Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 19 - Mengutarakan Maksud

Chapter 19 - Mengutarakan Maksud

"Iya, Pak Redho." Laila menganggukkan kepalanya. Laila hanya menduga saja. Tapi ia yakin itu karena datang bersama dengan Hilman.

"Ooh, kamu tumbuh dengan baik. Ternyata calon menantuku sangat cantik," puji Redho, yang mendapat senggolan dari Seruni.

Terlihat keteduhan gadis itu, saat Redho melihat Laila. Keputusan untuk menikahkan Hilman dengan Laila semakin kuat. Tidak seperti menantunya, Eva. Redho lebih sangat tertarik dengan Laila. Melihat Laila yang berpakaian sopan dengan hijab yang menutupi tubuhnya. Serta pakaian yang longgar, membuat tubuh Laila tidak terpampang jelas. Tidak seperti wanita yang ingin mempertontonkan lekuk tubuhnya pada para lelaki.

'Ini menantu idaman,' pikir Redho. Redho berpandangan dengan seruni dan menganggukkan kepala. Seruni juga berpikir seperti apa yang dipikirkan oleh suaminya.

Mereka semua telah duduk di atas tikar. Ruangan berukuran empat kali empat meter ini, tidak terlalu sempit atau lebar. Rumah yang nyaman, membuat hati tentram. Entah mengapa saat mereka tiba di rumah, hati mereka menjadi lebih tenang.

"Apa bisa kita mulai acaranya?" tanya seorang yang merupakan ketua RT setempat. Ia melihat sekeliling. Beberapa orang menganggukkan kepala. "Baiklah, kalau begitu, kami persilahkan Pak Redho untuk mengutarakan maksud kedatangan Anda berkunjung ke rumah Pak Pramono. Untuk Pak Redho, kami persilahkan," pungkas pak RT.

Pak RT menggeser duduknya. Ia mundur ke belakang untuk mempersilahkan Redho mengutarakan maksud kedatangannya bersama keluarga.

"Terima kasih. Bapak sudah mengijinkan saya."

Redho melihat sekeliling. Ia melihat Pramono, Laila dan juga beberapa orang yang ada di ruangan tersebut. Tidak banyak orang memang. Karena ia hanya melihat tiga orang pria yang diundang oleh Pramono.

"Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kita kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang telah memberi rahmat pada kita semua. Sehingga kita dapat berkumpul di sini tanpa kekurangan nikmat. Nikmat sehat dan nikmat umur."

Redho memandang isterinya, Seruni. Ia juga menatap Hilman yang terlihat acuh terhadap dirinya. Di dalam dirinya, ia berharap kelancaran dalam berbicara. Bulir keringat sedikit keluar dari dahinya. Karena lelah dengan aktifitas dan karena tiba-tiba udara menjadi lebih panas.

"Yang terhormat, Bapak Pramono. Bapak Ketua RT dan kedua yang saya hormati. Pada kesempatan ini, ijinkanlah saya, sebagai orang tua dari Hilman Syahputra, menyampaikan maksud kedatangan kami. Yang tak lain, tak bukan adalah untuk melamar Saudari Laila Fatihani. Saya dan almarhum mas Fattah, telah membicarakan perjodohan antara keduanya. Di saat mereka masih anak-anak, kami telah membicarakan dengannya.

Saya juga menyampaikan bela sungkawa saya dan keluarga. Kami sudah tidak berhubungan dengan almarhum mas Fattah dan almarhumah mbak Maisaroh selama ini. Mohon maaf, karena saya pun tidak mendengar bahwa mereka sudah meninggal dunia.

Mereka adalah orang baik. Kami sempat ditolong oleh almarhum dan almarhumah dulu. Maka pada kesempatan kali ini, saya harap semua maklum.

Seperti yang kita tahu, saya telah berjanji akan menikahkan anak kami setelah usia mereka cukup dewasa. Maka maksud kedatangan saya adalah untuk melamar Laila Fatihani untuk dinikahkan dengan Hilman Syahputra.

Untuk Bapak Pramono, kami mohon Anda menerima maksud kami ini. Dan saudari Laila, semoga kamu mau menikah dengan putra saya ini. Mungkin kamu sudah tahu, Hilman sudah memiliki istri. Tetapi saya harap Laila dan Pak Pramono tidak mempermasalahkan itu. Saya yakin, Hilman akan bersikap adil terhadap Laila."

Laila dan semua orang di ruangan itu mendendangkan apa yang diungkapkan Redho. Setelah Redho selesai, ia meminum teh hangat di depannya. Berbicara seperti itu, membuatnya haus.

"Pak Redho ini," gumam ketua RT. Ia baru saja melihat orang yang berbicara begitu resmi. Berbeda dengan dirinya yang tidak perlu seperti itu.

"Papa ngomong apa, Mah?" bisik Raisya pada Seruni. Ia tidak paham dengan apa yang papanya katakan.

Redho berbicara panjang lebar, membuat Raisya tidak bisa mencerna apa yang diucapkan.

"Ssstt ... pelan-pelan. Jangan sampai papa denger." Sebenarnya Seruni juga demikian. Mengapa tidak berbicara langsung saja? Toh di dalam, tidak banyak orang juga.

"Iya, Mah." Raisya mengangguk dan mengambil kue yang ada di depannya.

Laila tidak membuat kue-kue itu. Ia membeli dari pasar pagi-pagi sekali. Laila tidak membuat persiapan sebelumnya. Karena memang itu tidak terlaku ia pikirkan.

Semua yang ada di dalam ruangan diam. Mereka hanya saling pandang satu sama lain. Redho yang memahami situasi, hanya bisa diam. Pernikahan anaknya yang harusnya akan membawa kebahagiaan, malah membuatnya merasakan ini semua. Ia harus menanggung malu karena tidak membawa banyak persiapan sebelumnya.

"Dan ini, ada sedikit dari kami. Pak Pramono, mohon diterima," pinta Redho yang mengambil amplop tebal dari tasnya. Ia menyerahkan amplop itu pada Pramono.

"Ini apa? Maaf, tidak usah." Pramono tahu, isi dari amplop itu adalah sejumlah uang. Uang yang cukup banyak, yang tidak bisa ia dapatkan dengan waktu singkat.

"Pak, ini hanya sedikit dari kami. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih. Karena dulu, saya telah dibantu oleh anak Bapak." Redho keukeh untuk menyerahkan uang itu pada Pramono.

"Tapi saya yakin, anak saya ikhlas menolong," kilah Pramono.

"Pak, saya juga ikhlas. Dan anggap juga sebagai biaya pernikahan Laila dan Hilman." Apapun yang terjadi, Redho harus menyerahkan uang itu.

"Tapi kami tidak perlu," tolak Pramono.

"Baiklah," keluh Redho. Ia memandang ke arah Laila. Ia mengulurkan itu pada Laila. "Laila, ini untukmu, ambillah," sambung Redho.

"Maaf, aku tidak bisa menerimanya, Pak. Benar kata kakek saya," tolak Laila.

"Kalau nggak mau, buat Raisya aja, Pah. Raisya mau, kok," celetuk Raisya.

"Ssttt! Jangan ikutan ngomong," bisik Seruni. Menang anaknya yang mengganggu.

Redho menatap Raisya. Ia tidak ingin anaknya membuat malu. Ia sendiri yang malu karena tingkah Raisya.

"Laila ... apa kamu memiliki keinginan yang belum terwujud?" tanya Redho.

"Hmm ... sebenarnya aku ingin membuat tempat untuk mengaji anak-anak," ungkap Laila.

"Alhamdulillah ... kalau begitu, ini untuk membuat tempat itu. Kamu bisa menggunakan ini untuk mewujudkan keinginanmu," tuturnya.

"Alhamdulillah ... beneran, Pak?" Laila tersenyum merekah. Sangat cantik saat ia tersenyum. Ia menerima uang itu. "Terima kasih," imbuh Laila senang.

Redho akhirnya memiliki cara jitu agar Laila menerima uangnya. Memang benar, anak tidak jauh dari orang tuanya. Seperti Fattah, Laila memiliki kepedulian tinggi terhadap sesama.

Melihat Laila menerima uang itu, semua orang merasa lega. Mereka bangga terhadap Laila yang memiliki keinginan yang mulia. Apalagi anak-anak mereka mengaji pada Laila, tidak pernah membayar seperti guru ngaji lain. Laila sangat tulus mengajari anak-anak mereka mengaji.

"Baiklah. Mungkin hanya itu yang ingin saya sampaikan. Kurang lebihnya, mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak-bapak, serta Kakek Pramono dan Saudari Laila. Akhir kata, Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab mereka serentak.

Redho berharap dengan cemas. Yang diharapkan Redho, Pramono merestui pernikahan dan Laila menerima lamaran tersebut. Namun ketika ia mengatakan Hilman telah menikah, itu membuatnya kehilangan harapan.

***