Chereads / I Hate You, Because I Love You! / Chapter 4 - Four. Biangkeroknya

Chapter 4 - Four. Biangkeroknya

Reszha menatap seluruh sudut sekolah ini, satu persatu ruangan ia absen, yah, karena ia pernah di undang khusus oleh kepala sekolah SMA ini. Namun sepertinya, ke inginan nya harus ia buang jauh jauh. Sangat jauh.

"Pihak sekolah tidak pernah mengatakan, bahwa kami mengembalikan berkas mu, nak. Akan tetapi, pihak sekolah mengatakan kamu yang menarik berkas itu."

"Maaf Pak, tapi saya dengan Reszha tidak pernah menarik berkasnya. Kalau Bapak tidak percaya, saya ada bukti email pengembalian berkasnya."

Sarah sebagai guru TU Fareszha, memberikan bukti email yang dikirimkan pihak TU SMA ini. Tiga guru di hadapan Sarah dan Reszha secara bersamaan, menggeleng dan memasang ekspresi terkejut mereka.

Jujur saja, Dior selaku kepala sekolah, sekaligus Paman dari Ayah Fareszha tidak pernah membuat keputusan bodoh seperti ini. Bagaimana bisa dia menyianyiakan murid se bersinar Reszha? Yang ahli dalam segala bidang.

Tentu saja popularitas Reszha dalam bidang non akademik, bisa membuat sekolah ini kembali naik daun. Maksudnya, semakin banyak peminatnya, dan kembali menyandang sekolah ter favorit nomor satu.

"Sebaiknya, kita meminta penjelasan pada pihak TU."

Semua orang disini mengangguk, termasuk Reszha. Walaupun ada kesalahpahaman nantinya, Reszha tetap tidak akan mendaftar lagi ke sekolah ini. Tentu alasannya karena kecewa, dan itu pasti.

Semua pasang mata menatap Reszha, asing memang. Walaupun prestasi Reszha banyak, bukan berarti ia sangat terkenal, dan namanya sangat melambung tinggi di seantero Jakarta.

Namanya, lebih terkenal di kalangan para jurnalis, dan politikus. Apalagi mengingat Reszha lebih terkenal di dunia internasional di banding nasional. Jadi ia akan sangat jauh dari gosip dalam negeri.

Langkah kaki kelima orang terhenti di ambang pintu ruangan TU ini. Tatapan mereka tidak lepas dari guru TU, yang sedang menerika se jumlah uang dari seorang pria tidak dikenal.

Ketika Dior ingin berbicara, Sarah menahannya, dan menyuruh mereka semua untuk diam. Apa yang Sarah tunggu? Tentu saja percakapan antara kedua orang itu.

"Kerja bagus, jangan sampai orang orang tahu, kalau saya yang menyuruh anda untuk mengembalikan berkas pendaftaran Reszha."

'Paman Nicho' Terka Reszha.

Ia sangat kenal pemilik suara ini, Nicho. Apalagi di sebelahnya ada Ardian, asisten pribadi kepercayaan Nicho. Dior yang ingin marah dan menghampiri Nicho, lagi lagi di tahan. Bukan Sarah, akan tetapi Reszha yang menahanya.

"Bener ya Pak, segala sesuatu akan tunduk jika berada dihadapan uang."

Tidak percaya bahwa Reszha itu adalah seorang yang berani? Jangankan Nicho, gangster saja jika mencari gara gara akan ia lawan sampai bungkam.

"Baguslah jika kalian sudah tahu, aku jadi tidak perlu repot repot menyembunyikan rahasia ini." Ujar Nicho, membalas ucapan Reszha.

"Reszha pamit pulang aja. Assalamualaikum."

Tanpa berpikir panjang lagi, Reszha menarik lengan Sarah. Sarah sangat tahu, gadis ini pasti sangat hati dengan apa yang pamannya lakukan. Apalagi mengingat, ia secara tidak langsung adalah cucunya Dior.

"Kamu sudah sangat keterlaluan, Nicho!"

"Kakek, apapun yang aku lakukan, tidak ada urusannya dengan mu."

"Tapi kau harus ingat, kau akan menjadi wali Reszha, untuk selamanya!"

'Selamanya?' Bukankah hanya dua tahun? Pikir Nicho.

Alih alih menyesal, Nicho malah menunjukan smirknya. Ia akan menjadi wali Reszha? Lihat saja, bagaimana gadis itu akan menderita nantinya.

Bagi Nicho, menyakiti tidak harus dengan cara melukai fisiknya. Membuat gadis itu menderita secara batin saja ia sudah sangat puas. Karena orang yang selalu melukai fisik Reszha adalah Mike, lekaki berusia 19 tahun itu.

"Bu, saya izin dari sekolah."

"Reszha! Jangan karena sakit hati, kamu mau bolos sekolah, ya!" Balas Sarah, seraya menarik kembali lengan Fareszha.

"Aku ga enak badan Bu, kalau ga percaya Ibu ikut aja ke rumah."

Sarah hanya bisa menghela nafasnya, sedari pagi Fareszha memang mengeluh sedang sakit kepala, jadi ia juga tidak bisa memaksa gadis ini untuk tetap melanjutkan sekolah.

Dengan nafas berat, Sarah mulai membuka mulutnya, ingin mengucapkan keputusan yang ia buat. "Yasudah, nanti ibu buatkan surat izin. Kalau masih belum sembuh juga, besok kamu gausah ke sekolah, biar ibu suruh Intan kasih rekapan tugas ke kamu." Jelas Sarah.

"Iya ibu, nanti Reszha kabarin lagi."

Tidak ingin membuang waktu lagi, Reszha pergi setelah sebelumnya menyalimi punggung tangan Sarah. Reszha memakai Jaket hoodienya, ia tahu ini jam 10 pagi menjelang siang, cuaca pun sedang tidak dingin.

Akan tetapi, bagaimana nanti tanggapan orang orang, ketika melihat Reszha berkeliaran di luar sekolah, padahal sekarang masih waktunya untuk sekolah? Jaman sekarang, jarang loh orang orang berpikir positif.

Mengingat, sudah banyak kabar buruk tentang para pelajar SMA ataupun SMP di luar sana. Seperti kata pepatah, karena nila setitik, rusak susu se-telaga.

"Sebenarnya apa rencana mu?"

Disisi lain, ada Ardian yang benae benar kesal dengan kelakuan majikan nya ini. Bisa bisanya ia, merusak impian seorang gadis yang jelas tidak berdosa.

Nicho hanya menyunjing senyumnya, ia puas, sangat puas melihat raut wajah sendu yang Fareszha keluarkan. Sekarang di dalam pikirannya, hanya ada rencana rencana jahat untuk menghancurkan seorang gadis yang terpaut usia 8 tahun dengannya.

"Aku hanya ingin anak itu menderita, tidak lebih."

Ardian memutar bola matanya, Nicho ini bijaksana, dan berwibawa, dan sangat cerdas dalam urusan perbisnisan. Tapi bagaimana bisa? Pembisnis muda ini memiliki pikiran yang benar benar tidak dewasa?

Segala yang ia mau, ia bisa dapatkan. Tapi tidak dengan menghancurkan kehidupan seseorang. Nicho ini, seolah tidak pernah di ajarkan nilai agama dan kemanusiaan, begitu yang Ardian katakan dulu.

"Dia itu hanya gadis kecil yang tidak berdosa, Nicho."

"Tapi dia sudah menghilangkan nyawa calon istriku, Ardi!"

"Itu hanya kecelakaan!"

"Dia itu anak pembawa sial!"

Belum sempat Ardian menjawab, sebuah telfon yang tanpa ijin mengusik keributan mereka. Nicho melihat nama di layar ponselnya, setelah ia tahu siapa penelfonnya, Nicho langsung memberikannya pada Ardian, asisten, sekaligus sahabatnya.

"Merepotkan!" Umpat Ardian seraya mengambil alih ponsel Nicho.

"Halo?"

"Dimana Nicho?"

"Seperti biasa, dia sibuk."

Setelah mengatakan empat kata itu, Ardian mematikan telfonnya secara sepihak. Siap siap saja, ketika sang penelfon berada di hadapannya, ia pasti akan kena semprot habis habisan.

"Ah iya, daripada kau sibuk mengusuk hidup Reszha, lebih baik kau segera tunagan dengan wanita itu."

"Aku? Aku lebih tertarik untuk bermain."

Ah benar, Nicho itu memang seorang player. Setelah kematian Ema, ia banyak mempermainkan perasaan wanita di luar sana. Ingat apa katanya? Hanya Ema lah yang ia cintai, dan itu tidak bisa di ubah. Bukan tidak bisa, hanya belum.

"Mike mengirim pesan, ia bilang ada yang di bicarakan dengan dirimu."

"Atur saja waktunya. Kau paling mengenal diriku, Ardian."

*****

Air mata tidak henti hentinya keluar dari pelupuk mata Fareszha. Apakah tidak cukup? Kejadian yang menimpanya malam hari itu, dan semua perlakuan jahat orang orang padanya?

Seolah dunia tidak pernah berpihak padanya, dan selalu mendukung orang orang yang menyakitinya. Untungnya, Reszha tidak menjadi korban bully di sekolah, jika ia menjadi korban bully, sepertinya, saat ini ia tidak akan berada di atas tanah.

"Emang gak cukup ya? Gak cukup mereka bikin aku menderita?"

"Ayah! Coba bilang ke Eszha! Dimana letak kesalahan Eszha hah?!"

Yap, disini sekarang Fareszha berada, makan kedua orang tuanya. Ah, ia hanya berniat untuk mendatangi makam Ayahnya, bukan Ibunya, apalagi Ema.

Ketika ia bersedih, memangnya kemana lagi ia akan pergi? Jawaban yang paling pasti adalah makam kedua orang tuanya. Reszha sangat ingat, sebelum hari kejadian yang membuatnya menderita sekarang, Ayahnya pernah berpesan.

"Nanti, kalau Ayah pergi untuk selama lamanya, kamu harus janji, akan tetap menjadi Reszha yang baik, kuat, dan tangguh. Jangan pernah menyakiti siapapun, sekalipun orang itu berbuat jahat padamu."

Sekarang, Fareszha sangat menyesal karena tidak mengatakan tidak saat itu. Ia sangat ingin membalas semua orang berbuat jahat padanya, namun di sisi lain, ia juga tidak mau membuat mendiang Ayahnya kecewa di atas sana.

"Ibu seneng ga? Liat aku menderita kayak gini?"

"Aish, pake nanya, Ibu pasti seneng banget! Dari dulu kan, Ibu emang pengen aku menderita!"

Walaupun sudah meninggal, jujur saja, luka yang di buat mendiang sang Ibu sangat berpengaruh pada kehidupan Reszha. Luka yang ia goreskan, bahkan menembus sampai ke titik yang paling dalam, meninggalkan luka yang tidak pernah bisa di obati.

"Aku cape loh, Ayah, Ibu. Selama ini aku udah berjuang, udah jadi sosok pengganti kalian buat Ocean, dan memikul beban biaya rumah sakit kak Maura."

"Tapi mau gimana lagi? Kalian emang sengaja turunin bebannya ke aku, yaudah, mau gamau, aku harus jadi tameng yang sekuat baja."

Reszha menghapus air matanya, lalu ia bangkit dari posisinya dan berpamitan, untuk meninggalkan, jasad yang sudah menjadi tulang di bawah tanah sana.

~~~~~~~