Senin, 3 November 2020 adalah kesempatan terakhir kali buat rambutku. Waktu itu aku diperingati lagi oleh Bu Emi untuk potong rambut. Bu Emi adalah wali kelas ku, dia adalah guru matematika di SMK ku. Sebelumnya aku emang sering diperingati buat potong rambut, tapi aku tetap ngeyel. Sampai pada saat itu, mungkin Bu Emi sudah sangat kesal dengan aku yang ngeyel ini. Dari kecil aku memang gasuka potong rambut, dulu aku juga pernah nangis saat dipotong rambutku. Sampai aku punya cita-cita buat panjangin rambut. Aku menjadikan gondrong sebagai cita-cita ku karena menurutku itu suatu cita-cita yang sangat sederhana, hanya perlu nunggu buat meraih cita-cita itu. Tapi sayangnya cita-cita sederhana ku itu selalu digagalkan oleh sekolahan. Jadi, sudah sejak dari SD aku jadi langganan potong rambut guru.
Saat itu, dengan muka yang kelihatan kesal, Bu Emi menghampiri bangku ku.
"Kenapa belum potong"
"Eh ini bu, tukang cukurnya tutup"
"Heleh, Dulu kamu bilangnya gak ada motor, kemarin kamu bilang hujan, sekarang kamu bilang tukang cukurnya tutup, besok apalagi?".
"Tapi kan kemarin emang hujan bu".
"Kamu ini cuma alasan terus, mau sampai kapan"
Bu Emi yang sudah kelihatan kesal tiba-tiba langsung meninggalkan kelas tanpa mengucapkan kata-kata lagi, saat masuk kembali, dengan raut wajah yang tidak enak dipandang dan dengan gunting yang sudah ada ditangan kanannya itu menghampiriku lagi.
"Potong sendiri apa Bu Emi yang potong". kata Bu Emi sambil mengulurkan gunting ke arahku.
"Eh enggak bu, enggak"
"Enggak gimana, kamu itu dari dulu selalu alasan terus, kamu tau aturan sekolah kan".
"Iya bu, iya. Janji bu, kasih kesempatan sekali lagi, kalo besok saya masih belum potong, terserah bu Emi mau apain rambut saya".
Lalu tanpa banyak kata lagi, saat itu Bu Emi cuma bilang 'oke' lalu memulai pelajaran matematika yang sangat membosankan bagiku. Bu Emi sebenarnya sangat baik, Bu Emi yang sebelumnya pendiam, jelas terlihat berbeda saat itu. Sebelumnya aku tidak pernah melihat beliau se kesal itu.
Bel berbunyi tanda akhir dari pelajaran dihari itu, aku segera bersiap-siap lalu mengenakan jaket abu-abu polos yang sering aku pakai. Sebelum pulang, seperti biasa, ditutup dengan doa yang dipimpin Jaka ketua kelasku, aku dan murid lainnya segera berdoa dan bersalaman dengan guru. Setelah itu, aku segera menuju ke tempat parkir untuk mengambil motor pitung kesayanganku. Sebelumnya motor itu milik Masku, tapi karena dia sudah beli motor sendiri, jadi motor pitung itu aku pakai. Motor tua itu kuberi nama Pace, warna hitam dengan spion yang cuma sebelah kiri, tidak membuatku takut sama polisi karena aku cuma takut sama tuhan.
Dijalan menuju pulang, aku melihat disebelah kiri jalan dimana tempat tukang cukur favorit ku sedang ramai. Tukang cukur itu bernama Pak Wardi, beliau adalah teman Bapakku, disana aku tidak perlu bilang mau potong rambut model apa karena Pak Wardi sudah hafal dengan model rambutku, Pak Wardi juga sering cerita saat sedang memotong rambutku dan Pak Wardi juga hafal kalo aku datang kesana, itu pasti gara-gara ada masalah dengan sekolahan, yaitu rambut panjang.
Dijalan aku sudah berniat untuk cukur dulu sebelum pulang kerumah, tapi karena saat itu sedang ramai, cuaca juga sangat panas, ditambah perut yang sudah lapar, jadi aku memutuskan untuk cukur rambut nanti saja.
"Wah, rame ya" kataku dipinggir jalan dengan motor yang sudah kumatikan.
"Iyo iki alhamdulilah, iseh papat sek nunggu" kata Pak Wardi yang berhenti mencukur karena sedang ku ajak bicara.
"Walah, yowes mengko wae tak rene meneh"
"Mengko udan iki" kata Pak Wardi sambil melanjutkan mencukur rambut.
"Panas ngene kok"
"Weh ngeyel"
"Hahaha, yowes pak tak bali sek, assalamualaikum" kataku sambil menyalakan motor dan segera pulang kerumah.
"Waalaikumsalam, iyo, ati-ati le"
Aku baru tau, ternyata selain punya bakat mencukur rambut, Pak Wardi juga memiliki bakat meramal. Aku memang sering bercanda dengan beliau entah tentang apapun itu, walaupun kadang dengan jokes yang garing, tapi tetap seru bercanda dengan Pak Wardi.
Sampai dirumah, aku langsung memarkirkan motor dihalaman depan. Rumah yang biasa ramai dengan Kayyis dan teman-temannya saat itu cukup sepi, aku hanya melihat Mamak yang sedang sibuk dengan cuciannya, dan Nissa yang sedang duduk sibuk dengan hpnya. Nissa adalah adik kandungku dan juga musuh terbesarku, aku sangat jarang ngobrol dengannya, aku justru malah lebih dekat dengan Kayyis, adik sepupuku. Dia sering cerita denganku, entah tentang apapun itu selalu ia ceritakan kepadaku, aku dengan senang hati selalu mendengar ceritanya dan selalu menunggu akan ada cerita apa, Kayyis sudah ku anggap seperti adik kandungku, daripada Nissa anak kesayangan bapak itu. Walaupun sebenarnya aku juga peduli dengan Nissa, aku tetap tidak suka dengan sifatnya itu.
"Assalamualaikum" kataku sambil melepas sepatu.
"Waalaikumsalam" kata mamak yang masih sibuk ngurus laundrynya.
"Maem ngo opo mak"
"Duh mamak rung sempet masak e mas, ketmau n