Gadis yang memiliki sepasang mata berwarna abu-abu itu, telah membantu kawan karibnya yang tengah mengalami masalah pada alat bantu penglihatan, sehingga tak bisa fokus untuk melakukan kegiatan sendiri.
Mereka berdua tengah berada di loker, yang mana Theresia membantu Irina menukar buku-buku yang dibawa. Hm, kenapa ingin memindahkan laptop ke tas ransel, ya? Biasanya, jika firasat sudah memberi pertanda, berarti memang harus segera dilaksanakan. Oke, lebih baik mengikuti, supaya tak ada hal buruk terjadi pada laptop satu-satunya, pikir Irina.
Gadis cerdas itu pun membuka tas laptop, kemudian memasukkan benda tersebut, beserta charger, mouse, dan alas mouse ke dalam tas ransel. Theresia yang melihat hal itu menjadi heran, akan tetapi tak mengatakan apa-apa. Setelah selesai, Irina memasukkan semua buku yang akan dibawa pulang ke tas laptop, sehingga tak ada buku yang berada di dalam pelukan.
Tangan kanan mengeluarkan kaca mata yang disimpan di dalam kantung kemeja, namun saat berusaha untuk memakai alat bantu penglihatan yang biasa, ia harus menelan kekecewaan. Kaca mata andalan tak kunjung benar, malah semakin pusing yang dirasakan.
Theresia kini mengamati, apa yang sedang dilakukan oleh Irina. Gadis itu nampak kesulitan membawa tas, namun tak mau menampakkan kesulitan secara langsung. Gadis bertubuh tinggi semampai itu sebenarnya tak ingin, kalau Irina pergi seorang diri, karena memang keadaan yang ada tak memungkinkan sama sekali.
"Kau yakin bisa pergi sendiri ke optik, Irina? Kenapa tak minta izin saja dari kerja part time?" Theresia bertanya dengan nada sangsi.
Ya, sebagai sahabat, dia sudah mengetahui, bahwa teman baiknya yang memiliki nama lengkap Irina Madeline Satskova, tak bisa dibiarkan berjalan seorang diri, terutama dalam keadaan kaca mata yang bermasalah.
"Ya, tidak apa-apa. Aku tak bisa absen kerja, karena sudah berjanji dengan bos di sana. Hari masih pagi. Kau juga harus bergegas. Bukankah sebentar lagi waktunya masuk kelas?" jawab Irina dengan tenang.
Sebenarnya, aku ini juga ragu, tapi masa harus memaksakan Theresia? Dia memang tak bisa menemani karena ada kelas, sudah pasti bukan kesalahannya. Semoga saja, tak ada hal aneh-aneh, sehingga bisa sampai ke optik dengan selamat, meskipun masih pagi tetap saja tak bisa melihat dengan jelas. Huh, beginilah kalau tak memiliki mata normal! Pikir Irina menyesal.
Theresia menatap lekat-lekat sang sahabat. Aku tahu dia berbohong, karena sudah sejak kecil kami kenal satu sama lain. Kali ini, maafkan diriku yang tak bisa mengantar. Semoga kau di sana baik-baik saja, harap si gadis cantik.
"Betul, sebentar lagi masuk kelas. Aku tinggal dulu, ya. Kenapa tak gunakan air cab saja, supaya lebih cepat?" tanya Theresia, sebelum dia pergi melangkah meninggalkan temannya itu.
Irina spontan menggeleng, saat mendengar usul teman terbaiknya tersebut. Air cab? Memang lebih cepat, tapi jaraknya juga tidak ada seratus kilometer, jadi buang-buang uang saja. Lebih hemat jalan kaki, karena setelah kaca mata selesai dibuat, sudah pasti bisa langsung ke rumah atau ke supermarket, batin gadis bermata emerald itu.
"Tidak apa. Jarak tempuh juga tidak jauh, jadi aku masih bisa jalan kaki, sekalian olahraga," jawab Irina, seraya tersenyum manis.
Theresia semakin merasa tak nyaman, karena memang paham betul itu adalah jawaban terpaksa dan senyuman yang terulas pun seakan palsu, supaya tak membuat dirinya khawatir.
"Baiklah kalau begitu. Aku masuk kelas dulu, ya," pamit Theresia.
Irina tersenyum, lalu mengangguk. "Ya, selamat belajar. Aku juga mau keluar dulu."
Theresia membalikkan tubuh ke arah kelas. Gadis tinggi semampai itu terlihat sedikit tergesa-gesa, seolah takut terlambat untuk masuk ke pelajaran selanjutnya. Irina hanya bisa menatap kepergian temannya dengan tatapan hampa.
Ah, sendiri lagi. Tak apa, harus tetap semangat apa pun yang terjadi. Tidak boleh menyusahkan siapapun, meski sahabat sendiri. Aku pasti baik-baik saja dan akan selalu seperti itu, Irina menguatkan diri sendiri.
Gadis cantik itu mulai berjalan perlahan, sambil menyipitkan sepasang mata cantiknya. Ia berjalan dengan hati-hati, seraya mengacuhkan tatapan mata para mahasiswa dan mahasiswi yang ada di sekitar sana.
Irina tak ingin sampai menabrak orang yang tak sengaja melintas, sehingga berusaha berjalan dengan segenap kekuatan disertai kehati-hatian yang dimiliki olehnya. Kaki jenjang itu terus melangkah, hingga sampai keluar gerbang kampus, lalu berbelok ke arah kanan.
Angin sepoi-sepoi menerpa wajah gadis cantik itu. Irina menikmati keadaan tersebut, namun tak mengurangi kewaspadaan yang ada. Aku harus bisa berjalan ke optik, meskipun beresiko. Semoga saja jalanan tak ramai, karena tak ada satupun penduduk di kota Palsa ini menggunakan mobil, karena sudah ada air cab atau air car. Setidaknya, kebanyakan menggunakan sepeda atau berjalan kaki, kalau tak mau menggunakan transportasi udara, pikir Irina.
Karena kedua mata terus dipaksa menyipit, supaya bisa melihat dengan jelas, membuat gadis berambut panjang itu merasa lelah. Ia terus berjalan, akan tetapi kewaspadaan sudah hilang dari dirinya, sehingga tanpa sadar ...
Bugh!
"Ouch!" pekiknya kecil.
Gadis bertubuh langsing itu tanpa sadar terjatuh, sehingga tas yang sedari tadi dipegang pun jatuh dari genggaman. Irina meringis, karena tak bisa berbuat lebih. Keadaan yang membuatnya seperti sekarang, sehingga mau tak mau menerima saja.
"Nona, kamu baik-baik saja?" Suara bariton khas seorang pria menyapa telinganya.
"Hm? Ya, saya baik-baik saja," sahut Irina.
Irina berusaha untuk bangun, namun tak dapat. Pria bertubuh tinggi, kekar, dengan rambut pirang dan memiliki sepasang mata berwarna biru itu tercengang sesaat, saat menatap ke arah gadis yang ditabrak.
Cantik sekali perempuan ini. Kenapa dia sampai bisa menabrakku, ya? Padahal tadi sudah berusaha menghindar, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Apakah dia tak bisa melihat? Kasihan sekali kalau benar itu yang terjadi, batin pemuda itu.
Irina berusaha untuk meraih tas yang lepas, sehingga tak menjawab pertanyaan dari pria tampan itu. Tindakan tersebut tak luput dari pengamatan, sehingga ia merasa tidak tega untuk membiarkan Irina seorang diri.
Dia benar-benar tak bisa berbuat apa-apa, bahkan menjawab pertanyaan pun tidak, malahan tangannya meraba ke tanah, seolah mencari sesuatu. Benar dugaanku, dia tak bisa melihat sama sekali. Dari pakaian dan apa yang dibawa, gadis ini terlihat terpelajar. Sebaiknya kutanya saja dulu ke mana tujuannya, supaya ketika sudah sampai di sana, bisa lega hati ini meninggalkan, pikir pria bermata biru tersebut.
Irina yang tak kunjung mendapatkan benda yang dicari, langsung berusaha berdiri. Setelah agak lama, gadis berambut panjang itu bisa berdiri, kemudian mengibaskan debu yang ada di kedua telapak tangan.
Pria itu membungkuk, lalu melihat ke arah sekeliling, karena penasaran dengan apa yang dicari oleh Irina. Ternyata, terdapat sebuah tas berwarna biru muda tak jauh dari situ. Tanpa ragu, pria berwajah datar itu langsung pergi ke sana, kemudian tangan kanannya langsung meraih tas tersebut.
"Di mana tas itu, ya? Untung saja, laptop sudah masuk ke dalam tas ransel, kalau tidak sudah pasti akan rusak, tapi di dalam situ ada buku-buku kuliah. Harus mencari ke mana lagi? Ini semua karena kaca mata yang mendadak tak bisa diandalkan," gumamnya pelan, namun bisa terdengar oleh laki-laki yang ditabraknya itu.
Wah, anggapan sedari tadi salah. Dia bisa melihat rupanya. Oke, kubantu dulu dia memberikan tas ini, supaya tak ada salah paham. I am not a bad guy and I will prove this to her, pikir pria bertubuh tegap tersebut.
Dia pun berdiri, kemudian berjalan mendekati perempuan yang tengah termenung seorang diri. Ketika mendengar suara langkah, Irina langsung waspada, sehingga menengok ke arah sumber bunyi. Karena tak memakai kaca mata, maka yang bisa terlihat hanya samar-samar. Pria tersebut semakin mendekat ke arahnya, sehingga membuat gadis nerd itu semakin gugup.
Siapa dia? Apakah laki-laki itu yang tadi bertanya padaku? Kalau benar memang orang yang sama, apakah dia orang baik? Harus siap-siap, bisa saja memiliki niat tak baik, batin Irina risau.
***