Siang ini, keluarga mengadakan perkumpulan lagi. Alasannya karena kesembuhan Maura, atau kembalinya gadis itu dari rumah sakit jiwa. Ah, memangnya ia sakit? Reszha sangat bersyukur sekarang, karena drama Maura yang pura–pura menjadi orang gila sudah berakhir, dan ia tidak perlu mengirimkan uang pada pihak runah sakit jiwa lagi untuk data palsu. "Jangan coba untuk pergi dari pengawasan ku! Jika kau melakukannya, lihat saja apa yang akan aku lakukan pada Ocean!" baru saja Reszha ingin menjawab, namun ia urungkan karena mendengar nama Ocean yang disebut oleh Nicho. Pria itu ingin menahan Reszha menggunakan Ocean? Untuk sementara waktu ini mungkin Reszha menurut, tapi setelah satu bulan, jangan harap mereka masih bisa mencomooh dirinya lagi. "Nona Maura dan tuan Mike sudah menunggu di dalam, kalian bisa masuk sekarang." ucap penjaga yang berada disana, dan Nicho yang mendengarnya hanya mengangguk kecil. Kalian ingat apa yang Ocean katakan? Maura itu adalah seorang wanita jahat, apakah itu benar?
"Lihat, gadis psikopat itu sudah datang!" bisik salah satu suara, namun sayangnya, Reszha mendengar hal itu.
Kenapa mereka harus mengundang Reszha jika hanya untuk dipermalukan? Lebih baik ia berdiam diri di kamar, dan mendengarkan beberapa musik favoritnya, daripada disini tapi hanya mendengarkan ucapan yang tidak bermanfaat, membuang waktu saja. Sekarang, Nicho mencengkeram tangan Reszha dengan erat, gadis ini tahu jika Nicho tidak ingin dirinya kabur. Tapi tidak dengan cara seperti ini juga menjaganya, bodoh! "Jangan berbuat masalah apapun, ingat itu!" ujar Nicho, dan Reszha hanya memutar bola mata malas. Memangnya Reszha anak kecil yang akan membuat masalah? Dasar pria tua tidak berguna!
"Baiklah semuanya, karena hari ini adalah hari untuk menyambut kembalinya Maura. Sekarang kita akan panggil gadis itu ke atas sini, untuk menyampaikan segala hal yang sebenarnya terjadi."
Mendengar suara itu, Netra Reszha secara langsung teralihkan. Di atas sana, sudah ada Maura yang berdir menggunakan sebuah gaun berwarna merah maroon, dengan rambut hitamnya yang terkepang rapih. Wanita itu menatap Reszha, kemudian ia menunjukkan smirk jahatnya, Reszha tahu apa yang akan Maura lakukan sekarang, dan ia harus bersiap untuk masalah yang selanjutnya. Mungkin hari ini, Reszha akan terkena fitnah lagi, padahal ia baru merasakan hidup tenang selama satu tahun ini, tapi secara tiba–tiba Maura memutuskan untuk kembali. "Aku tidak pernah mengalami gangguan kejiwaan, tapi ada seseorang yang membuatku harus terkurung lama di dalam sebuah gudang. Ia tidak pernah datang kesana, ia hanya mengirimkan uang, dan menyebarkan fakta jika aku mengalami gangguan kejiwaan karena traumatik." ucapnya panjang, dengan suara yang sedikit parau. Mendengar hal itu, semua keluarga yang hadir menatap kearah Reszha, seolah mereka tahu jika orang yang dimaksud itu adalah dirinya.
Reszha hanya memasang wajah prihatin, dan tersenyum kecut. Maura membawa dongeng dengan sangat baik, membuat semua orang percaya dan terbuai oleh semua hal yang ia ucapkan. Dan Reszha hanya diam, mendengarkan, tanpa mau berkomentar apapun. Baginya, biarlah waktu yang menjawab semua ini, tidak peduli seberapa hina sekarang citranya dimata orang–orang sekitar. "Mungkin setelah ini, yang memimpin perusahaan Ayah adalah aku. Karena—" belum sempat Maura melanjutkan ucapannya, Chika datang dengan gunting yang berada di tangannya, dan memutus kabel yang terhubung dengan mic itu. Bukan Reszha, ada Chika yang menghentikan semua drama ini. "Warisan dari Ayah mu, hanya diberikan pada Reszha dan Ocean. Dan tidak boleh ada seorangpun yang menggunakan, atau memilikinya. Terkecuali, kedua orang itu sudah tiada, maka warisannya boleh diambil oleh keluarga yang bersangkutan." timpal Chika panjang, sembari memutar gunting yang berada ditangannya. "Dan satu hal lagi, Reszha boleh menggunakannya ketika ia berusia 17 tahun, dan boleh membagikannya ketika ia menikah." lanjutnya, membuat seisi aula ini hening.
Ah, semua yang Chika katakan itu benar, dan jarang ada orang yang mengetahui tentang hal itu. Dan mungkin, alasan dari kecelakaan itu adalah kematian Reszha. Tapi bukannya Reszha dan Ocean yang meninggal, malah kedua orang tua mereka yang meninggal. Apakah ini murni sebuah kecelakaan? Atau sebuah sabotase belaka? Untuk mendapatkan sebuah keuntungan yang banyak. "Ayolah Maura, ini hari penyambutan mu. Jangan buang waktu mu, dan nikmatilah semua ini." ucap Chika lagi, sembari menuntun Maura ke tangga, untuk turun dan bercengkrama dengan orang–orang yang hadir. Entah apa yang Chika rencanakan, Reszha tidak tahu pada siapa ia berpihak, dan untuk sekerang ini, Reszha memutuskan untuk tidak percaya pada siapapun.
Sekarang, Maura sudah berada tepat dihadapan Reszha, ia menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya, sembari berbisik. "Lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya, Reszha. Kau akan tersingkir dari dunia ini, dan semua warisan yang berada ditangan mu, akan jatuh ke tanganku. Kau ingin Ocean tetap hidup, bukan? Sekarang mulai lah memilih, Ocean, atau dirimu yang mati." ucapnya, diakhiri dengan senyuman lebar, dan air mata yang menetes. Reszha hanya meresponnya dengan tatapan datar, ia enggan untuk menanggapi ancaman gila yang Maura berikan padanya. Tadi apa yang dirinya katakan? Ocean atau Reszha yang meninggal? Tentu saja jawabannya Maura. Mati disini, bukan dalam konteks mereka kehilangan nyawanya, akan tetapi diusir jauh dari sini, dan dianggap mati seperti Ema.
"Acara akan berakhir, mungkin kita akan bersenang–senang nanti malam!" ucap Nadya, sembari merangkul pundak Reszha. Gadis itu segera menyingkirkan tangan Nadya, disini tidak ada orang yang bisa ia percayai, sekalipun itu Intan dan Adrian. Satu–satunya cara yang harus Reszha lakukan adalah, mengandalkan dirinya sendiri
Sembari menunggu waktu berputar, Reszha berdiam diri di balkon aula ini. Gadis itu sangat tergganggu oleh kebisingan dan keramaian, apalagi banyak orang yang harus ia blacklist dalam kehidupannya. Berada di balkon, bukan berarti Reszha lolos dari pengawasan seorang Nicho William. Faktanya, gadis itu terus mendapati Nicho sedang menatapnya dengan tatapan tajam bak pembunuh. Ayolah Nic, memangnya Reszha akan pergi kemana? Hidupnya saja terus menerus kau awasi seperti ini, bahkan sedari ia masih kecil. Ah benar, dari Reszha masih kecil Nicho sudah mengawasinya, karena itu adalah perintah dari Ayahnya Reszha sendiri, tuan Henderick. "Apa engga ada sesuatu yang bisa gue lakuin? Masa gerak ke kanan dikit aja udah dipelototin." umpatnya, sembari memasang raut wajah cemberut. Ia sudah berada lama sekali disini, dimulai dari melihat Maura yang bersandiwara, berkeliling menyapa orang–orang, dan melihat wanita itu bertukar nomor ponsel dengan seorang pria yang sudah cukup berumur. Mungkin urusan bisnis, bukan hal negatif lainnya.
Acara ini dimulai dari jam 1 siang tadi, dan sekarang sudah jam 4 sore, apakah untuk melaksanakan shalat saja Reszha tidak boleh? Ia bahkan belum minum sedikit airpun dari pertama datang kemari. "Reszha." dari suaranya, Reszha tahu betul jika itu adalah Nicho, gadis itu berbalik, dan melihat Nicho dengan segelas minuman di tangannya. Wine. Jangan bilang Nicho mau memaksa Reszha untuk meminumnya? Atau pria itu ingin menumpahkan winenya ke pakaian yang Reszha gunakan? "Ikut aku, kau ingin melakukan sesuatu bukan?" lanjutnya datar, sembari menaruh gelas yang ia pegang tadi, dan beralih menarik tangan Reszha. Nicho, tolong jangan membuat masalah baru dengan menggenggam telapak tangan Reszha, banyak pasang mata yang menyaksikan kalian!
"Kita mau kemana?" tanya Reszha, dengan nada suara yang sedikit panik.
Nicho tidak menjawab apapun, pria itu terus menarik tangan Reszha, sampai mereka tiba di depan pintu ruangan, yang bertuliskan 'Mushola'. Hey? Nicho tidak sedang bercandakan? Ia membawa Reszha untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim? Menabjukan. "Waktu mu hanya 7 menit, aku tunggu di dalam." ucapnya, sembari melangkah masuk ke dalam. Nicho yang menjadi imamnya? Tidak masalah sih... hanya saja.... "Aku sudah selesai." ucap Reszha, sembari mengambil barisannya. Ternyata mereka sholat berjamaah, bukan Nicho yang menjadi imamnya, melainkan seorang pria dengan perawakan tinggi dan besar sama seperti Nicho, namun... wajah pria itu lebih datar dari Nicho. Hanya datar, bukan dingin.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatu." sholat berjamaahnya sudah selesai, dan sekarang para wanita sedang sibuk melipat mukena yang mereka gunakan. Karena Reszha sudah selesai, ia memutuskan untuk keluar terlebih dahulu, meninggalkan Nicho yang masih berbincang dengan pria tadi. Entah siapa dia, tapi wajah pria itu terasa familiar dimata Reszha, atau mungkin karena wajahnya ke Eropaan, jadi terlihat sedikit mirip dengan Nicho. Tapi, ada seseorang yang menganggu Reszha sekarang.
Reszha kembali menarik diri untuk masuk ke dalam musholla, gadis itu berusaha menghindar dari Maura, dan bersikap tenang ketika wanita itu menghampirinya. Padahal, dalam hatinya Reszha sangat ingin menampar wajah kakaknya yang busuk itu, dan balik mempermalukannya di depan semua sanak saudara. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk Reszha membalaskan dendamnya, gadis itu hanya ingin mereka merasakan apa yang Reszha rasakan, ketika dalam puncak kebahagiaan. Balas dendam yang sepadan, bukan?
"Tidak perlu bersembunyi lagi, adik cantik ku." ucap Maura, ketika mendapati Reszha yang sedang memasang sepatu dikakinya. Reszha tetap menatap datar Maura, dan memutuskan untuk tidak menghiraukan apapun yang Maura katakan pada Reszha nantinya. "Kau mungkin tahu alasan aku kembali untuk apa, benar bukan?" lanjutnya, sembari mengelus kecil pipi Reszha.
Sembari bangkit dari duduknya, Reszha membalas. "Aku pikir, uang yang aku berikan pada mu itu cukup. Dan yah, bagiamana rasanya hidup di rumah sakit jiwa? Karena mu bahkan aku harus membuang uang karena data palsu. Memberikan donasi pada rumah sajit jiwa, dan memaksa mereka agar namamu terus tercantum disana sebagai orang gila." ucapnya panjang, kemudian kembali berucap. "Seharusnya kau sadar, semua uang yang aku habiskan itu adalah jatah mu. Dan kau tidak bisa mendapatkan apapun lagi. Dan jika kau ingin aku mati, coba bunuh aku, dan kuasi semua uang yang menjadi hak miliku." lanjutnya lagi, dan setelah mengatakan kalimat panjang itu, Reszha berjalan mendahului Maura. Namun tentunya, Maura tidak akan membiarkan Reszha pergi begitu saja.
"Dan itu adalah uang ganti rugi. Aku sudah membayar orang untuk membunuh dan melecehkan mu dulu, tapi yang kena imbasnya malah kedua orang tua kita, dan aku juga kak Ema." ucapnya, ketika berhasil mencekal tangan Reszha, dan kembali menarik gadis itu agar sejajar dengannya. Mendengar apa yang Maura katakan, Reszha hanya tersenyum kecil, ia melepaskan cekalan Muara, dan berjalan pergi meninggalkan gadis itu.
Bukan tanpa alasan, tapi karena Nicho sudah datang, jika Reszha masih menanggapi Maura, maka akan sia–sia semua sandiwara yang wanita jahat itu lalukan? Benar bukan? "Apa yang kau bicarakan dengannya?"
~~~~