Selesai shalat maghrib, Januar langsung kembali ke aula fakultas yang sejak satu jam lalu ramai dikunjungi mahasiswa yang berminat mendaftar menjadi pengurus BEM periode baru.
Diluar dugaannya, antusiasme mahasiswa FT tahun ini meningkat dari tahun sebelumnya saat Ia masih menjabat sebagai Kepala Departemen Humas. Entah itu sebuah berkah atau tantangan, karena semakin banyak peminat, semakin sulit memilih yang terbaik. Tapi bagaimanapun juga, Januar percaya kesembilan Kepala Departemen yang sudah Ia pilih itu akan merekrut orang yang tepat.
Sesampainya di dalam, tampak di meja panjang paling depan itu para pengurus BEM periode lama dan baru sedang berbincang-bincang sangat seru. Haikal juga ada disana, membuat Januar seketika teringat akan pesannya yang belum dibalas Adri sejak tadi siang.
"Wes, seru banget ini pada kumpul," ujar Januar sembari tos dengan Adam, Haikal, Jeffrey, dan Erlangga. Sudah lama Ia tidak melihat keempat orang itu. Mungkin urusan mereka banyak berbeda. Adam dengan skripsinya, Haikal yang baru saha kembali dari Jerman, Jeffrey si Ketua HIMA Tekpang, dan Erlangga yang memilih jabatan sebagai ketua DPM melalui aklamasi beberapa hari lalu. Hanya Gandhi yang setiap saat ditemuinya.
"Gimana ini Pak Ketua agendanya? Siap dilantik dalam lima hari?" tanya Adam begitu Januar duduk dihadapannya.
"Loh kan abang-abang ini yang bakal ngelantik. Gue sih selalu siap."
"Gilaa, ditantangin Lo Dam sama anak baru," provokasi Haikal.
Adam dengan dramatis mengelus dadanya, "Gak papa, kepala Gue udah berat rasanya pengen buru-buru mindahin mahkota kerajaan BEM," candanya.
Semua orang di meja itu tertawa.
"Terus Bang Haikal berarti permaisuri Lo dong Bang? Hahaha ngakak," heboh Jeffrey sambil menepuk bahu Erlangga keras.
"Ini nih, Gue alergi banget sama orang yang kalo ketawa nyiksa orang."
"Eh btw gimana kabar Bang Haikal? Dapet apa aja di Jerman?" tanya Januar mengalihkan topik.
"Dapet ... dapet ... dapet ilmu lah, apalagi? Kan Gue kuliah disana," jawabnya.
"Ya kali kan gitu dapet calon istri dan harta berlimpah," ujar Gandhi asal.
Januar melirik Gandhi dan Haikal tajam, sembari tetap tersenyum.
"Lain urusan Gan, ntar Gue terlalu betah disana bahaya," ujarnya tertawa.
"Jadi Lo udah jauh-jauh ke Jerman balik ke Indon masih aja jomblo nih Bang? Gimana sih," timpal Erlangga.
"Ya gimana ya, ada yang Gue tunggu di Indo soalnya,"
"Woooooooo," sorak mereka, kecuali Januar. Pria itu malah fokus pada ponselnya, memeriksa bolak balik riwayat chatnya dengan Adri. Sudah terkirim, sudah terbaca, belum terbalas.
"Gue tau nih kayaknya siapa nih," pancing Adam.
Januar menoleh cepat setelah Adam berbicara.
"Masih anak FT kan? Ngaku Lo Kal," titah Adam.
Ditengah-tengah keributan para lelaki itu, Revitha tiba-tiba datang dan menghampiri mereka.
"Ada apa sih ini ribut bener sampe menggema keluar," protesnya.
"Biasalah!" ujar Gandhi menirukan suara si bocah viral.
Semua orang disitu tertawa.
Revitha memutar bola matanya jengah, "Itu Jan, Lo dicariin tuh," ujarnya.
"Siapa yang nyariin Gue?"
"Adri, diluar dia. Gue ajak masuk gamau."
"Cieeeeeeeee uhuy," keempat orang itu kembali bersorak. Januar hanya menekuk dahinya heran. Tanpa basa basi, Januar bergegas keluar aula.
Benar saja, tampak disana Adri duduk di gazebo bawah pohon pinus depan aula.
"Kenapa harus disitu coba kan banyak nyamuk," gumam Januar pelan.
Januar mempercepat langkahnya menghampiri gadis itu.
"Dri!"
Adri menoleh cepat, mengalihkan fokusnya dari ponsel.
"Eh, Jan."
"Kamu ngapain disini? Kenapa gak masuk?" tanyanya kemudian duduk disamping Adri.
"Gak papa sih, Aku gak enak masuk gak ada kepentingan," ujarnya.
"Katanya nyari Aku, bukan kepentingan itu namanya?"
"Hehe, iya juga," ujarnya cengengesan.
"Sejak kapan kamu bisa cengengesan gitu? Perdana ngeliat kamu begini," ujar Januar sembari tertawa.
Dalam hitungan detik, Adri mendatarkan kembali ekspresinya.
"Haha, langsung berubah dong. Yaudah yaudah. Ada apa nih?" tanya Januar akhirnya.
"Tadi siang kamu chat kan mau ketemu? Tapi baru Aku buka abis shalat tadi," ujarnya.
Januar mengangguk, "Oh gitu, terus?"
Adri memicingkan matanya, "Ya kan kamu aslinya yang ngajak ketemu, makanya Aku dateng," ujarnya sebal.
"Oh iya juga sih."
Adri menggelengkan kepalanya, "Udah makan belum? Aku bawain kamu makanan ini, bukan nasi tapi. Aku tau kamu sibuk banget hari ini," ujarnya memberika satu eco bag berisi susu UHT, roti, air mineral dan sosis.
Januar tersenyum lebar, "Asik banget dikasih makanan. Tau aja belum makan," ujarnya.
"Tau lah, Aku kan peka."
Januar mengerutkan dahinya, "Jadi ini juga sisi lain kamu? Makasih loh," ujarnya.
Adri mengangguk, "Iya. Jadi kamu tadi mau ngomong apa?"
Januar bingung, sebenarnya Ia hanya refleks mengirimi Adri pesan tadi siang tanpa tahu konteksnya apa.
"Lupa sih, tapi yang jelas pengen ketemu aja, hehe," ujarnya.
Adri mengibaskan tangannya, "Menyingkir Kau buaya bandung," ujarnya.
"Hahahaha." Januar tertawa terbahak-bahak.
Lagi-lagi Adri menggelengkan kepalanya, heran melihat tingkah laku Ketua BEM yang sedang memudarkan wibawanya itu, "Receh banget sumpah jadi orang. Yaudah Aku pulang dulu ya," ujarnya sembari berdiri dan menyampirkan tas selempang kulit coklat miliknya.
Januar masih saja menyisakan tawanya, "Oh yaudah, kamu bawa mobil?"
"Iya, tapi Yola yang nyetir, kita mau makan dulu kayaknya," ujarnya.
Januar mengangguk, "Oke, thanks ya. Hati-hati, makan yang bener," pesannya.
Adri mengangguk. Tepat setelah selangkah Ia berbelok menuju parkiran, Ia berhenti dan berbalik.
"Kenapa?" tanya Januar melihat Adri memandangnya dengan tatapan mengintimidasi.
"Jangan bilang kamu tadinya mau ketemu karena ..."
Januar menelan salivanya. Tolong jangan, jangan sampai Adri menangkap basah kekanak-kanakannya lagi, ujarnya dalam hati.
"Karena ... ada darah di mukaku?"
Januar menghela nafas lega, "Oh! Iya, bener. Aku kira kamu mimisan tau, atau kenapa gitu," ujarnya gugup.
Adri tersenyum, "Itu tadi bedah tikus pas ambil darah, darahnya muncrat keluar, I'm OK kok," jelasnya.
Januar mengangguk paham, "Kok ngeri kayaknya."
"Haha lumayan. Yaudah kamu masuk, good luck ya, semoga lancar rekrutmennya!"
"Siaap!"
"Oh iya satu lagi, Aku serius gak ada apa-apa sama Kak Haikal, tadi kita cuma asprak dan praktikan, gak lebih. Aku paham maksud kamu kok," ujar Adri. Gadis itu tersenyum tulus. Aduh, kenapa kesannya jadi Januar yang lebih baperan sih?
Januar speechless. Harusnya Ia sadar kalau Adri itu tipikal perempuan langka dengan kepekaan dan kejujuran tingkat dewa.
Adri menepuk keras bahu Januar, "Pulang dulu Pak, dah!"
Januar hanya menatap datar punggung gadis itu yang menjauh menuju tempat parkir sembari bermonolog.
"Darren Januar Winata, Lo emang beneran malu-maluin, dia yang cewe kenapa Lo yang lebih baperan? Bener bener, ketuker jiwa kayaknya."