2 Minggu sebelum pernikahan.
"Putusin cowok lo lalu nikah sama gue!"
Kalimat itu kedengaran seperti perintah, tapi siapa dia sampai berani memerintah Arumi. Pacar? Jelas bukan. Mantan? Juga bukan. Gebetan? Apalagi. Pengganggu? Ah, kayaknya kata pengganggu lebih tepat digelar untuk pria sok keren di hadapan Arumi ini.
Mereka sedang duduk berhadapan di sebuah cafe dengan masing-masing kopi americano yang sudah mulai dingin. Di luar gerimis sedang membasahi aspal dengan rintiknya yang kecil namun beraturan.
Mereka bukan pasangan yang sedang menikmati janjian di cafe siang bolong begini ya, melainkan musuh bebuyutan.
Arumi bela-belain izin keluar dari tempat kerjanya demi menemui Zafran. Tentu saja tanpa diketahui Arman. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan pria sombong sok ganteng sok kaya itu agar tak seenak jidatnya datang dan mengganggunya di tempat kerja, apalagi mengaku-ngaku sebagai calon suami. Yang benar saja? Tck.
"Kamu udah nggak waras ya? Nggak ada yang menaruh rasa suka apalagi cinta sama kamu. Jangan maksa yang aneh-aneh deh."
Bukan Arumi namanya kalau tak menentang setiap kali Zafran bicara. Apalagi menyangkut hubungan percintaannya.
Putusin Arman? Nggak ada dalam kamus percintaan gadis itu. Sekali dia sudah mencintai Arman, maka selamanya hanya akan ada lelaki itu dalam hati dan hidupnya. Kecuali, lelaki itu sendiri yang melepasnya.
Menikah dengan Zafran? Jangan mimpi! Sampai lebaran kingkong juga hal sinting itu tak akan terjadi. Arumi cukup waras. Wanita lain mungkin akan dengan senang hati jika diminta memutuskan pacarnya demi menikah dengan pria kaya, tampan, calon pewaris Birama Group.
Tapi, Arumi tidak termasuk jenis wanita seperti itu.
"Jual mahal banget lo ya," decak Zafran setelah perintahnya ditolak mentah-mentah oleh Arumi. Pria itu menyandar punggungnya di kursi dengan tangan berlipat di dada. Kesal tengah menyelimutinya.
Ditolak? Entah kenapa rasanya semenyebalkan ini. Selama ini tidak ada cewek yang nolak buat dijadikan boneka ranjangnya, sekarang giliran diajak nikah, biar kata lebih sah, malah nggak mau.
Tapi Zafran salah juga sih, cewek yang diajak nikah sekarang, kan, sudah punya pacar.
Bahkan ini sudah kali kedua, seorang Zafran ditolak oleh cewek yang sama.
"Oh jelas. Hati aku ini tulus untuk cowok yang beneran sayang sama aku. Bukan kayak kamu. Lagian ngapain sih ribet-ribet kamu mau nikahin aku, aku bukannya tipe kamu ya. Yang cantik, modis, seksi dan alabohai itu."
Memang. Lo bukan tipe gue. Jauh bahkan. Tapi nggak tau kenapa, gue tetap mau lo nikah sama gue. Jadi milik gue, Zafran hanya mengucapkannya dalam hati dengan tanpa berhenti menatap lurus Arumi.
"Apa yang dia punya tapi gue nggak punya?" tanya Zafran spontan. Wajahnya mengeras. Mendapat penolakan kedua kalinya, apa yang kurang dari dirinya tapi dimiliki oleh pria itu. Zafran punya segalanya. Apa yang kurang di mata Arumi?
Arumi menghela nafas. Apa lagi yang harus dia katakan? Kenapa pria ini ngotot sekali?
"Aku nggak perlu banding-bandingin dia sama kamu. Kalian ibarat rengginang sama remahannya. Beda jauh." Arumi melarikan pandangan ke luar jendela. Apa ucapannya terlalu berlebihan? Hah. Masih mending dari pada dia bilang emas dan benalu, kan?
Zafran tersenyum sarkas mendengar perumpamaan yang gadis itu gelar untuknya dan pacar sah Arumi. Rengginang dan remahan? Siapa yang rengginang, siapa yang remahan?
"Oke. Cowok yang lo anggap remahan ini akan buat cowok rengginang lo menderita —" Zafran menggantungkan ucapannya, ia ingin melihat reaksi Arumi. Apakah cewek itu penasaran?
Arumi mengerut alis. Sepertinya cewek itu penasaran. Begitupun Zafran, ia sudah tidak sabar ingin tau respon seperti apa yang akan Arumi berikan setelah ini.
"Gue akan ambil alih resto, lalu cowok rengginang lo itu nggak akan bisa buka usaha lagi. Gue dengar dia juga masih punya banyak hutang di bank, biar aja dia kesusahan mikirin nyari uang. Gimana? Udah sadis belum gue? Heh?"
Hening.
Kini giliran wajah Arumi yang mengeras, air mukanya berubah. Ada gigi bergemelutuk di dalam sana, kedua tangan yang mencengkram gelas americanonya juga memutih karena panas dingin bercampur geram.
Arumi tunduk memandangi kopi itu. Haruskah ia sembur saja kopi pada cowok tak tahu diri ini? Bisa-bisa dia mengancam? Oh Tuhan, Arman? Mana mungkin Arumi membiarkan pacarnya itu menderita sendirian.
Tapi menikah dengan pria tak tahu diri ini? Pengganggu? Ah, seperti mimpi buruk saja. Ah, seandainya ini hanya mimpi, tolonglah segera bangun. Jangan sampai mimpi ini menjadi nyata baginya. Please, please, please.
"Bagaimana, Nona Arumi?"
Suara Zafran menyentak lamunan Arumi. Gadis itu mendadak berdiri, tangannya sudah pas memegang gagang gelas, bersiap ingin menyiram pria itu.
"Terserah. Terserah kamu saja. Kalau kamu pengen banget kita nikah, oke. Kita nikah. Tapi asal kamu tau ya, walaupun kamu sah sebagai suami aku, kamu berhak atas tubuh aku, kamu tetap nggak akan bisa memiliki hati aku. Puas? Heh?" Arumi berkata penuh penekanan. Wajahnya sudah merah padam. Lalu...
Byuuur.
Americano yang masih penuh karena tak tersentuh oleh Arumi menyimbah sempurna di wajah dan kemeja Zafran. Biarlah, kepalang tanggung. Mereka sudah jadi tontonan sejak tadi, sekalian saja Arumi buat pria itu malu.
"Ini buat kamu yang suka ganggu hubungan orang. Please, setelah ini jangan muncul di hadapan aku sebelum hari pernikahan kita. Paham?"
Tanpa menunggu jawaban, Arumi cabut dari hadapan Zafran.
Sementara Zafran yang syok atas perlakuan Arumi yang agak berlebihan hanya menyeringai. Ia ingin marah, tapi keputusan Arumi lebih penting sekarang.
Arumi menerimanya.
"Gue akan buat lo berpaling dari Arman dan berbalik mencintai gue, sepenuhnya."
Zafran menyeringai disela ucapannya. Dia lalu berdiri tegap, menyeka wajahnya dengan sapu tangan kecil yang selalu stand by di saku. Ia berlalu pergi meninggalkan kafe dan orang-orang yang menatapnya.
"Dasar setan kecil, tunggu aja sampai lo seutuhnya jadi milik gue, akan gue pastikan lo nyesal udah nyiram kopi ke wajah tampan ini hari ini."
Sementara itu di A&A Resto.
Arumi sudah kembali. Airmatanya pun sudah ia hapus dengan ujung kaosnya, Arman tak boleh tau kalau dia habis menangis. Ia mengedar pandangan ke seisi ruangan yang cukup terisi. Hati kecilnya bukan lagi terluka melainkan sobek setelah ucapan Zafran soal mengambil alih resto.
"Maaf Man. Aku nggak ingin kamu susah. Ini keputusan yang berat, tapi semoga ini juga keputusan yang tepat."
Arumi masih celingak celinguk mencari sosok Arman ketika suara dari belakang mengagetkannya.
"Arumi, kamu dari mana aja? Aku nyariin kamu dari tadi." tanya Arman dengan dada kembang kempis.
Arumi dengan cepat berbalik.
"Sayang, maaf ya. Aku pergi nggak bilang kamu dulu."
"Aku pikir kamu di culik sama si Zafran itu."
Arumi menegang. Kenapa Arman sampai terpikir begitu? Apakah Arman melihatnya tadi?
"Kamu baik-baik aja kan? Nggak ada yang kamu sembunyikan dari aku, kan?"
Arumi mematung.
***