalan tanah. Apalagi saat musim hujan tiba, tanah di sekitar masih basah. Hujan semalam membuat becek di jalan yang ia lalui.

"Ah, sepertinya kita tidak bisa membawa motor ke atas sana!" tunjuk Hilman pada puncak bukit ia juga bisa melihat air terjun.

Hilman menghentikan motornya dan Eva pun turun. Ia sudah membawa bekal dari warung nasi yang mereka temukan di sekitar jalanan. Desa Wanadadi merupakan objek wisata yang dikhususkan untuk perkebunan buah. Namun mereka tidak tahu, masih ada air terjun dan puncak bukit yang tidak terekspos oleh media.

Orang-orang kota jauh-jauh datang ke desa Wanadadi hanya untuk menikmati rekreasi di kebun buah milik Redho, yang saat ini sudah berpindah kepemilikan kepada Laila.

Hilman kadang merasa geram saat mengingat orang tuanya telah mewariskan semua perkebunan kepada Laila. Namun ia tidak bisa berbuat apapun karena sudah terjadi.

"Kamu tunggu di sini, yah! Aku mau ke pos untuk menitipkan motorku," ujar Hilman.

"Iya, Mas. Aku tunggu di sini," sahut Eva. Ia akan menunggu Hilman. Sesekali ia melihat ke arah bukit itu. Ia sangat senang saat diajak ke sini. Dan tentu saja akan ada kebahagiaan saat berjalan bersama menuju ke tempat yang sangat indah.

Hilman tidak menemukan siapapun di pos itu. Maka ia membiarkan motornya berada di situ. Yang penting ia bawa kuncinya dan motornya ia kunci stang. Di desa Wanadadi merupakan desa yang aman dari pencuri. Ia tidak perlu khawatir ada yang mengambil motornya.

"Huh, tidak apa-apa kalau harus jalan kaki," lirih Eva. Ia menghembuskan nafas pelan. "Yang penting bisa mencapai bukit itu bersama Hilman," lanjutnya sambil tersenyum.

"Ayo kita berangkat!" ajak Hilman. Ia mengulurkan tangan pada Eva. Menunggu Eva membalas uluran tangannya.

"Eh, ayo," sahut Eva. Ia mengangkat Kantong kresek berisi makanan dan air mineral. Ia membawa itu karena berpikir akan lama berada di hutan. Dan tidak menemukan Makanan di sana.

Hilman dan Eva berjalan beriringan melalui jalan setapak. Sesekali mereka saling melihat. Hilman memegang satu tangan Eva dan tersenyum padanya.

"Biar aku yang bawain makanannya," tawar Hilman. Walau makanan itu tidak berat, Hilman menawarkan diri membawa makanan itu.

"Tidak perlu, Mas Hilman. Lagipula ini nggak berat, kok. Ayo lanjut jalan," ajak Eva dan mendorong Hilman karena lelaki itu berhenti tiba-tiba.

"Eh ... pelan-pelan dorongnya, Sayang. Nanti kepleset, lho," ujar Hilman.

"Lagian kamunya tiba-tiba berhenti. Hmmm ..." gumam Eva lirih. Ia membiarkan suaminya berjalan di depannya. Sementara ia memegang tangannya dari belakang.

Keduanya berjalan sambil melihat-lihat sekeliling. Mereka bisa melihat banyak tanaman singkong dan ubi jalar. Karena ini bukan kebun buah milik keluarga Redho, Hilman tidak berani mengambil apapun yang bukan hak milik.

Lahan itu merupakan lahan milik desa. Yang dikelola oleh warga sekitar dengan sistem bagi hasil. Siapapun boleh menanam berbagai tanaman palawija atau pohon besar yang bisa dijual. Siapa yang menanam lah yang berhak untuk memanen hasilnya.

Ada pula yang milik perorangan karena sepanjang perjalanan, terdapat tanda sebuah batas kebun. Tanda itu berupa tanaman andong yang ditanam karena tanaman andong itu mudah ditanam dan tidak mudah mati.

Hilman dan Eva berjalan sejauh dua kilometer dari tempat mereka mulai berjalan. Di sepanjang jalan pun mereka menemui batu-batu besar yang berbentuk seperti kumpulan kerikil yang digabungkan.

Sejauh mereka berjalan, membuat mereka mulai berkeringat. Apalagi hari semakin siang dan sinar matahari kadang menerpa tubuh mereka. Apalagi saat berada di tempat yang tidak ada pohon yang melindungi dari sinar matahari.

"Di sana ada dua anak perempuan. Mengapa mereka bisa ada di sini?" ujar Eva heran. Karena ini sudah memasuki hutan dan tidak banyak orang di hutan.

"Oh, mungkin orang tua mereka ada di sekitar sini. Ayo kita ke sana!" ajak Hilman. Ia menarik tangan Eva bersamanya. Melanjutkan perjalanan dan menemui dua gadis itu.

"Tapi di sini sangat sepi. Tapi ayo kita ke sana!" Eva pun mengikuti suaminya.

Mereka pun sampai pada dua gadis yang sedang beristirahat di pinggir jalan. Di depan mereka ada tas belanjaan dan beberapa makanan yang dibawa. Hilman dan Eva merasa heran karena dua gadis itu membawa banyak makanan.

Kedua gadis itu pun menatap ke arah Hilman dan Eva. Mereka tidak pernah saling bertemu sebelumnya. Membuat dua anak perempuan itu mundur dan waspada. Apalagi gadis yang paling besar terlihat melindungi gadis lebih kecil. Mereka mengira Hilman dan Eva adalah penculik.

***