Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Hutan Amara : Magis dan Mara Bahaya

🇮🇩mustachewchow
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.7k
Views
Synopsis
Tidak ada yang pernah tahu apa yang ada di dalam hutan yang dinamai Hutan Amara, yang dijaga oleh kedua pohon jati yang berdiri tegak , gagah dan besar di bibir hutan yang juga dijadikan oleh penduduk makam jasad hewan peliharaan dengan kepercayaan bahwa hutan menjaga dan merawat roh mereka. Hutan yang gelap seolah pohon pun melarang manusia melihat isinya hingga seorang remaja tidak sengaja mengayuh sepedanya hingga di bibir hutan. Bertemu badak raksasa yang hampir sebesar truk muatan lalu diselamatkan oleh mendiang burung nuri kesayangan kakeknya yang menjadi raksasa dan seorang wanita bernama Sri Dewi Maharani yang mengenalkan diri mereka sebagai penjaga hutan.
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB I Menerobos Dwi Pilar Mangkubumi

Bagi Rangga hidupnya sudah sangat melelahkan, bangun pagi untuk pergi ke tempat peternakan sapi yang jaraknya tak jauh dari rumahnya. Mengayuh sepeda butut yang rantainya berderik setiap kali kakinya mengayuh pedal yang licin tanpa penyangga kaki dan bersisa pipa besi yang terkadang menyakiti telapak kakinya bila seharian mengayuh berkeliling kampung dari satu ke kampung lain mengantarkan puluhan botol susu sapi segar yang diletakkan di kotak berbentuk persegi, terbuat dari kayu jati, sisa sisa dari pembangunan pendopo rumah Bapak Ian, si juragan yang mempekerjakan remaja berusia sembilan belas tahun itu. Sudah hampir lima tahun ia bekerja paruh waktu setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas dikota, dengan nilai tertinggi, bukan tiada usaha Rangga gunakan untuk mendapatkan pekerjaan layak dengan ijazahnya yang licin berlapis plastik laminating dan keahlian yang ia punyai. Hanya saja, kalau bukan karena Opungnya yang sudah berumur hampir kepala sembilan, tubuh ringkih dan penuh keriput meskipun masih sehat bugar. 

"Opung." Suaranya menggema di seluruh sudut rumah yang lumayan luas dengan dinding yang separuh masih berupa tumpukkan bata tanpa dilapisi semen dan cat, langit langit yang hanya dihiasi kayu panjang berjajar dengan jarak diantaranya sekitar satu meter antara satu dengan yang lain. Genteng yang bolong di beberapa bagian memberi celah sinar matahari masuk dari lubang yang berasal dari perkelahian kucingnya, Andaru, dengan kucing liar beberapa hari silam. Tepat menyinari kucing ras anggora yang adalah hadiah ulang tahun Rangga dari sepupunya yang tinggal di kota, tubuh gembul dengan bulu yang lebat mulai bergerak tidak nyaman karena rasa panas pada pantatnya akibat paparan sinar matahari dari lubang genteng tersebut. "Bangun, Dar. Sudah pagi, ayam ayam Pak Wariman sudah menjelajah halaman." Kaki telanjang Rangga yang basah sehabis dari kamar mandi menyenggol tubuh gempal Andaru. Mengeong seolah memprotes, Andaru akhirnya meluruskan tubuhnya yang digulung menjadi buntalan. Sepasang iris hijau menatap Rangga yang berkacak pinggang dengan rambut lepek dan basah serta hanya terlilit handuk super besar berwarna biru tua dengan sebal.

"Sudah biarkan si Daru tidur, dia semalaman berjaga di kebun. Jaga jaga ada Garangan masuk."

Opung yang muncul dari dapur dengan sedikit membungkuk dan satu lengan tertekuk ke belakang menyangga punggungnya yang tak lagi muda menyahut, satu cangkir bercorak yang lumayan besar di tangannya yang bebas mengepul dengan asap yang membumbung tinggi menandakan kopi hitam pekat kesukaan satu satunya kakek yang ia punya itu baru saja menyeduh minuman yang selalu menjadi keharusan di setiap pagi. Rangga menuntun beliau untuk duduk di kursi rotan di dekat lemari kayu yang berisi berbagai macam piala penghargaan yang tentunya milik Opung yang sudah dimakan usia sebagian, piala yang beliau dapat dari mengikuti lomba kicau burung. Jagoan beliau yang bernama Gatotkaca, seekor burung nuri yang bulunya berwarna keemasan dengan sebagian warna coklat di puncak kepalanya bagaikan mahkota raja yang ditemukan Opung saat masih bujangan terjatuh dan meringkuk dengan cidera dikakinya di pematang sawah sepulang memanen padi. Gatotkaca adalah burung nuri yang setia, tidak pernah dimasukkan kandang ataupun sangkar, Opung hanya akan meletakkannya di dahan atau ranting pohon mangga yang tumbuh berkembang di halaman rumah. Tapi Gatotkaca tidak pernah kabur atau pergi, selalu menunggu Opung keluar dengan baju singlet kedodoran, wajah segar sehabis mandi,sarung yang terlilit longgar di pinggul dan cangkul yang dipanggul di bahu. Merdu suaranya menghibur Opung yang sedang berpeluh di bawah terik matahari membajak sawah bermodalkan cangkul dan tenaga. Suara Gatotkaca yang mengalun indah sampai ke telinga seluruh warga kampung sehingga mereka berusaha meyakinkan Opung untuk membawa Gatotkaca ke lomba kicau burung. Awalnya Opung menolak, dikarenakan beliau berfikir bahwa Gatotkaca bukanlah miliknya dan ia juga tidak memaksakan kepemilikan padanya karena ia hewan yang bebas. Gatotkaca bercicit dengan beruntun seolah ia setuju dan Opung tidak bisa menolak burung mungil yang juga gagah perawakannya itu bertengger nyaman di bahunya seolah ia mempercayai Opung. Mengabdi sepenuhnya pada manusia baik hati yang merawat kakinya. Namun sayang setelah diberikan kawan hidup yaitu burung nuri betina yang Opung beli setelah bertandang ke pasar yang jaraknya hampir 10 kilometer dari kampung dengan menumpang mobil bak milik Pak Kades yang mengangkut beras miliknya yang sudah digiling dan siap jual bersama sayur segar dari kebun. Lalu memiliki jagoan kecil yang bulunya mirip dengan Gatotkaca hanya saja bulu dipuncak kepalanya berwarna merah membara bagaikan api. Meskipun tubuhnya kecil, dia juga tumbuh dengan gagah seperti Ayahnya. Gatotkaca hilang saat Rangga berumur tiga belas tahun, bulu bulunya berceceran di halaman. Seperti habis bertarung atau diterkam Garangan yang sering berkeliaran untuk memburu ayam peliharaan warga kampung, tapi potongan tubuhnya tidak ditemukan dimanapun. Opung sempat sangat bersedih, karena baginya Gatotkaca sudah seperti sahabatnya sendiri. Mereka mengubur bulu bulunya di bibir hutan dimana berjajar makam mungil dengan nisan dari batu besar yang diukir dengan menggunakan alat ukir yang memang digantung di pohon jati yang menjulang tinggi kembar bagaikan penyambut tamu memasuki hutan. Banyak hewan peliharaan yang dikubur disana, kepercayaan warga desa tentang hutan yang akan memelihara roh dan menjaganya membuat mereka membuat larangan untuk siapapun memasuki hutan yang tampak sangat gelap karena pohon pohon besar yang saling berjajar menghalangi sinar matahari dengan rimbun daun dan juga menyembunyikan isinya.

"Rangga! Kamu bukannya harus mengantar susu? Malah melamun disini." Pekikan Opung yang lumayan lantang dan menggelegar, maklum lulusan sekolah militer meskipun tidak dilanjutkan, mengagetkan Rangga yang menggosokkan handuk pada rambutnya yang sudah kering sambil memandang kosong ke udara lengkap bibirnya yang terbuka kecil. Gelagapan, remaja tersebut tersenyum malu malu dan segera bergegas ke kamarnya sembari melangkahi Andaru yang mendesis kesal dalam posisinya berguling menggesekkan punggungnya di lantai yang dingin.

Jarak rumah sederhana mereka dengan rumah besar yang isinya serba kayu yang khusus dikirim dari Kalimantan milik Pak Ian tidaklah jauh. Hanya perlu mengayuh sedikit melewati bentangan kebun tebu milik PakWariman, tetangga mereka lalu memberikan bakwan jagung serta tahu telor sisa sarapan yang dibuatnya untuk anjing penjaga yang berlarian kesana kemari di halaman yang luas dengan lidah menjulur dan bola yang terbuat dari rotan digulir dengan moncong. Untuk seekor anjing berbadan besar, gagah dengan ras herder, Bimasena namanya sangat jinak dan suka diberi perhatian. Rangga sempat takut karena Bimasena  hanya diam disisi lain pagar saat ia hendak berkunjung menerima tawaran bekerja Pak Ian. Menatapnya dengan sepasang iris mono yang menyala dan intens seolah menelitinya, begitu anjing itu melompat tinggi hampir seperti ingin melompati pagar dan menggonggong dengan kencang membuat Rangga terjerembab ke belakang dengan ketakutan. Menjatuhkan dirinya dengan tidak sengaja dalam kubangan air dari jalanan yang berlubang dan membuat pakaian yang ia setrika licin dan juga wangi penuh lumpur dan basah kuyup. Seolah menertawakan, Bimasena terengah dengan suara seperti tersendat meluncur dari tenggorokannya yang bergetar, sudut bibirnya melengkung dan lidahnya terjulur. Sungguh, kesan pertama yang sangat bagus.

"Nak Rangga!"

Namanya yang disebut membuat Rangga yang sedang asyik menggaruk perut Bimasena yang sedang berbaring terlentang di tanah dengan senang hati mendongak, memperhatikan Pak Ian berjalan tergopoh ke arahnya. Sudah rapi dengan seragam dinas sebagai staff di kantor PDAM yang berada di dekat kantor Kepala Desa tepatnya perbatasan antara kampung asri mereka dan juga jalan tol menuju kota. Rambutnya klimis mengkilap di bawah matahari karena gel yang pekat dan terlalu banyak, satu dua helai anak rambut yang tidak ikut menempel melambai karena angin seiring dengan kakinya yang beralaskan sepatu pantofel mengkilap yang sehabis dipoles melangkah. Kumisnya yang tebal dan melengkung di setiap ujungnya berkedut, entah gatal atau memang seperti itu. 

Bangkit dari posisi berjongkok yang lumayan membuat sendi lututnya berderik, Rangga jarang olahraga selain mengayuh karena memang bekerja, ia jarang melemaskan sendi dan ototnya. Sedikit merasa malu dan sungkan akan penampilannya yang hanya dilengkapi kaos oblong berwarna merah, bolong di bahu dan bagian bawah perut karena dimakan rayap, celana denim yang hanya sampaidi bawah lutut, longgar dan dikencangkan oleh tali rafia yang diikat dipinggang celana lalu ditekuk menyembunyikan ikat pinggang murah dan kreasi itu. Rambut hanya disisir biasa saja dengan potongan cepak sedikit tidak sejajar di bagian belakang karena Opung sebagai tukang cukur sedikit kabur pandangannya. Sangat kontras dengan Pak Ian.

"Hari ini libur dulu ya? Ini bayaran sebagai gantinya, Bapak harus menghadiri rapat dan kebetulan penjaga dan yang merawat serta memerah susu libur dikarenakan ayam ternaknya dibabat habis musang."

Mengeluarkan dompet kulit tebal dari saku celananya, jemari gendut Pak Ian mengeluarkan beberapa lembar uang puluhan dan segera mendorong uang tersebut di telapak tangan Rangga yang sedikit panik dan kaget. Nominal yang sangat banyak dari bayarannya yang biasanya.

"Loh? Pak, ini terlalu banyak-

"Anggap saja bonus! Karena kamu, Bimasena jadi semakin senang karena mempunyai teman bermain dan juga rajin bekerja." Pak Ian tak mendengarkan protes yang meluncur dari bibirnya, mengatongi kembali dompetnya dengan senyuman lebar dan segera menepuk bahu remaja jangkung tersebut. "Saya pergi dulu ya! Bimasena saya bawa juga, hendak dititipkan ke saudara. Salam buat Opung!" 

Dengan segera dan terburu seperti saat menghampiri Rangga, pria yang usianya hampir kepala lima yang masih bujangan itu berjalan dengan Bimasena yang mengikuti dari belakang, riang dan gembira, senang diajak berjalan jalan. Ekor berbulunya tegak dan bergerak ke kanan dan kiri. Rangga memperhatikan keduanya masuk ke dalam sebuah mobil kijang bercat biru tua yang mengelupas disana sini dan tambalan di bumper belakang akibat srudukan sapi beberapa hari lalu saat sapi betina Pak Ian yang paling besar hendak melahirkan mengamuk saat Bimasena menggonggong mengagetkannya dan membuatnya menghancurkan pagar kandang lalu membenturkan kepalanya kuat ke belakang mobil tua itu. Bunyi mesin dinyalakan dan Rangga menunduk, menatap lembaran uang puluhan yang jumlahnya hampir sembilan puluh ribu rupiah yang kusut karena diremas oleh tangannya karena paksaan kecil Pak Ian. 

Mengayuh sepeda dengan mentari bersinar hangat dan bau segar dari bunga bunga yang tumbuh disemak belukar di sepanjang pinggiran jalan setapak yang masih belum diaspal, bergelombak dan seperti sirkuit motor offroad, sangat menyenangkan. Tidak ada banyak lalu lalang sepeda motor dan juga mobil yang membuang polusi dari knalpot. Hitungan pemilik kendaraan bermotor di kampung bisa dihitung dengan jari. Hanya Kades, Pak Ian, Pak Subrata yang kebetulan bekerja di perusahaan besar dikota yang selalu memilih pulang ke kampung lalu Mang Djaja, pemilik kebun sawi dan cabai yang rumahnya paling dekat dengan hutan memiliki motor bebek yang ia beli hasil barter dengan berton ton cabainya. Berlalu lalang setiap subuh berkumandang lalu kembali di sore hari dengan hasil berjualan di pasar. Tak banyak memang warga kampung, mayoritas adalah pria.

"Eh?" Rangga menghentikkan laju sepedanya dengan menurunkan satu kaki dan menumpunya di tanah. Matanya menatap dengan terbelalak pohon jati besar kembar yang menjadi penjaga gerbang hutan, karena melamun dan keasyikan mengayuh ia malah sampai di depan hutan. Nisan mungil berjajar disisi kanan tepatnya di lahan yang ditumbuhi rumput yang anehnya tumbuh dengan rata dan tidak tinggi atau berantakan seperti roh para jasad peliharaan itu membuatnya subur dan tumbuh baik. Suara melengking dari dalam hutan yang gelap dan ranting juga dahan saling berdesakan  seolah menyembunyikan yang tak seharusnya ia tahu, suara yang memekakkan telinga dan membuat tanah yang ia pijak gemetar. Rangga berusaha menyeimbangkan sepedanya yang oleng namun naas, ia segera jatuh terjungkal kesamping bersama sepeda usang tersebut. Telinganya berdenging sakit akibat suara mengerikan yang entah oleh hewan apa dari dalam hutan. Menepuk nepuk sisi kepalanya dengan meringis, Rangga hendak bangkit dan bersiap mengangkat sepedanya saat suara derap langkah yang layaknya barisan tentara perang datang dari dalam hutan. Derap yang seolah melubangi dan lagi lagi dataran yang dipijak Rangga gemetar serta bergemuruh hebat, seperti gempa bumi yang bersiap membela tanah. Dengan ketakutan ia menyeret kakinya yang pegal serta sepedanya yang bagian rantai beruraian merapat pada sebuah batu raksasa tepat disamping jajaran makam. Memperhatikan lamat lamat celah besar antara dua pohon jati, bersiap akan apapun itu yang keluar darisana dengan langkah layaknya membawa bencana.

Begitu sebuah badak yang tubuhnya dua kali lipat dari badak pada umumnya, muncul dengan mendengus kencang, Rangga tak bisa menahan tarikan nafas terkejut, matanya seolah hendak keluar dari soket dan seluruh tubuhnya gemetar hebat.

Astaga! Badak ini sangat besar hampir sebesar sebuah truk pengangkut barang!

Badak itu berhenti tepat di hadapannya terpisah jarak hanya lima langkah kaki. Mendengus dengan kepala digelengkan beberapa kali, telinganya bergerak dan asap layaknya sebuah lokomotif keluar dari mulutnya di setiap dengusan. Satu kaki belakangnya menggesek gesek tanah, seolah banteng yang siap menyerang matador yang melambaikan bendera merah.

Rangga meneguk ludahnya kasar, tangannya gemetaran hebat dan ia sangat terkejut dengan pertemuannya dengan hewan yang sungguh raksasa ini. Jantungnya berdegup kencang karena rasa takut dan adrenalin yang memompa diseluruh pembuluh darahnya. Mencoba bergerak dengan sepelan mungkin, sayangnya, kumpulan dedaunan kering yang ia duduki berderak kencang. Rangga melotot, badak tersebut dengan cepat menoleh. Sepasang iris merah menatapnya tajam dan dengusan yang panjang serta marah disertai dengan kaki yang mulai melangkah ke arahnya dengan derap mengoyak daratan membuat seluruh darah di kepala Rangga hilang dan ia pucat pasi. Tubuhnya kaku serta ia belum sempat menarik nafas ketika cula tebal serta tajam mendekat.

Sejengkal jarak antara cula tersebut berhasil mengoyak perutnya, tubuhnya serasa diangkat dengan kuat dari genggaman seseorang di kerah kaos bagian belakang miliknya. Melayang dengan mengerjap dan jantung rasanya hendak pecah, Rangga memperhatikan bagaimana badak raksasa itu membentur batu besar yang sempat ia jadikan sandaran. Hancur berkeping keping dengan serpihan berceceran, Rangga menelan ludahnya membayangkan batu tersebut adalah tubuhnya. Belum sempat ia bangkit dari rasa ketakutan akan ajalnya yang dekat oleh makhluk raksasa itu seekor burung yang  juga ukurannya raksasa melintas diatas. Bayangannya bagaikan sang Garuda, sayap membentang luas dan lebar serta tubuh besar nan gagah. Rangga terperangah ketika burung tersebut terbang rendah lalu menukikpada badak raksasa yang mendengus marah di bawah lalu mengeluarkan lengkingan suara yang memekakkan telinga, Rangga reflek menutupi telinganya dengan kedua tangan begitu gendang telinganya seperti didentum kencang dengan menyakitkan. Kakinya berayun di udara karena siapapun itu yang masih memegangi kerah bajunya dan mengajaknya melayang.

"Namanya Gunawarma." Suara wanita yang mengalun lembut di antara denging di telinganya dan dari arah atas kepala, sontak membuat Rangga mendongak. Sekali lagi membelalakkan matanya menatap seorang wanita yang sangat cantik dengan kulit seputih susu dan dibalut dengan gaun kebaya hijau. Sebuah rangkaian dari ranting tanaman merambat dan juga dihiasi daun daun kecil yang menjuntai menghiasi rambutnya yang disanggul tinggi dengan cepol. Satu tangannya menggenggam kerah Rangga dan tangannya yang lain memegangi tongkat yang dililit oleh selendang yang sewarna dengan kebaya yang ia pakai, terbuat seperti dari batang pohon pinus dengan sebuah kristal keabuan yang menyala redup di atas tongkat itu. Rahang Rangga serasa jatuh dan lidahnya kelu untuk sekedar mengucapkan sepatah kata. "Gunawarma adalah roh, ia salah satu dari penghuni hutan Amara yang kepalanya sangat bebal dan suka sekali menentang penjaga Mangkubumi." Seolah tak menyadari bahwa manusia yang sedang ia pengangi hampir mati dan sedang dilanda oleh rasa terkejut yang membuatnya hampir gila, wanita cantik itu melanjutkan. "Penjaga Mangkubumi itu mereka." Tongkat digerakkan dan Rangga mengikuti arah dimana tongkat itu menunjuk. Ke arah dua pohon jati yang menjulang tinggi. "Namanya DwiGama dan DwiJaraka. Kau anak baru ya?"

"A-aku-

Belum sempat meneruskan kalimatnya, Rangga memekik kencang yang sangat bukan dirinya sekali ketika wanita itu melayang kemudian secara langsung juga menyeretnya bersama. Terombang ambing dalam genggaman wanita itu, Rangga memegangi kepalanya yang mulai beputar selain karena angin kencang yang masuk ke seluruh pori pori tubuhnya karena wanita yang menyeretnya itu melesat kencang, ketinggian yang ia lihat dari posisinya sangat menakutkan. Suara kepakan sayap yang beradu dengan udara membuatnya mendongak.

Burung raksasa yang juga menolongnya dari serangan Gunawarma terbang di atas mereka. Sangat besar dan juga keren, bulu berwarna keemasan yang terpias sinar matahari membuatnya layaknya patung dewa, saat kepala burung itu menundukuntuk membalas tatapannya, sinar matahari tak lagi menyinari mereka saat jajaran rimbun pohon menanungi. Rangga terbelalak, warna kecoklatan pada bulu dipuncak kepala burung itu mengingatkannya pada seekor burung pipit yang ia kenal.

Ketika ia diturunkan untuk berpijak pada kedua kakinya sendiri di atas tanah berlapis rerumputan, sendi lututnya menyerah dan ia jatuh dengan pantat mencium tanah dengan debaman kencang. Perutnya bergejolak mual karena perjalanan udaranya yang tidak lazim, matanya menatap gemetaran wanita cantik yang mendarat dengan elegan di tanah serta burung raksasa yang  juga turun disampingnya. Burung tersebut menggaruk pangkal sayapnya yang ia angkat dengan kepala dimiringkan menggunakan paruh sebelum menatap Rangga yang masih terdiam ketakutan di tanah.

"Rangga." Suaranya menggema dan layaknya orang tua bijaksana berhasil membuat Rangga terkesiap dan menganga.

Burung ini bisa bicara?

"Selamat datang di Hutan Amara. Wanita ini bernama Sri Dewi Maharani, salah satu penjaga hutan dan juga aku." Burung itu melangkah maju mendekat, Rangga mendongak dan masih menganga dengan bodohnya. "Gatotkaca, kalian telah merawatku dan anakku, Merapi, dengan penuh kasih sayang tanpa mengikat kebebasan kami."

Hutan Amara rupanya menyimpan rahasia yang sangat menakjubkan.

.

.