Angin berembus dari Utara menebar hawa dingin di sepanjang laluan kota. Malam semakin kelam di mana puncak gelap menghalau segala cahaya yang hendak bergerak ke dasar bumi. Hingga, permukaan langit tampak seperti lukisan hitam pada kanvas. Dan hanya menyisihkan secercah ruang yang memamerkan spektrum abu-abu dari gumpalan awan.
Rimbaud menarik selimut ketika matanya memandang ke ambang gelap untuk kali terakhir. Meyakinkan diri jika waktunya untuk terlelap telah tiba. Namun, sebuah petikan senar dawai harus menghentikan keinginannya. Nada-nada indah itu seperti mengajaknya menyelam ke dalam ingatannya.
"huhh..." ia melarungkan getah napasnya yang lengket ke udara yang terasa lembab.
"lantunan violin yang indah." pikirnya, seraya kembali beranjak keluar dari ruang.
Nada semakin berdenyar di telinganya. Bukan lagi kesunyian yang membatasi kesadarannya yang dalam keadaan bergeming. Tapi, justru lantunan ritme yang mengapung.
Ia kembali menduduki sofa menyentuh keningnya yang berkerut. Entah ke mana alam ingatan menerbangkan imajinasinya, menghadirkan sebentuk takut yang begitu bebas. Memeluk erat bagian perasaannya yang menggigil dalam gelisah.
Lambat langkah detik terus merambat. Waktu seperti laju arus sungai yang deras. Menyuguhkan berbagai atraksi di taltal keheningan. Lelaki itu mengangkat tangannya mengulurkan alir darah yang terasa beku.
"Bayangan itu. O, tidak belum saatnya." gumamnya takut ketika merasakan denyut jantungnya melemah. Seakan tangan maut hendak merampasnya dari dunia itu. Sekelebat penyesalan menghujani seluruh sel di kepala. Derai air menetesi cekung matanya yang berserah terhadap sedih yang mengambil peran.
Tidak tahu apa yang terjadi, adalah hal muskil untuk percaya bagaimana musik bekerja pada sistem syaraf, hingga ia merasakan sakit yang sedemikian rupa. Menyingkap tabir rahasia yang bersembunyi selama empat dasawarsa dari usianya.
Gelas-gelas kaca, sebungkus kacang kulit dan bir yang bersulang di meja. Saat gelak tawa keluar dari pintu tenggorokannya. Dan euforia yang terundang pada pesta kemenangan kartu yang terhimpit di celah tangan. Begitulah kehidupan yang mengambang di ingatannya.
Violin mereda, sebagaimana hujan lebat yang tinggal bulir-bulir air. Ia terus menyentuh kening." Berhenti! Aku mohon berhenti." gumamnya berharap resonansi kutukan itu pergi.
Walaupun ia tidak lagi sanggup menampung segala rupa gelisah, cemas, takut yang seperti kuku iblis itu mencabik tajam luka di kisah-kisahnya yang kembali menganga menjadi lubang gelap yang kejam.
"Tuhan, tundalah hari kepulanganku ke neraka." katanya memohon, lalu nada pun berhenti bernyawa.
Bersamaan dengan itu suatu hal mencekam lain terbit dari dimensi lama yang tergerai. Merekahkan riwayat berperihal-kan perceraian, fraksi-fraksi melankolia dramatis yang mengisi penuh lembaran silsilah keluarga.
"aaaaahhh." jeritnya memecah sekacau batinnya yang porak-poranda, menjadi lagu sesal yang bermelodi kesenduan di sepanjang keterjagaannya yang meringkuk dan mendekam dalam nelangsa yang tak juga sampai pada titik perhentian.