Chereads / THE LOVE TRIANGLE | TLT / Chapter 11 - Chapter 11

Chapter 11 - Chapter 11

"Hai, apa yang kau pikirkan? Jangan berfikir buruk tentang Kakak-ku!" Bentak Calista dengan mengangkat sudut bibirnya. Refleks Lenata pun dibuat gelagapan karenanya. "Em, maksud ku ... "

"Hm, aku tahu pasti kau sedang berfikir mesum kan?" Goda Calista.

"Ih, Earl. Apa - apaan sih kau ini."

"Hm, hayo ngaku! Uh, tak ku sangka Nona Lenata yang kental dengan adat ketimuran ternyata ya ... hm, ternyata oh ternyata."

"Dasar ngacau." Kesal Lenata berpadukan dengan bentakan hingga suara bentakannya pun terasa memekak telinga. Tak ayal Calista langsung menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak.

Dasar ya, Belen. Bisa - bisanya dia membentak. Dia tidak tahu apa kalau suara bentakannya bisa membuat telinga ku berdenging. Umpat Calista bersamaan dengan itu mendekatkan kembali ponsel ke telinganya. "Hallo, Belen ... " Namun, suara Lenata sudah tidak terdengar.

Dengan segera melirik layar ponsel untuk memastikan bahwa panggilan ini masih tersambung. Sialnya, panggilan pun sudah dimatikan. Dasar ga sopan. Dia ini sudah seperti jelangkung saja. Datang ga permisi, pergi pun juga ga pamit. Untung kita sudah bersahabat lama, Len. Kesal Calista.

Eits, tapi memang iya, ya. Kalau tadi Lenata mesum? Beneran ga sih? Em, bisa juga sih. Secara kan dia sudah bertahun - tahun tinggal di London. Terbawa ke dalam arus pergaulan ... sangat tidak menutup kemungkinan kan. Dan kalau hal itu sampai terjadi. Maka, Kakak-ku lah yang harus bertanggung jawab! Batin Calista sambil mengulas senyum geli.

Bibir ranum tak henti - hentinya menyungging senyum geli atas sikap calon kakak iparnya yang menurutnya sangat lucu dan juga menggemaskan. Bersamaan dengan itu melenggang menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

Bau harum yang berasal dari dapur telah memaksa langkah tegas mendekat. Hm, baunya sangat harum. Aku yakin pasti Earl membuat omelet. Batin Calvino. Dan ternyata, dugaannya sangatlah benar.

"Earl ... Earl ... kau memang selalu tahu yang ku inginkan." Sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan sebelah kaki menyilang. Kedua tangannya tampak dia masukkan ke dalam saku celana, sementara tatapannya masih saja mengunci pada punggung ringkih yang terlihat sibuk mengeksekusi bahan makanan.

"Apa yang kau lakukan disitu, huh? Kemarilah dan bantu tuang cream sup ini ke dalam mangkuk!"

Shittt, dia ini seperti punya seribu mata. Tidak melihat tapi bisa tahu kalau aku ada di sini. Kesal Calvino.

Calista langsung memutar tubuhnya jengah. "Jangan memaki ku! Lihat, aku sudah berbaik hati membuatkan mu sarapan. Dasar tidak punya rasa terima kasih."

"Selain punya mata seribu. Dia juga bisa membaca pikiran ku. Menyebalkan! Uh, sangat tidak enak punya saudara kembar. Apapun yang ku rasakan tak luput darinya. Benar - benar menyebalkan!" Lirih Calvino sehingga suaranya lebih terdengar seperti sedang bergumam.

Calista langsung menghembus nafas kasar. "Kau ini benar - benar menyebalkan ya. Dari tadi bisanya cuma memaki. Kalau begitu lanjutkan saja masaknya. Aku mau ke kantor." Bentaknya, bersamaan dengan itu melempari sang kakak dengan tatapan sinis. "Hih, dasar ga tahu rasa terima kasih. Ngeselin!" Kesal Calista.

"Sorry, Earl. Sorry ... " lalu, meraih pundak ramping dan setengah mendorongnya kembali menuju dapur. "Cepat selesaikan masaknya. Kakak, lapar sekali." Rajuknya dengan manja. Sementara Calista masih saja cemberut hingga bibirnya maju beberapa senti ke depan. "Tu kan masak sendiri saja ga bisa. Tapi, sukanya memaki. Dia pikir ga capek apa, bangun pagi terus menyiapkan sarapan seperti ini."

"Sudah dunk Earl marah - marahnya. Kakak kan sudah minta maaf."

Dia pikir kekesalan ku ini bisa dia tebus dengan permintaan maaf saja apa? Kesal Calista, sementara bibirnya masih saja mengerucut hingga maju beberapa senti ke depan.

Tidak mau membuat hati sang adik terus menerus berselimut rasa kesal, telah membuat Calvino menselancarkan godaan demi godaan. Tak ayal hal itupun berhasil mencairkan suasana. Kini, suasana pagi di apartement Calista pun di iringi dengan gelak tawa.

"Nah, gini dunk tertawa. Kalau kayak gini kan tambah cantik."

"Iya dunk, Adik siapa dulu?" Canda Calista.

"Adik Calvino." Jawabnya dengan cepat. Inilah moment - moment kedekatan keduanya yang diwarnai dengan canda tawa. Meskipun diselimuti dengan candaan yang terlihat garing, akan tetapi mampu membuat hati keduanya melambung bahagia.

"Ih, Kakak ... kok dituang ke mangkuk itu sih."

"Memangnya salah ya? Kan tadi Earl sendiri yang minta dituang ke mangkuk."

"Dasar ya laki - laki. Mangkuk ini tu terlalu kebesaran. Tuang di mangkuk kecil dunk!"

"Sorry ... sorry ... ya sudah kalau gitu kakak pindah ya?"

"Ih, ga usah. Biarin saja seperti itu. Gara - gara Kakak nih. Bisa - bisa Earl terlambat datang ke kantor."

"Ya sudah kalau gitu kita mulai saja sarapannya ya." Sambil mengusap puncak kepala Calista sambil lalu.

Kini, mereka melewatkan sarapan tanpa ada satu patah kata pun yang keluar. Yang terdengar hanya decap kenikmatan dari hidangan terbaik. Calvino akui bahwa masakan adik nya memang selalu menggigit. Hanya masakan - masakan sederhana tapi, rasanya luar biasa nikmat dan bikin nagih.

Pasti lelaki yang menikahi mu kelak akan merasa sangat beruntung, Earl. Setiap harinya bisa kau manjakan dengan makanan lezat. Batin Calvino dengan mengunci tatapannya pada adik tercinta.

Merasa ditatap secara intens, memaksa iris abu - abu menggeliat beriringan dengan mendongakkan wajahnya. Sebelah matanya memicing sambil mengangkat dagu seolah berkata, ada apa, hum?

Paham dengan pertanyaan sang adik, Calvino langsung mengayunkan jempolnya ke udara. Tak ayal sikapnya inipun telah berhasil mengiringi bibir ranum mengulas senyum geli.

Sebelah tangan kekar terulur mengusap puncak kepala Calista dengan gerakan kasar, sementara Calista sendiri tampak menikmati suapan demi suapan yang terasa memanjakan lidah.

Em, hasil masakan ku memang selalu luar biasa. Gimana kalau aku bawa sebagian untuk, Leo? Tapi ... ah, mending ga usah deh. Belum tentu juga kan Leo mau makan makanan sederhana seperti ini. Batin Calista sedih beriringan dengan suapan terakhir, begitu juga dengan sang kakak.

"Em, Kak Calvin hari ini ada acara kemana gitu ga?"

Melempari sang adik dengan tatapan penuh pertanyaan. "Maksud mu?"

"Ya, maksud Earl. Acara dengan Kenan, atau kemana gitu?"

"Kemungkinan ga ada. Memangnya kenapa bertanya seperti itu, hum?"

"Em, ga apa - apa sih. Ya sudah, kalau begitu Earl berangkat ke kantor dulu ya?"

"Biar Kak Calvin antar, ayo!" Beranjak dari duduknya lalu, meraih kunci mobil dengan segera.

"Ih, Kak Calvin ini apa - apan sih. Earl, bisa berangkat sendiri, Kak."

"Dengar ya, Earl. Kebetulan Kak Calvin searah dengan kantor mu. Dan ... Kak Calvin juga mau pakai mobil mu jadi, sekalian saja Kakak yang antar, ayo!" Mengulurkan sebelah tangannya supaya segera di sambut jemari lentik.

"Memangnya Kenan ke mana?"

"Kakak, lagi mau pergi sendiri tanpa gangguan Kenan, dan segala macam urusan kantor."

🍁🍁🍁

Next chapter ...