Dhea berjalan setengah berlari di sepanjang lorong Gedung Exa. Beberapa kali hampir bertabrakan dengan karyawan lain. Kabar yang diterimanya beberapa jam lalu sontak membuatnya panik. Tanpa disadarinya Dhea tak membawa tas berisi gadget kesayangannya itu. Dhea tak lagi peduli sapaan beberapa karyawan yang mengenalinya.
Bahkan ketika ia berpapasan dan hampir saja menabrak Argo di pintu lobby. Dhea ngacir tak memperdulikannya dan tak melihatnya sedikitpun. Kedua kakinya linglung, betapa kabar itu sangat mengguncang Dhea.
Ekspresi panik, takut, sedih, syok dan berbagai macam perasaan yang kini tengah berkecamuk dalam diri Dhea. Setengah berlari Dhea menekan lift dan segera masuk begitu pintu lift terbuka. Menekan angka lima berdiri termangu menatap pintu bagian atas lift berganti ganti angka. Dhea mendesah, menarik nafas dan mengeluarkannya dengan cepat. Hanya ia seorang dalam lift. Dhea tak bisa menunggu seakan lift meluncur dengan lamban. C'MON… teriak Dhea dalam hati.
Ting ...
Pintu lift terbuka.
Dhea berlari ke sebelah kanan, memasuki ruangan bercat coklat cream dan berbau aroma green tea. Beberapa karyawan yang mengenalnya menatap penuh tanda tanya. Karena Dhea tak seperti biasa. Ia selalu datang dengan tersenyum dan menyapa hampir setiap karyawan Bank Exa yang ia temui. Tapi kali ini, Dhea tak memperdulikan mereka. Hampir saja bertabrakan dengan Tika di pintu masuk.
"Mbak Dhea?" sapanya.
"Eh, Tika." Dhea menengok ke kanan ke kiri, memutar kepala. Kening Tika berkerut memperhatikan Dhea tak seperti biasanya, ia selalu riang pikir Tika. Tapi kali ini Tika melihat Dhea seperti kebingungan.
"Mbak Dhea cari siapa sih?"
"Mbak Andini. Kamu tahu dia ke sini kan?" Dhea memegang lengan Tika, Tika makin tak paham dengan apa yang terjadi dengan Dhea. Tika menggeleng, Dhea paham.
Beberapa karyawan memperhatikan mereka berdua, satu persatu meja telah dipenuhi oleh si pemiliknya. Seratus lebih karyawan yang bekerja di lantai 5. Dan hampir semua mata tertuju pada Dhea. Dhea berdiri mengamati satu persatu wajah-wajah itu. Dan semakin paham dengan apa yang terjadi. Mereka semua mungkin telah mengetahuinya.
Pagi seperti biasa Dhea membuka pintu kamar apartemen mengambil koran dan majalah yang tergeletak di depan pintu kamar, dikirim oleh tukang koran langganannya. Setelah itu Dhea membantingnya di atas meja dan kembali ke tempat tidur, kantuk yang tak teramat masih bergelayut di kedua matanya.
Meski jam weker mengeluarkan suara berkali-kali akan tetapi Dhea tetap mengacuhkannya, dengan malas ia menekan tombol bagian atas jam weker itu terus dan terus sampai akhirnya ia menenggelamkan jam weker itu ke dalam bantal.
Tepat pukul delapan jam weker itu kembali mengeluarkan suara dan mengagetkan Dhea. Tapi kali ini, Dhea meraih jam weker itu setengah mengantuk ia dapat melihat jarum jam berhenti di angka delapan dan semenit kemudian ia bangun meletakkan kembali jam weker pada tempatnya semula.
Masih terhuyung Dhea berjalan ke kamar mandi, menyalakan air kran mengambil sikat gigi ditorehkan pasta gigi dan dengan malas duduk di atas kloset menggosok dengan malas.
Arrgghhhhh … cuih.
Dhea berkumur, mencuci muka meraih handuk di lap wajahnya dengan sembarang setelah memastikan diri dengan bercermin di kaca kamar mandi, ia keluar. Menuju dapur, mengambil gelas di dalam laci dapur membuka kulkas meraih botol jus jambu dituang kedalam gelas, menenggaknya dengan cepat, sesaat ia melirik ke meja. Meletakkan gelas ke wastafel dan menghampiri meja di ruang tengah.
Dhea membanting tubuhnya ke sofa dan sofa itu tenggelam menahan beban berat tubuh Dhea. Mengambil koran dan wajah Dhea seketika berubah, kedua matanya melebar melihat deretan huruf berukuran besar di halaman depan koran bisnis itu. Dhea meraih kacamata miliknya yang tergeletak di atas meja tak jauh dari tumpukan majalah, memakainya dengan cepat.
KASUS PENYUAPAN NASABAH, KEPALA CABANG BANK EXA MENJADI TERSANGKA.
Dhea tersentak, kedua tangannya mencengkram koran itu dan membacanya kembali. Dhea meyakinkan diri bahwa itu tak mungkin terjadi, ia hanya berhalusinasi. Ia meletakkan kembali koran itu dan menyandar ke sofa mendongak ke atas menarik nafas. Mengerjapkan kedua matanya. Kemudian diambilnya lagi koran itu, tetap sama tak berubah. Dhea menggeleng-gelengkan kepala.
Dan tanpa pikir panjang, Mba Andini, nama itu yang kini ada di otaknya. Ia bangkit berlari ke dalam kamar mengganti pakaian dan tak perlu cukup lama untuk berganti pakaian. Dhea hanya mengenakan celana jeans dan kaos berkerah warna merah, meraih kunci mobil memakai sepatu asal, keluar dengan membanting pintu, menguncinya dan berlari.
Beruntung lift terbuka ketika ia sampai di depan lift, menekan tombol angka satu. Dhea berusaha untuk tenang. Nafasnya kembang kempis, begitu lift terbuka Dhea berjalan cepat menuju parkiran mobil dan menyalakan kunci otomatis.. bip..bip.
Memutar kunci, menarik pedal gas meluncur tanpa senyum sapa ke penjaga pintu gerbang apartemen seperti biasa yang ia lakukan setiap hari. Dhea hanya ingin cepat menemui Andini. Kini dibenaknya hanya ingin cepat bertemu dengan Andini.
Shit ... berkali-kali Dhea mengumpat. Dhea mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, beberapa mobil membunyikan klakson kepadanya karena hampir saja bertabrakan. Dhea tak memperdulikannya. Jalan raya kemayoran memang tak seperti jalan raya lainnya. Lengang dan mengemudi dengan kecepatan diatas rata-rata sangat memungkinkan. Mobil Dhea beberapa kali menyalip dan menikung tajam.
Siapa yang melakukan itu semua?
Damn ...
Baru tersadar ketika Dhea hendak meraih tas nya, ia menengok ke arah kiri, kosong. Itu berarti Dhea tak membawa satupun handphone atau benda apapun bernama gadget. Makin kesal, Dhea memukul setir mobil dengan kuat dan tanpa disadari mengenai tombol klakson mengeluarkan suara kencang.
Dua puluh menit Dhea sudah di depan apartemen Andini, ia hanya memarkir mobilnya di depan pintu gerbang di tepian jalan. Tak ingin ribet mencari parkir di dalam dan memakan waktu. Dhea membuka pintu dan berlari keluar, namun langkahnya terhenti. Ia menoleh ke pos penjagaan, berbelok kesana.
Karena sudah sangat mengenal Dhea, dua orang penjaga itu ramah menyambut Dhea. Dhea menanyakan Andini, apakah sudah keluar apartemen, tepat pukul 8.30 menit, jam dinding di pos penjagaan. Dan penjaga pos memberitahu Dhea, baru saja Andini keluar dijemput sopir seperti biasa. Dhea tak banyak bertanya lagi setelah berterima kasih kembali ke mobil dan dengan cepat balik arah ke kantor cabang.
Berharap Andini tak membaca koran itu, dan Dhea tak ingin Andini melihatnya terlebih dahulu. Seharusnya aku ke kantor duluan, sebelum ke sini.
Sepuluh menit Dhea sudah tiba di kantor, memarkir mobil tepat di samping kanan kantor. Kedua mata Dhea berputar, mengitari halaman parkir. Mobil kantor yang biasa membawa Andini tak terparkir disana. Dhea keluar, satpam menyapanya namun Dhea tak memperdulikannya.
Berlari ke lantai dua, dan mendapati koran tergeletak di atas meja ruangan Andini. Dhea mengambil dan membawanya pergi. Ia kembali turun, kantor masih sepi. Dhea berhenti sejenak mengamati. Kenapa jam segini masih sepi, kemana mereka?
Ia melihat Ibud tengah menyiapkan minuman di pantry tapi Dhea tak menegurnya, melainkan keluar. Satpam menyipitkan mata melihat Dhea nampak kebingungan, tak mau bermasalah ia hanya mengangguk menyapa Dhea yang masih tetap tak peduli, masuk ke mobil membuang koran bisnis itu ke jok belakang, mendengus.
Mbak Andin …
Ke pusat ... gumamnya.
Yups, pasti Mbak Andin ada meeting di pusat.
Benar, pikir Dhea.
Aku yakin Mbak Andin kesana.
Dhea sedikit tegang, kini ia semakin frustasi. Khawatir Andini akan membaca berita itu dan Dhea tak ingin Andini terluka. Desas desus itu sudah beredar sebulan yang lalu, meski Andini kerap menyembunyikan masalah itu kepada Dhea, tak mau berbagi dengan dirinya. Tapi Dhea sangat yakin, Andini tak setegar yang terlihat.
Masalah yang tengah Andini hadapi sebenarnya masalah Dhea juga. Tapi Andini bersih keras Dhea tak ikut campur dan tak ingin Dhea terlibat. Semua akan baik-baik saja, selalu kalimat itu yang keluar dari bibir Andini. Bahkan Dhea sangat mengenalnya. Beberapa kali ia melihat Andini tak fokus atau termenung dan sering tidak nyambung ketika mereka tengah membahas masalah pekerjaan.
Dhea yakin, seseorang tengah menjebak Andini dan dia geram hingga saat ini belum bisa membuktikan siapa pelaku dari masalah ini sebenarnya. Bagaimana mungkin dana itu tiba-tiba masuk ke rekening Andini. Beberapa teman Dhea memasang wajah tak menyenangkan setiap kali bertemu dengannya di kantor. Mereka seakan mengatakan dengan raut wajah mereka, Dhea bermain kotor dengan prestasinya.
Bersambung ...