Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

LilyPop

lady_01
--
chs / week
--
NOT RATINGS
363.1k
Views
Synopsis
[21+] "Haduh." Lily kelimpungan karena kebodohannya. "Susu aja, ya? Gue punya banyak kok. Ya?" Menyedot ingus, Popi menatap Lily sungguh-sungguh. "B-boleh?" "Ya boleh, lah. Susu doang mah gue punya banyak." Kini tangis Popi sudah mereda sepenuhnya. "Yaudah. M-mana nenennya?" "Bentar, gue ambilin nen-- eh!" Lily menoleh kaget. Jantungnya seolah dipaksa lepas dari tempatnya. "Anjir! Apa lo bilang? N-nenen?" "Iya, nenen." Bibir Popi kembali melengkung ke bawah. "K-katanya mau kasih s-susu ...," kata Popi kembali hendak terisak sebab mendengar nada tinggi Lily barusan. Lily seolah dikutuk jadi batu. Gila! Nenen, katanya?!
VIEW MORE

Chapter 1 - Une

"Berapa kali sih Mama bilang, jangan. bolos. terus! Kalau dikasih tugas tuh dikerjain, bukan malah dipantengin!"

Lily mendecak. Ngomel mulu, keluhnya dalah hati.

Kemarahan Lilian, Mama Lily, makin menjadi-jadi mendapati putri semata wayangnya mencebikkan bibir seolah tengah mengejeknya. Ditambah lagi, mata bundar Lily yang beberapa kali bergulir dari sudut satu ke sudut yang lain.

"Mama gak mau tahu. Mulai lusa, kamu harus tinggal sama Maria," putus Lilian. Mengabaikan pelototan kedua manusia dalam ruang keluarga itu.

Hary, Papa Lily, memprotes, mewakili suara hati Lily yang tengah bergemuruh. "Gak bisa gitu, dong, Mah," keluhnya. "Masa Lily harus tinggal serumah sama Popi yang udik."

"Heh!" Seru Lilian. "Aku lebih baik punya anak kayak Popi, ya, daripada Lily yang liar dan nakal. Rasa-rasanya bisa mati muda aku kalau harus ngadepin tingkah anakmu itu!"

Giliran Lily yang protes. "Aku juga anakmu, Mah, kalau Mama lupa."

"Ck. Pokoknya selama Mama dan Papa pergi ke Bogor buat menuhin permintaan nenekmu, kamu harus mau tinggal sama Maria. Sekali-kali kamu juga harus belajar sama Popi biar sikapmu itu lebih manis sebagai perempuan. Mama gak mau, ya, punya anak satu tapi berandal. Anaknya cewek pula," ucap Lilian sembari bangkit dari duduknya dan mulai berjalan menaiki tangga.

Hery hendak menampik kata-kata Lilian ketika Lilian berhenti di antara undukan tangga. "Keputusan Mama gak bisa diganggu gugat," katanya sedetik sebelum punggungnya hilang tertelan dinding.

Lily mengangga melihat itu. Okelah, Mamanya memang seorang hakim. Tapi apa harus "keputusan gak bisa diganggu gugat" itu juga beraku di rumah? Pandangan Lily beralih pada Hery yang masih saja menatap ke dltempat di mana bayangan Lilian menghilang dalam diam.

"Pah-"

"Sepertinya Mamamu benar. Kamu sekali-kali memang harus belajar dari Popi biar jadi perempuan yang bertingkah manis," katanya lalu bangkit dan mulai berjalan menaiki tangga. Meninggalkan Lily yang merengut dengan mata menyipit kesal.

Geraman Lily terdengar. Ingin menangis saja rasanya punya Papa yang menyandang predikat "Suami takut istri".

***

"Jeng, aku nitip anakku sama kamu, ya. Kalau dia bandel, jewer aja kupingnya sampai putus. Aku mampu beli kuping mayat terus bayar dokter buat nyambungin, kok."

Semua yang ada di teras rumah besar itu meringis nyilu mendengar ucapan pedas Lilian yang mana merupakan tabiatnya, tak terkecuali Maria, Bunda Popi.

Sebenarnya namanya bukan Popi. Popi hanyalah nama pangilan. Sedangkan nama aslinya adalah Azam Pangestu. Dari Azam Pangestu ke Popi tuh ibarat kamu dan aku, jauuuh banget. Terus setelah dipikir-pikir jadi gak nyambung.

"Ah, gak lah. Lily baik, kok," bela Maria. Andai Mama Lily bukan Lilian tapi Maria, pasti tiada hari tanpa puji syukur Lily panjatkan. Karena Mama lily bukan Maria, maka tak pernah sekalipun Lily bersyukur.

Selama perbincangan basa-basi ala emak-emak, Lily tak pernah melepaskan pandangan sengitnya pada Popi yang tengah berdiri di sisi Maria seraya memainkan kedua tangannya di depan dada. Matanya selalu berbinar ceria menatap sekitar, dengan bibir yang tiada lelah meringis kecil layaknya anak-anak yang selalu merasa gembira. Mata Lily bergulir ke atas-bawah mengamati Popi dari luar. Seperti kata Hery, Popi itu udik, tak ada yang spesial kecuali tingkahnya yang menyerupai anak-anak.

Kata Lilian, Popi itu punya gangguan mental. Umur Lily dan Popi itu sepantaran, hanya saja jika keduannya disandingkan pasti akan terlihat seperti preman pasar yang bengal tengah memalak anak SD.

Popi itu sebenarnya ganteng, seandainya dia normal. Popi juga sebenarnya pintar, seandainya di sekolah dia tak suka merengek dan menangis hanya karena diejek temannya. Popi juga sebenarnya masuk kategori maco di mata Lily, andai saja dia tak suka memakai baju dengan motif boneka, seperti yang tengah Popi kenakan sekarang.

Dan, sungguh! Apa yang Lilian harapkan agar Lily pelajari dari Popi yang udik ini?!

Tiba-tiba sebuah sepatu ber-hak tinggi mengginjang kaki Lily. "Jangan melototin Popi!" Bisik Lilian mengancam. "Jangan bikin anak kesayangan Mama nangis."

Entah ekspresi apa yang tadi dipasang oleh Lily pada wajahnya hingga membuat Popi seperti siap menangis. Namun karena kesal oleh tingkah Lilian yang selalu membangga-banggakan anak tak berguna seperti Popi, akhirnya Lily melangkah sembari merentangkan tanggan, memeluk erat tubuh Popi yang mengaku dan tersentak mendapat pelukan tak terduga dari Lily. Tiba-tiba satu pikiran picik menghampiri Lily.

"Kata Mama, gue harus baik sama lo. Jadi gue peluk boleh, kan?" ujar Lily riang, berbanding balik dengan tangannya yang menyengkeram kuat pinggang Popi. Yang Lily tak sangka adalah, perut Popi terasa keras dalam dekapannya. Bahkan perutnya yang menempel pada perut Popi saya bisa merasakan betapa berototnya perut Popi. Tak di sangka, di balik sikap kekanak-kanakannya, Popi ternyata punya tubuh yang bagus.

Melihat itu, Lilian kaget, Hary menyernyit jijik, sedangkan Maria merekah dan berseru haru.

"Wah ... Popi dapet temen baru!"

Melepas pelukan, Lily cengengesan seraya merangkul pundak Popi yang beberapa centi lebih tinggi darinya. "Eheheh. Tenang aja, Tante. Popi aman sama aku," katanya dengan mata yang mengerling pada Lilian yang juga terngah tersentum padanya, tanpa Lilian paham apa yang tengah di pikirkan anaknya.

Setelah berpelukan dan mengucap wejangan sekali lagi kepada Lily, Lilian dan Hery akhirnya menaiki mobil dan mulai melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah Maria.

Maria lalu tersenyum. "Ayo masuk," titahnya.

Dalam langkah demi langkah yang Lily ambil, Lily memulai aksinya. Walaupun Popi ini udik, tak ada bedanya bagi Lily antara Popi dengan yang lainnya.

Lily mengejar langkah Popi, berjalan menyejajarinya. "Eh, Popi. Dah makan belum?"

Popi melirik Lily seraya menggeleng malu-malu. "Belum, Lily."

Lily menyeringai. Sebenarnya banyak yang Lilian dan Hery tidak ketahui tentang kelakuan putri semata wayangnya. Kenakalan yang Lily lakukan bukan hanya sekedar "bolos" dan "tidak mengerjakan tugas", tetapi sudah masuk pada taraf "dewasa sebelum waktunya".

Bersama gengnya, Lily kerap menonton blue film selama masa membolos, dan kerap kali melalaikan tugas karena sibuk berfantasi ria. Semua siswa sekolah tahu bahwa Lily dan temannya itu nakal dalam artian nakal karena suka genit pada lawan jenis. Dan bukan hal baru lagi jika didapati Lily tengah menggoda seorang siswa dengan cara memamerkan siluit tubuh sintalnya.

Sudah pulihan lelaki yang ia goda, baik itu adik kelas, sepantaran, atau kakak kelas. Semuannya masuk ke dalam perangkap Lily. Dan dari sekian banyak lelaki yang sudah ia goda, Popi belum masuk daftar dan sebenarnya tidak pernah terpikir oleh Lily untuk memasukkan Popi dalam daftar "menunggu godaan maut Lily". Hanya saja otaknya yang memang sudah rusak, makin tak karuan ketika ia tadi merasakan betapa berototnya perut Popi, membuat pikirannya terbang melayang jauh.

Menjinjitkan kaki, Lily makin merapat pada Popi. "Beneran belum makan?" tanyannya sensual. Ada sedikit desahan samar yang nakal di akhir kalimat yang Lily ucapkan barusan. Gila memang, menggoda anak yang tidak normal.

Berbanding balik dengan Lily yang bersemanggat, Popi kian gugup dengan kedekatan yang dibuat Lily. Secara naluri, tubuhnya agak menjauh ketika merasakan Lily makin mendesakkan tubuhnya pada Popi.

"I-iya, Lily. P-popi belum makan."

Lily melirik Marin yang tengah menyiapkan makan siang dengan dibantu oleh seorang pembantu. Lalu matanya berganti melirik Popi yang juga tengah meriliknya dari sudut mata.

"Mau gue kasih makan, gak?" Tanyanya centil. Telunjuknya menoel-noel bahu Popi.

Popi mengerjap. Dahinya berkerut kecil. "Makan ayam?" Ceplosnya begitu saja.

Refleks, Lily melotot. Namun sekejap kemudian kembali menyeringai. Malah seringainya lebih lebar ketimbang yang lalu. "Hu'um, ayam. Paha ayam."

"Wah ...." Mata Popi berbinar tatkala mendengar makanan favoritnya. "Mau!"

Lily mengerling. "Kalau gitu, bantuin nata barang gue dulu, yuk! Di kamar."

"Paha ayam?"

"Iya. Nanti di kasih paha ayam. Buruan!"

***

Popi menggaruk pipinya. Matanya menatap ke sana ke mari, mengikuti pergerakan Lily yang tengah menata pakaian ke dalam lemari, berjalan bolak-balik dari koper yang letaknya di ujung ranjang dengan lemari di pojok ruangan. Popi bingung, masih mencoba sabar menunggu Lily memberinya paha ayam seperti yang sudah di janjikan. "Em, Lily. Mana paha ayam?"

Lily hanya menghembuskan napas. Tak ada artinya ia memakai hot pant dengan kaos putih menerawang yang memperlihatkan singlet hitam sebagai dalaman. Memang apa yang dipikirkan seorang lelaki ketika diajak ke kamar oleh seorang perempuan dan dijanjikan akan diberi paha ayam dengan nada centil seperti tadi? Sayangnya Lily lupa, bahwa Popi bukanlah lelaki pada umumnya. Ia masih melanjutkan kegiatannya tanpa menghiraukan Popi yang sudah manyun dengan bibir melengkung ke bawah.

"Lily ... mana paha-"

"Bodo!" Teriak Lily akhirnya tak tahan dengan kedungguan Popi. Berharap Popi paham bahwa kini Lily tengah kesal. Namun sayang seribu sayang, sepertinya Lily kembali lupa bahwa popi bukanlah lelaki normal. Ketika mendengar nada tinggi melengking itu, Popi terlonjak dari duduknya dan langsung menangis karena terkejut dan sedih sebab dibentak Lily.

"L-lily j-jahad. Hua!" Suara tangis mulai memenuhi kamar tamu yang Lily tempati.

Tentu Lily panik. Bagaimana jika Marin mendengar isak tangis anaknya, bisa habis dirinya diadukan kepada Lilian. Dengan tergesa, Lily menghampiri Popi dan mencoba memenangkannya.

"Hei, hei. Jangan nangis dong, elah!"

Bukan mereda, tangis Popi kian melengking.

"O-oke oke ... berhenti nangis, ya?" Suara Lily melembut." Entar gue kasih susu, deh," negonya mencari peruntungan. Memangnya bisa dapat ayam dari mana Lily? Karena memang sejak tadi, paha ayam yang dia maksud bukanlah paha ayam secara harfiah. Itu hanya pengkiasan pahanya sendiri yang kata anak cowok di sekolah menggiurkan dan gurih seperti paha ayam. Jika susu, Lily memang selalu membawa susu kotak untuk ia minum sewaktu-waktu.

Popi masih tetisak, walau agak mereda. "Mau ayam ...."

"Haduh." Lily kelimpungan karena kebodohannya. "Susu aja, ya? Gue punya nih. Ya?"

Menyedot ingus, Popi menatap Lily sungguh-sungguh. "B-boleh?"

"Ya boleh, lah. Susu doang mah gue punya banyak."

Kini tangis Popi sudah mereda sepenuhnya. "Yaudah. M-mana nenennya?"

"Bentar, gue ambilin nen-- eh!" Lily menoleh kaget. Jantungnya seolah dipaksa lepas dari tempatnya. "Anjir! Apa lo bilang? N-nenen?"

"Iya, nenen." Bibir Popi kembali melengkung ke bawah. "K-katanya mau kasih s-susu ...," kata Popi kembali hendak terisak sebab mendengar nada tinggi Lily barusan.

Lily seolah dikutuk jadi batu.

Gila! Nenen, katanya?!