"Subhanallah ... mereka suka banget berantem," sahut Laila menutup mulutnya.
Belum sampai di rumah, Laila harus menemui kedua anak yang sering berantem itu. Sudah kebiasaan anak-anak itu berantem jika ada masalah. Maka sebagai seorang kakak, dan juga seorang guru ngaji, Laila akan mendamaikan mereka.
"Di mana mereka berantem? Ayo tunjukkin ke kakak! Ayo naik!" ajak Laila kepada Ayub untuk naik sepedanya.
Laila mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Meskipun dalam kondisi tubuh yang tidak baik.
"Mereka ada di samping kebun milik pak Redho, Kak. Itu lho, yang ada di dekat sungai!" jawab Ayub. Anak itu duduk di belakang. Ia memegang pundak Laila yang mengayuh sepedanya.
Sepeda itu melaju dengan kecepatan lima puluh kilometer perjam. Cukup cepat untuk sepeda itu melaju di jalanan yang tidak rata. Jalan desa yang berlubang tidak bisa menghentikan kayuhan gadis itu. Bahkan ia sudah terbiasa melakukannya.
"Aduh! Pelan-pelan, Kak!" pekik Ayub yang khawatir dengan kecepatan Laila bersepeda. Ia malah pernah melihat sendiri, kalau Laila bahkan bisa bersepeda lebih cepat lagi.
Saat ini Laila masih merasakan sakit di tubuhnya. Membuatnya tidak bisa lebih cepat lagi. Meskipun begitu, Laila tetap bisa mengayuh sepeda itu dengan kecepatan tinggi.
"Eh, maaf. Ya udah, kakak pelannin." Laila mulai mengurangi kecepatan sepedanya. Ia sebenarnya sudah sangat gemas dengan anak-anak itu. Mereka kadang nakal, kadang lucu juga. Sampai ia harus turun tangan untuk menghadapi kenakalan mereka.
Bukan satu-dua kali mereka terlibat dalam perkelahian. Kadang saat dua lainnya sedang berkelahi, salah satu dari mereka akan berlari ke arah Laila untuk melerai.
"Gitu dong, Kak!" ucap Ayub lega. Ia bisa santai, kalau kecepatan Laila bersepeda lebih normal.
Dalam waktu lima menit, Laila sudah berada di dekat sungai. Ia melihat dua bocah lelaki sedang berkelahi. Mereka sedang berebut buah mangga yang baru mereka petik. Jumlah mangga memang ada tiga, tetapi hanya ada satu buah yang matang. Membuat mereka saling berebut mangga yang matang itu.
Laila melihat dengan geram. Ia mengambil nafas pelan sebelum mengurus kedua anak yang sedang berkelahi. Ia melerai keduanya dengan menjewer telinga mereka.
"Kalian, yah! Kerjaannya berantem terus!" gertak Laila yang menjewer telinga mereka.
"Kak Laila? Ampun, Kak!" rengek Wawan yang tidak berani saat berhadapan dengan Laila. Ia akan menurut setiap ucapan atau petuah yang diberikan oleh Laila.
"Ampuun ... ini semua salah Wawan, Kak!" bela Diyon. Ia meringis, memperlihatkan giginya yang rapih.
Nyatanya dengan tingkah polos anak-anak itu, tidak membuat Laila berhenti menjewer telinga mereka. Apalagi mereka membela diri walau tahu itu salah.
"Sudah seperti ini? Astaghfirullah ..." gumamnya sambil menggelengkan kepalanya. Ia kemudian melepaskan tangannya dari telinga mereka.
Laila menarik nafas pelan. Kemudian menghembuskan dengan pelan juga. Ia menyunggingkan senyum ketika kedua anak itu bisa terkontrol olehnya. Dengan senyuman itu pula, kedua anak itu merasa nyaman dengan Laila.
Laila bukan sosok yang galak yang selalu menghukum kenakalan mereka dengan berat. Laila akan bersikap lembut atau keras dalam waktunya.
Dalam setiap kesalahan anak-anak itu, Laila tidak pernah main kasar. Hanya menjewer telinga mereka pelan, tidak sampai menyakiti mereka. Meskipun seperti itu, tiga anak itu akan menurut.
"Hehehe ... ampun, Kak, piss." Kedua anak itu tersenyum dengan memperlihatkan gigi mereka.
"Kan kakak sudah bilang, jangan nyuri buah lagi! Ini bukan kebun mangga kalian," selorohnya yang sudah berulang kali. Memang kadang mereka akan tertarik jika melihat buah-buahan yang menggoda jiwa anak-anak mereka.
"Iya, Kak. Ini buat kakak aja." Diyon menyerahkan mangga yang telah matang kepada Laila. Berharap Laila melunak dan membiarkan masalah itu berlalu.
"Kamu juga mau menyogok Kakak? Lebih baik, kalian ngomong sama pemiliknya! Minta maaf padanya. Dan jangan nyolong mangga lagi." Laila mengedarkan pandangan kepada dua anak tersebut. "Siapa yang ngajakin nyolong mangga?" imbuh Laila kemudian.
"Ayub, Kak!" jawab keduanya bersamaan.
"Ayub?" Laila menengok ke arah anak itu. Ia terlihat menyipitkan matanya kepada anak itu.
Tidak disangka, anak yang datang berlari kepada Laila adalah Ayub sendiri. Laila sempat berpikir bahwa Ayub tidak akan seperti ini. Nyatanya Ayub-lah yang mengajak mereka.
"Hehehe ... ampun, Kak ..." ucap Ayub lirih dengan tersenyum sambil menundukkan badannya.
"Dasar 'Tiga Kurcaci'! Sini kalian! Aku pengen jewer kuping kalian!" ancamnya sambil menggerakkan jarinya. Itu membuat mereka bergidig ngeri.
"Ampuunn ...." Mereka bertiga memohon ampunan. Mereka menunduk, jongkok memegangi telinga mereka.
Tiga kurcaci, adalah sebutan untuk tiga anak tersebut. Mereka sering bermain bersama dengan Laila. Walau kadang mereka bertengkar karena hal sepele. Tetapi mereka akan berbaikan lagi layaknya tidak terjadi apa-apa. Setelah berbaikan, mereka tidak ada dendam lagi. Itu diajarkan Laila pada mereka.
"Sekarang kalian harus minta maaf pada pemilik kebun ini!" perintah Laila dengan tegas.
"Kami sudah menjewer telinga. Sudah minta maaf. Kok masih dihukum lagi, Kak," ucap Ayub membela diri.
"Iya, Kak!" imbuh Wawan.
"Berani berbuat, ya harus berani bertanggung jawab. Kalian ini anak lelaki lho ... kelak kalian akan menjadi seorang pemimpin. Jadi kalian harus belajar tanggung jawab." Laila menasihati ketiga anak tersebut.
Mereka menganggukkan kepala. Ketiganya meletakan buah mangga yang telah mereka petik. Saat ini mereka sedang berada tidak jauh dari pohon mangga yang buahnya mereka petik. Niatnya mereka ingin memetik mangga yang matang, tetapi hanya ada satu buah mangga yang matang. Jadi mereka terpaksa memetik dua mangga yang masih mentah. Tak disangka, mereka menginginkan mangga yang matang untuk diri mereka sendiri. Tentu mereka saling berebut.
"Ayo, kalian bertiga minta maaf, kepada yang punya kebun!" perintah Laila.
"Baik, Kak."
"Iya, Kak."
"Iya, Kak!"
Mereka berdiri, kemudian berjalan ke arah pondok yang di sana ada seseorang. Mereka harus menemui pemilik kebun mangga yang merupakan orang tua Hilman.
Hilman yang sedang duduk menikmati kopi hitam, bersama dengan para petani. Hari ini mereka mendapat banyak permintaan buah dari kebun milik Redho. Mereka saat ini sedang beristirahat di gubug yang tersedia di kebun tersebut.
Ketiga kurcaci mengarahkan Laila untuk menemui Hilman. Mereka tidak berani untuk kabur karena diikuti oleh Laila. Tentu Laila tidak ingin mereka lari dari tanggung jawab. Ia juga akan meminta maaf langsung pada pemilik kebun. Karena ia adalah kakak juga guru ngaji mereka. Jadi ia mengajari mereka untuk berlaku tanggung jawab dengan apa yang telah dilakukan.
Mereka akhirnya sampai di mana ada Hilman. Mereka melihat pria itu sedang menikmati kopinya. Tiga kurcaci melihat ke arah Laila sebelum mereka belum benar-benar dekat.
"Assalamualaikum ..." sapa Laila kepada Hilman.
"Waalaikumsalam ..." jawab Hilman.
Sesaat pandangan mereka saling bertemu. Hilman melihat Laila, dan begitu pun sebaliknya. Mereka pernah saling bertemu barusan. Dan kini pun mereka bertemu lagi.
***