Chereads / Kisah Kasih Perjodohan / Chapter 2 - Menggoda Dosen Killer

Chapter 2 - Menggoda Dosen Killer

Dion sang asisten menuruti untuk bernegosiasi dengan manager kafe itu. Dia melangkah masuk ke dalam ruangan pimpinan untuk mendapatkan negosiasi agar dapat bertemu dengan Zea, nama panggung dari Zeline.

Dion menurut saja. Dia masuk ke dalam ruang meneger yang kebetulan sudah dia kenal. Lelaki itu menemui manager kafe itu.

"Ada apa, Dion?" tanya George sambil menyesap minumannya.

"Bos tertarik sama penyanyi lo malam ini. Atur jadwal unuk ketemu." Dion membuka kulkas di ruangan itu dan mengambil satu buah kaleng dan membukanya.

"Adu, gue nggak berani. Dia berbeda dari cewek yang lain. Dia bukan cewek sewaan. Dia juga ... pokoknya mendingan jangan. Gue bisa habis sama dia. Gini aja, deh. Lo temui dia sendiri di ruang kostume. Dia mau apa tidak." Dion duduk dan memangku kakinya satu.

"Oke, gue ke sana sekarang." Dion keluar dari ruangan George. Dia menuju ke ruangan di mana artis roker itu berada.

"Permisi, bisa bertemu dengan Zia," Dion bertanya pada salah seorang penata kostume.

"Sebentar, Tuan. Zia, ada yang mencarimu." Zia yang baru saja berganti kostume keluar menemui Dion. Dia duduk di sebuah kursi depan kaca besar.

"Ada perlu apa cari gue?" tanya Zia.

"Nona, bos saya mau bertemu dengan anda." Dion memandang Zia keatas kebawah seperti seorang lelaki yang lapar akan kasih sayang di atas ranjang.

Zeline pasang tampang waspada. Dia sepertinya tahu ujungnya. "Dengar! Katakan pada bosmu, aku bukan jalang, dan aku menolak bertemu dengannya. Kau menjijikkan! Enyah kau dari hadapanku!" Zeline menyerobot tasnya kemudian kabur dari orang itu. Dion melongo saja. pantas bosnya itu tertarik dengan wanita itu. Memang benar berbeda. Zia berbeda dari wanita pada umumnya.

Dion bingung untuk menyampaikan kepada Andra bosnya. Karena lelaki itu pasti akan ngamuk jika tujuannya tidak tercapai. Akan tetapi, jika tidak bilang malah akan lebih parah lagi. Dion akhirnya mendatangi bosnya.

"Bos, anu itu nona Zia tidak bersedia ketemu." Dion berhasil mngatakannya.

"Kurang ajar! Dia berani menolakku? Dia tidak tahu berhadapan dengan siapa?" Andra menggebrak meja. Dion nyengir melihat bosnya tersebut mengamuk. Mereka akhirnya keluar dari kafe tersebut. Saat keluar, mereka masih melihat Zeline berlalu dengan motornya. Dion tahu, kerana dia melihat Zia panggilan panggungnya mengenakan baju itu.

"Bos, itu ... itu Zia." Dion menunjuk ke arah seseorang yang mengenakan motor gede tersebut.

"Masa? Kejar!" Mereka mengejar Zeline. Namun, tidak dapat menjangkau karena wanita itu sudah keburu menghilang.

"Busyet, cepet banget ngilangnya." Andra meminta untuk pulang saja, dari pada mencarinya juga tidak ada hasil, karena sudah malam.

Zeline sampai di rumah. Motor gede yang knalpotnya bising itu membuat papa mamanya bangun dan turun. Mereka berdua sudah sampai di depan pintu.

"Malam, Ma-pa." Zeline mencium punggung tangan orang tuanya.

"Zeline, papa dan mama mau bicara." Zeline berhenti dan membalik badan menghadap papa dan mamanya.

"Pa, ck. Apa tidak bisa besok? Zeline cape' banget." Zeline berjalan melangkah menaiki tangga. Fakhri akan memanggilnya, tapi Kirana menggeleng-gelengkan kepala untuk mencegahnya. Mungkin kurang tepat untuk bicara sekarang. Fakhri mengerti dan membiarkan Zeline untuk masuk ke kamarnya. Sedangkan mereka juga masuk ke kamar.

"Pa, kita ngomong besok pagi saja. Otak dia juga masih fresh, jadi mungkin akan lebih mudah." Fakhri mengangguk kemudian mematikan lampunya. Mungkin mereka siap untuk saling memberikan rasa malam ini.

Zeline mengulat. Ada kuliah pagi hari ini. Dia melihat jam dinding menunjukkan pukul delapan, sedangkan kuliah setengah sembilan. Dia langsung mandi bebek, tanpa basa-basi memakai baju dan juga celana panjang. Tidak lupa, jaket kebesarannya. Dia berlari turun dari tangga dan tidak menghampiri sarapannya. Sebab sudah sangat urgen sekali. Jika telat mata kuliah yang satu ini, mungkin dia tidak akan lulus, karena sekarang ada ujian.

"Zeline, tidak sarapan dulu?" tanya papanya.

"Tidak bisa, Pa. Zeline akan telat." Zeline berlari saja, dan langsung cabut dengan mogenya.

"Gimana, Ma? Kalau sudah begini?" tanya Fakhri.

"Masih nanti malam, Pa." Kirana menepuk pundak suaminya untuk menenangkan pria yang sudah menemaninya selama duapuluh tiga tahun tersebut.

Zeline sudah tidak tahu, berapa kecepatan yang dia tempuh. Dia tidak lagi perduli dengan lampu pengatur lalu lintas. Semua dia terjang, demi tepat waktu sampai kekampus. Saat sampai di kampus, dia mengerem sangat pakem sehingga sampai standing. Beberapa anak baru yang belum pernah tahu dirinya, merasa sangat kagum dengan kemampunnya.

"Wah, ternyata dia cewek lho, nggak nyangka gue." Seorang mahasiswa kelas rendah mengomentari setelah Zeline membuka helmnya.

"Dahlah, ayo cepat. Nanti kita terlambat." Sedangkan Zeline sendiri sudah berlari karena sudah melihat dosennya jalan menyusuri lorong kelasnya. Dia berhenti hampir menabrak dosen tersebut setelah dekat dengan dosen tersebut.

"Mengapa lari-lari, Zeline?" tanya dosen tersebut.

"Hehehe, saya pingin jalan dekat pak Amri. Pak Amri ganteng banget hari ini soalnya. Dan wangi." Zeline memutar dan mendahului dosennya tersebut.

"Zeline, kau ini memang benar-benar. Tidak sopan!" Zeline nyengir saja dan masuk ke kelasnya. Pak Amri mengucapkan salam dan mengabsen. Seperti janji dosen botak kemarin, hari ini mereka ulangan. Zeline dapat menyelesaikan ujian itu sangat cepat karena perutnya juga sudah meronta. Tapi, tentu dia tidak sembarangan. Dia tetap berfikir agar dapat IPK bagus.

Zeline berdiri untuk meninggalkan tempat ujian. Dia berjalan kedepan, mendekat ke arah pak Amri dosennya yang sednag membaca koran digital.

"Pak Amri yang super ganteng, saya sudah selesai. Saya mau ke kantin ya, Pak. Laper. Atau bapak mau ikut saya? Atau mau nyuapin saya?" Zeline mengedipkan satu matanya. Dia membuat teman-temannya tertawa terpingkal-pingkal karena telah menggoda dosennya.

"Diam semua! Zeline!" Pak Amri berteriak.

"Ada apa, Pak? Yang romantis dikit kenapa kalau manggil. Dada pak Amri, Zeyenk ...." Pak Amri melemparkan penghapus ke arah Zeline, sehingga Zeline menghindar.

"Bye, Pak Amri." Zeline melongok kembali dari pintu.

"Zeline! Udah-sudah. Kalian kerjakan! Jangan hiraukan anak nakal itu." Mereka masih saja tertawa melihat ulah Zeline. Sedangkan Zeline sudah berlari menuju ke kantin. Dia pesan mie ayam kesukaannya.

"Mpok, mie ayam. Biasa ya?" Zeline memsan mie ayam tersebut. Dia sangat lapar sekarang, sehingga memakan mie ayam tersebut dengan lahap.

"Wueh! Lo makan apa kesetanan! Nggak nungguin kita." Zeline tersedak karena ditepuk punggungnya oleh Brian temannya.

"Uhuk ... uhuk ...uhuk. sialan lo, Monyet. Gue keselek." Brian mengambilkan air putih untuk Zeline.

"Lagian, lo nggak kira-kira, Bri. Zeline 'kan lagi makan." Mia menimpali. Mereka duduk di depan Zeline. Tapi, Zeline mencari sesuatu, terlihat celingukan.

"Ada apa?" tanya Brian.

"Dito mana?" tanya Zeline. Mereka juga mencari keberadaan Dito. Tapi memang Dito belum keluar seeprtinya dari ruangan itu. Mereka memilih untuk tidak menunggu Dito dan memesan mie ayam kesukaan. Bunyi suara ponsel milik Zeline terdengar. Wanita itu merogoh ponselnya.