"Perasaan Kakak, berarti perasaan mu juga kan? Jangan kau lupakan bahwa kita ini saudara kembar, Nona Calista Earle Kafeel." Dengus Calvino.
Hih, selalu saja menyebalkan! Umpat Calista.
"Jangan mengumpat seperti itu. Tidak baik terus menerus memaki saudara sendiri!" Dasar Adik menyebalkan! Lanjutnya dalam hati.
Hih, memangnya aku saja yang memaki, hah? Aku yakin bahwa sekarang ini dia juga sedang memaki ku. Batin Calista dengan lirikan tajam ke arah sang kakak. Sialnya, yang dilirik juga balik melirik dengan ketajaman penuh.
Tidak mau terlibat ke dalam perdebatan yang tiada ujungnya. Calista langsung meminta kepada sang kakak untuk segera duduk. "Bisa bantu tuangkan teh ini ke dalam gelas?"
"Hh mm."
Sementara itu Calista terlihat sibuk menata sarapan ke dalam dua piring. "Sepertinya rasanya kurang pas. Semoga kau tidak memuntahkannya."
"Cih, hal itu tidak pernah ku lakukan didepan mu. Sekalipun rasanya sangat buruk."
"Kau!" Geram Calista berpadukan dengan tatapan tajam mematikan. Berbeda dengan sang adik yang terseret ke dalam emosi berbalut rasa kesal. Calvino justru menyungging senyuman tanpa dosa.
Sudah salah. Tidak mau meminta maaf, malah bersikap seolah - olah tidak terjadi apa - apa. Benar - benar menyebalkan! Sangat - sangat menyebalkan! Umpatnya dalam hati.
Paham dengan yang dirasakan oleh adik tercinta. Sebelah tangannya terulur menggenggam jemari lentik, sesekali mengusapnya dengan penuh kelembutan. "Sorry ... " hanya satu kata, akan tetapi mampu membuat bibir ranum menyungging senyum khas, dan hal itupun semakin membuat kecantikan bak Dewi Yunani bertambah berkali - kali lipat.
"Nah, gini dunk senyum. Kalau begini kan cantik." Sambil mencubit gemas pipi Calista. Sialnya, langsung dihempas dengan kasar. "Jangan lagi mencubiti pipi ku. Aku ga mua pipi ku ini mengendur karena ulah mu."
Tak ayal ucapan sang adik telah menggiring bibir kokoh pada senyum geli. "Cubitan sama dengan olahraga pipi, Earl. Kalau dibiarkan malah mengendur."
"Dasar ngacau! Makanlah selagi masih hangat. Kalau sudah dingin rasanya akan berbeda." Saran Calista.
Calvino mengangguk, bersamaan dengan itu langsung menyuapkan makanan ke mulutnya. Uh, masakan mu selalu saja terasa lezat memanjakan lidah ku, Earl. Pujinya dalam hati.
Seandainya saja kau bisa setiap harinya memanjakan ku seperti ini. Sayangnya, kita pun harus terpisah dengan jarak yang sangat jauh. Batin Calvino dengan tatapan meremang. Sementara sang adik melirik sekilas. Tidak mau kesedihannya disadari oleh sang adik tercinta, dia pun langsung menunduk.
Eits, tapi jangan salah karena sesekali mencuri pandang ke arah sang adik. Tanpa dapat Calvino tepis rasa kagumnya pada sang adik tak bisa tertepis begitu saja hingga dia pun menginginkan pendampingnya kelak memiliki sifat yang sama dengan Calista.
Tidak mau tenggelam ke dalam lamunan. Calvino terlihat menikmati makanannya hingga dengan lahapnya menyuapkan satu sendok penuh ke dalam mulutnya. Tak ayal akibat kurang hati - hati, dia langsung tersedak. Refleks, Calista langsung mendongak dengan tatapan khawatir. Bersamaan dengan itu menyerahkan segelas air putih. Dengan penuh kesabaran menepuk - nepuk punggung kekar hingga mengabaikan makanannya begitu saja.
Terima kasih sayang, itulah kalimat yang meluncur dari bibir kokoh melalui sorot matanya. Tanpa mengucapkan satu kata pun. Siluat abu - abu berkedip sekali seolah membalas ucapan sang kakak.
Kini, keduanya kembali melanjutkan acara sarapan tanpa ada satu patah kata pun yang terucap. Yang terdengar hanyalah decap kenikmatan dari hidangan terbaik. Jujur, yang tersaji diatas meja hanya makanan sederhana, akan tetapi rasanya sangat mewah bak hidangan terbaik yang di eksekusi oleh chef professional.
Lalu, apa yang menjadikan masakan ini sangat lezat? Mungkin karena pembuatnya mengeksekusi dengan penuh cinta.
"Jam berapa berangkat?" Tanya Calista setelah menyelesaikan sarapan.
"Sebentar lagi, sayang."
"Apa Kenan ikut?"
"Tentu saja."
"Lalu, Sean? Apa dia juga ikut dengan mu?"
Siluet coklat menajam, bersamaan dengan itu merangkum pipi Calista dengan penuh kasih sayang. "Sean, disini, bersama mu." Nada suaranya terdengar tegas, begitu juga dengan tatapan siluet coklat.
Hih, menyebalkan! Kenapa ga di ikutkan sekalian saja sih. Kesal Calista.
"Jangan harap kau bisa bebas berbuat sesuka hati mu, Nona Earl. Ingat, CCTV ada di mana - mana. Meskipun Kenan kembali bersama ku ke Dubai, akan tetapi banyak yang mengawasi mu terutama Anak buah, Papa."
"Kau dan Papa sama saja. Sama - sama menyebalkan!" Beranjak dari duduknya melenggang menuju kamar dengan membanting pintu dibelakangnya.
"Hai, jangan kau lupakan satu hal bahwa yang kami lakukan ini demi melindungi mu dari lelaki tidak bertanggung jawab seperti, Leonard Fidel Christiano." Namun, percuma menjelaskan. Toh, sang lawan bicara sudah tenggelam ke dalam kamar dengan earphone yang terpasang di telinga.
langkah tegas terlihat tergesa menuju kamar sang adik. Sialnya, niatnya tersebut tertangguhkan oleh suara bel apartement. "Pasti itu, Kenan." Lirihnya. Tanpa mengintip terlebih dahulu melalui interkam langsung membukanya begitu saja. Seketika tersentak ketika yang berdiri di balik pintu bukanlah orang yang dia pikirkan saat ini melainkan ...
"Om Beni ... Tante Mira ... "
Keduanya pun sama terkejutnya seperti Calvino sehingga membulatkan tatapannya. "Calvin ... jadi, kau sedang ada di Indonesia? Kapan datang?" Yang hanya dijawab dengan seulas senyum yang tampak menghiasi bibir kokoh.
"Kenapa tidak memberitahu kalau sedang di Indonesia? Kau ini sangat keterlaluan sekali, Vin. Papa - Mama-mu, juga ikut?"
"Tidak. Papa - Mama, ada di London. Calvin, datang sendiri karena memang ada urusan mendesak yang harus segera Calvin selesaikan." Dan urusan tersebut telah menjerat ku ke dalam rasa penasaran berkepanjangan. Sial, sial, sial, sebelum aku bisa menemui Kiara secara langsung, aku pun harus kembali ke Dubai. Lanujutnya dalam hati.
"Berapa lama di Indonesia?"
"Calvin, cuma sebentar kok, Om. Ini, sebentar lagi berangkat."
Sebelah mata beni menyipit dengan alis saling bertautan seolah berkata, ke mana?
Belum sempat Calvino menjelaskan. Kenan sudah datang dan menjelaskan bahwa pesawat jet yang akan membawanya pergi sudah siap.
Tak ayal atas sikap Calvino yang menurut Beni sangat menyebalkan itulah yang mendapati pukulan pada perutnya. Namun, bukan pukulan dalam artian sebenarnya. Ya, hanya sebatas rasa kecewa orang terdekat atas kepergian Calvino yang secara tiba - tiba.
"Sampaikan salam Om, dan Tante kepada Papa - Mama-mu."
"Iya, Om - Tante. Titip Earl, kalau dia nakal jewer saja."
"Seenaknya saja main jewer - jewer. Ini rasakan." Menjewer telinga Calvino dengan sangat keras. "Auch, sakit Earl." Rajuknya.
"Dasar alay! Ya sudah sana berangkat!" Usir sang adik.
Calvino langsung merentangkan kedua tangan menyambut tubuh ramping berhambur ke dalam pelukan. Dipeluknya tubuh Calista dengan sangat erat berpadukan dengan kecupan yang mampir pada puncak kepala. "Jaga diri baik - baik dan jangan lagi menyeret dirimu ke dalam bahaya." Yang langsung diangguki oleh Calista.
πππ
Next chapter ...