Chereads / LOVE IN DIAMOND SALES / Chapter 32 - 32. Sosok Bayangan Hitam yang Sebenarnya

Chapter 32 - 32. Sosok Bayangan Hitam yang Sebenarnya

Tepat sebelum Lian pergi menjenguk Alka.…

Kekuatan Sabel membawa Lian ke dalam kamarnya. Tanpa pikir panjang, Lian langsung merebahkan tubuhnya ke atas ranjang paling empuk yang ia miliki. Akibat rasa lelah sebab menempuh perjalanan yang panjang, Lian langsung bisa terlelap dalam hitungan menit.

Hingga secara tiba-tiba, Lian telah berada di suatu tempat. Lian mengamati kedua tangannya, seingatnya tadi, ia tengah tertidur pulas di kamar, lantas mengapa ia sekarang ada di tempat ini?

Lian mulai mengedarkan pandangannya. Tempat ini, tempat di mana Lian pernah menempuh ilmu. Lian pun mulai mengamati busananya, ia semakin dibuat bingung ketika ia kembali mengenakan seragam SMP-nya. Seketika itu juga, detak jantung Lian terpacu cepat. Apakah ia mengalami time traveler ke masa lalu?

"Lian, awas!" teriak seseorang.

Lian berusaha menolehkan kepalanya, akan tetapi, tubuhnya tiba-tiba saja terasa kaku dan sulit untuk digerakkan. Hingga akhirnya, ada seseorang yang mendekap tubuh Lian dari belakang, dan membawanya menjauh beberapa meter.

BRAK!

Lian bisa mendengar suara benda jatuh yang teramat keras. Lian pun mulai memandangi seseorang yang tadi sempat mendekapnya. Lian mulai membuka mulutnya sembari beranjak mundur satu langkah.

"Alva?" tanya Lian dengan mata membelalak.

"Alva?" Orang yang berada di hadapannya itu malah menaikkan sebelah alisnya.

Tunggu, Lian malah mengusap kedua matanya untuk memastikan. Suara yang didengarnya ini sungguh tidak asing.

"Kamu bukan Alva?" tanya Lian tertahan, entah mengapa, ia tiba-tiba tidak bisa mengeluarkan suaranya.

"Aku harus pergi!" ucap laki-laki itu.

Lian berusaha untuk menyusul laki-laki yang telah menolongnya itu, akan tetapi, tubuhnya tidak bisa digerakkan. Lian membeku di tempat, sampai akhirnya, ia melihat sebuah bayangan hitam yang mulai bergerak di belakang laki-laki itu.

"Ini gak asing! Gue pernah ada di sini!" pekik Lian dalam benaknya.

Lian perlahan mulai memejamkan kedua matanya. Bibirnya mulai bergerak, mengucapkan mantra untuk mematahkan segala kekuatan yang membuat pergerakannya kaku seperti ini. Sampai akhirnya, tubuh Lian bisa mulai ia gerakkan kembali.

Tanpa pikir panjang, Lian mulai bergegas mengambil langkah seribunya. Lian berlari kencang untuk mengikuti ke arah mana laki-laki dan bayangan hitam itu pergi.

"Siapapun kamu, terbukalah identitas yang sebenarnya! Dan berhentilah di tempat terakhir kamu menapak!" teriak Lian sembari mengarahkan kekuatannya ke arah laki-laki dan bayangan hitam di hadapannya.

HAH! HAH!

Lian akhirnya bisa berhenti di hadapan laki-laki dan bayangan hitam di belakangnya itu. Napas Lian terdengar terengah-engah. Namun, tak masalah. Yang menjadi pokok permasalahannya sekarang adalah ia mulai menyadari bahwa laki-laki yang dilihatnya tadi memang bukan Alva. Entah mengapa, wajahnya berubah menjadi wajah Alka, bukan wajah Alva tadi.

"Alka?" Lian menaikkan sebelah alisnya.

"Pantesan suaranya tadi kayak gak asing, ternyata memang benar, itu suara lo," pikir Lian sembari menyunggingkan sebuah senyum.

Lian mengalihkan pandangannya ke sosok di belakang Alka. Kini, tiada lagi bayangan hitam yang menyelimutinya. Bayangan hitam itu kini benar-benar menampilkan seluruh tubuh manusia yang nyata. Dan parahnya lagi, Lian sangat mengenali wajah seseorang yang tadinya menyamar sebagai bayangan hitam itu.

"A-andra?!" pekik Lian kaget sembari menutup mulutnya.

"Jadi, selama ini, bayangan hitam yang sering gue lihat itu jelmaan elo?" Lian menggelengkan kepala. Ia sangat tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya itu.

"Gak mungkin kan? Masa Andra pernah satu sekolah sama gue pas SD? Kalau iya, kenapa gue baru familiar sama wajahnya pas udah sekolah di kampus? Padahal selama ini, bayangan hitam itu selalu berada di sekitar gue?" pikir Lian.

Saat Lian tengah tenggelam dalam rasa sangat tidak percaya, sebuah portal berwarna putih mulai menghisap tubuh Lian. Membuat Lian terpental masuk ke dalam portal.

"Ah lihat dia, dia yang nembak Alva kan? Ah gila, gadis payah sepertinya, kenapa bisa-bisanya nekad berbuat seperti itu ke Alva hahahaha!"

"Iya, dasar tidak tahu diri!" pekik gadis lainnya.

Lian perlahan mulai mengerjapkan matanya ketika ia merasa dirinya telah berada di suatu tempat. Lian pun segera menolehkan kepalanya ke arah pemilik suara. Benar saja, Lian seperti kembali ke situasi di masa lalunya.

Tubuh Lian seperti tergerak sendiri. Lian mulai bangkit dari duduknya dengan kedua tangan mengepal erat.

"Memangnya apa salahnya jika aku menyukai Alva? Aku juga perempuan dan aku punya hak untuk menyukai yang berbeda jenis denganku!" pekik Lian.

"Alva itu keren, pintar, dan idola kami di sekolah! Dia pantas mendapatkan gadis dengan pesona yang lebih, bukan gadis payah sepertimu, hahahaha!" ledek Alya.

"Gadis payah? Aku tidak payah!" teriak Lian. Kedua gadis itu tampak meledakkan tawanya.

"Tidak payah bagaimana? Lihat rangkingmu, terendah di angkatan kami. Selain bodoh, kamu juga tidak cantik! Kamu tidak memiliki kelebihan apapun, Lian, hahaha!" pekik Alya.

"Iya, apa otakmu terlalu bodoh untuk mencerna itu semua? Kamu serba memiliki kekurangan, sedangkan Alva serba memiliki kelebihan. Kamu dan Alva tidak pantas untuk bersatu!" timpal Fera.

Kata-kata yang memiliki ujung setajam belati itu sukses mengkoyak hati Lian. Air matanya kembali turun. Entah mengapa, ia harus kembali ke situasi yang menyakitkan ini! Kenapa? Padahal Lian sudah mulai mantap untuk melupakannya, tetapi, kenapa harus diingatkan lagi?

"Aku tidak payah, asal kalian tahu ya, aku yakin, aku pasti memiliki sebuah kelebihan yang tidak bisa kalian semua miliki!" pekik Lian.

"Cih, percuma ngomong sama orang yang suka halu! Yuk, Fer, kita pergi, kalau di sini terus-terusan yang ada kita bisa ketularan halu lagi hahaha," cibir Alya sembari menggandeng tangan Fera untuk pergi dari tempat itu.

Tanpa pikir panjang, Lian kembali mendudukkan dirinya pada kursi panjang yang terbuat dari semen yang sudah mengering. Lian lantas menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Ia benar-benar ingin menangis. Biarlah dianggap cengeng, toh, kenyataannya, ucapan mereka benar-benar menyakiti hati Lian.

"Kenapa? Kenapa aku tidak punya kelebihan? Kenapa aku terlahir dengan begitu buruk?" keluh Lian.

"Kata siapa kamu gak ada kelebihan, kamu ada kelebihan. Mungkin, kelebihanmu adalah hal yang tidak pernah kamu pikirkan sebelumnya." Tiba-tiba saja, suara misterius membelai indera pendengaran Lian.

"Kata siapa? Memangnya apa kelebihanku?" tanya Lian.

"Kataku. Sepertinya, kamu memiliki sebuah kelebihan yang sangat spesial," ucap suara misterius itu.

"Hah? Apa katamu? Apa itu benar?" sahut Lian.

"Benar. Kalau kamu tidak percaya, tanyakanlah pada seseorang yang mengantarmu ke sekolah tadi pagi. Dia pasti tahu apa kelebihanmu," ucap suara misterius itu.

"Hah? Maksudmu Oma?" tanya Lian

"Ya mana kutahu! Yang jelas, tanyakanlah padanya. Dia bukan orang biasa!" seru suara misterius dengan nada sedikit kesal.

"Ah iya, iya, oke. Emm, apa aku boleh tahu siapa namamu?" tanya Lian.

"Namaku adalah Al … adoww adoww sakit, Buk, aaaa—"

Setelah suara misterius itu lenyap, tubuhku tiba-tiba saja berdiri dan mulai berjoget-joget tidak jelas.

"Yeeeee! Sudah kubilang, aku tuh yakin kalau aku bukan orang yang payah!" seru Lian.

"Lian, bangun! Lo harus bangun! Lo harus lihat, siapa pemilik suara misterius tadi!" pekik Lian berusaha mengambil kendali tubuhnya.

Lian mencoba memejamkan matanya, kemudian bibirnya mulai bergerak untuk mengucapkan sebuah mantra. Mantra untuk mematahkan kekuatan yang menahan tubuh Lian untuk melakukan sesuatu.

SLASH!

Lian membuka matanya dan tubuhnya telah bisa digerakkan. Tanpa pikir panjang, Lian langsung berlari menuruti arah yang ditunjukkan oleh instingnya.