Singkat cerita, Lian dan Alva telah selesai menyantap steak-nya. Kini, keduanya sibuk berduduk santai di kursinya, sembari menunggu makanan turun ke sistem pencernaannya.
Alva sesekali melemparkan tatapannya ke arah Lian. Kemudian, membentuk sebuah ulasan senyum di pada setiap sudut bibirnya.
"Emm, gimana kalau habis ini, kita ketemu nyokap gue? Biar lo sekalian enak gitu ngobrolnya?" tawar Alva sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Mendengar tawaran Alva, justru membuat Lian terkejut setengah mati.
"What? Lo gila, Va! Gue canggung dan takutlah kalau harus bahas itu sama bu guru!" keluh Lian. Namun, Alva malah terkekeh pelan.
"Ya ampun, Li. Nyokap gue kan guru kita sewaktu SMP. Ya udah deh gini, kalau lo canggung bicara sama nyokap gue sebagai guru, ya lo anggap saja nyokap gue sebagai teman lo. Tenang, dia gak galak kok, malahan lebih friendly kali dari gue hahaha!" ceplos Alva. Lagi-lagi, Lian menghela napasnya.
"Tetep aja gue takut!" keluh Lian.
Alva yang melihat kecemasan di wajah Lian pun seketika menggenggam kedua tangan Lian. Matanya menatap teduh ke arah Lian. Sementara bibirnya, memasang senyuman manis ke arah Lian, seakan mengisyaratkan semuanya akan baik-baik saja.
"Kalau lo gak ketemu nyokap gue, gimana gue mau jelasinnya? Secara kan, gue gak tahu duduk permasalahan yang sedang lo hadapi. Entar kalau gue salah ngomong gimana? Entar kalau solusi gue meleset dari solusi yang lo harapkan gimana?" ucap Alva.
Lian menundukkan kepalanya. Ucapan Alva memang benar, yang tahu seperti apa letak kesalahannya kan Lian, mana mungkin, Lian menyerahkan semua ini kepada Alva begitu saja? Secara, Alva kan juga tidak tahu-menahu mengenai duduk permasalahannya.
"Oke deh. Gue pengen tanyain solusinya ke nyokap lo ya, Al. Makasih ya lo udah mau bantu gue, gue udah bingung banget nih mau cari penawarnya di mana," cetus Lian. Alva mengelus tangan Lian dengan lembut.
"Tenang aja, Lian. Ada gue, gue pasti bakal bantuin lo sebisa dan semampu gue," cetus Alva yang sukses bisa menenangkan gejolak emosi yang mengganjal hati Lian.
***
Di rumah Alva.
Lian bisa melihat Alva tengah men-scan sebuah card berbentuk kotak, untuk bisa masuk ke dalam rumahnya.
"Wuah, rumah orang kaya memang beda ya. Mau masuk rumah aja, berasa kek mau masuk ke kamar hotel," cetus Lian dengan mata berbinar. Namun, Alva malah tertawa mendengar pujian yang dilemparkan oleh Lian itu.
"Apaan sih, Li. Oh iya, yuk, masuk!" ajak Alva setelah pintu sukses dibuka.
Lian pun hanya mengikuti Alva di belakangnya. Sembari sesekali, melemparkan pandangannya ke segala ornamen yang terpasang di rumah Alva.
"Mama! Alva pulang!" seru Alva.
Tepat setelah Alva berhenti mengeluarkan suaranya, seorang wanita bertubuh tinggi dengan rambut terurai menghampiri Alva.
"Ah anak mama sudah pulang ya, eh bentar, dia siapa? Sepertinya wajahnya gak asing, Va?" tanya Mama Alva. Mendengar hal itu, sontak saja, Lian menundukkan tubuhnya.
"Halo, Bu Arda, saya Lian. Waktu SMP, saya satu kelas dengan Alva," ucap Lian sembari mencium punggung tangan Mama Alva.
"Oh, Lian! Astaga, udah besar ya kamu, tambah cantik deh sekarang. Tumben ke sini, ada apa?" tanya Mama Alva.
"Dia mau ngomongin soal dunia sihir ke Mama, bisa gak kita ngomonginnya di tempat yang lebih rahasia?" tanya Alva sembari berbisik di telinga mamanya. Mendengar hal itu, tentu saja, Mama Alva langsung mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Oke, kalau gitu. Kita pergi ke dunia sihir ya, kita obrolin di sana, biar lebih aman," ucap Mama Alva. Lian pun menganggukkan kepalanya.
Wanita dengan usia kepala empat itu tampak menempelkan tangan kanannya ke arah dinding. Hanya dalam hitungan detik, wanita itu mampu menciptakan sebuah portal putih. Tentu saja, Lian memandanginya dengan terkagum-kagum.
"Wuahh hebat," lirih Lian.
"Hahaha, yuk, masuk!" ajak Mama Alva.
"Baik, Bu Arda!" sahut Lian.
Alva dan Lian, kini mulai mengekor di belakang Mama Alva. Setelah masuk ke dalam portal, tiba-tiba saja, Lian telah berada di sebuah ruangan. Ruangan seperti terowongan yang terbuat dari batu.
"Selamat siang, Mega!" seru salah satu orang yang lewat.
Mama Alva tampak menganggukkan kepalanya dengan anggun. Tampilan Mama Alva sungguh berbeda dengan Lian dan Alva. Di atas kepala Mama Alva, bukan topi berbentuk kerucut, melainkan sebuah mahkota Tiara yang cantik dengan campuran berlian berwarna-warni.
"Wah, Bu Arda cantik sekali," sanjung Lian dengan tatapan terpana. Mama Lian pun seketika mengulas senyumannya.
"Namun, kenapa banyak sekali orang yang namanya berubah? Seperti Bu Arda yang menjadi Mega, dan juga Alva yang menjadi Alka?" tanya Lian penasaran.
"Karena nama saya, Arda Mega. Waktu kecil, saya terlahir di dunia ini sebagai Mega. Lambat laun, saya pun mulai mengenal dunia manusia, kemudian, saya pun mengubah nama saya menjadi Arda Mega. Arda, merupakan nama panggilan saya ketika berada di dunia manusia, sebenarnya, saya membedakan nama saya, bertujuan agar nama saya tidak mudah terlacak di dunia manusia, jika sewaktu-waktu ada penyihir jahat," cetus Mama Alva.
"Apa? Penyihir jahat? Apa itu benar-benar ada? Kukira cuma di dongeng atau di film saja?" tanya Lian kaget.
"Itu waktu zaman saya, sekarang, sepertinya dunia sihir sudah aman terkendali. Jadi, jangan khawatir," cetus Mama Alva. Lian pun kini mulai mengangguk paham.
"Lalu, kenapa Alva juga ikut mengubah namanya, jika memang sudah aman?" tanya Lian penasaran.
"Hahaha, sudahlah, Lian. Gue kan cuma pengen ngikutin jejak Mama aja, ya kan, Ma?" Alva tampak mengedipkan sebelah matanya ke arah mamanya. Keduanya pun lantas terkekeh pelan.
Lian mencoba untuk percaya. Walaupun semuanya terasa semakin aneh. Jujur saja, sebenarnya Lian curiga. Mengapa Alva tiba-tiba menjadi sangat tertutup, seolah-olah, ia tidak ingin Lian mengulik tentang dirinya lebih dalam lagi.
"Emm, Bu Arda, di mana ruangannya? Saya ingin bertanya hal penting, tetapi sepertinya, di sini terlalu banyak orang berlalu-lalang," cetus Lian.
"Oh iya, keasyikan ngobrol jadi lupa deh. Kita ke sana!" ucap Mama Alva sembari menunjuk ke sebuah dinding.
Lian pun sontak mengernyitkan dahinya. Lagi-lagi, sebuah dinding. Mama Alva dan Alva sudah melangkahkan kakinya lebih dulu. Mau tak mau, Lian pun harus segera menyusulnya, sebelum langkah mereka semakin jauh.
Dan benar saja, Mama Alva tampak menempelkan telapak tangan kanannya ke arah dinding yang terbuat dari batu. Hanya dalam hitungan detik, terciptalah sebuah portal berwarna putih. Sama seperti tadi, Mama Lian pun beranjak masuk ke dalam terlebih dahulu, kemudian barulah Alva dan Lian menyusulnya.
"Kita ngobrolnya di sini saja. Ruangan ini kedap suara. Tidak akan bisa didengar oleh orang di luar ruangan ini," cetus Mama Alva.