-Moirai Valentine-
Phoenix cenderung memiliki hawa panas, tapi bagi Maura bukan itu masalahnya. Bukan apinya, tapi malunya itu yang tak bisa ditahan-tahan.
--------------------------------
Maura duduk di sebuah sofa panjang yang sangat luas, karpet berbulu yang membentang di bawahnya. Hawa canggung dan sejuk itu menusuk bercampur, membuat tangannya bersedekap untuk memberikan rasa hangat di sekitar tubuhnya.
Tubuh bagian luarnya terasa dingin tapi jantungnya berderu menahan uap panas tidak terlihat.
Dia sedang berada di asrama Phoenix. Tempat yang paling membuatnya bergidik ngeri.
Maura tidak habis pikir, kenapa dia tidak menolak saat Erlang mengajaknya ke sini, dan parahnya lagi dia dibiarkan menunggu bersama puluhan pasang mata yang menatapnya dengan tatapan tidak bisa terbaca satu persatu.
Maura menghela berat, Semuanya anak laki-laki yang ia tidak kenali satupun dari mereka, kecuali Bintang dan Gilang. Yah, mereka juga sedang menatapnya aneh.
Maura tersenyum kikuk, ekor matanya menyapu setiap sudut ruang yang terlihat begitu menyeramkan dan asing ini. Dinding kokoh yang di dominasi warna merah, gorden-gorden besar yang menjuntai hampir menyerupai tempat aula bersar di sekolah.
Sangat luas, megah dan Err … menyeramkan menurut Maura.
Jelas tempat ini sangat jauh jika dibandingkan dengan ruang tengah di asrama Libra. Sistem kasta dan diskriminasi sudah bukan hal aneh lagi baginya.
"Jadi … Lo masih berkencan dengan Erlang?" Gilang membuka suaranya tiba-tiba.
Maura bingung, tapi kemudian mengangguk. Walaupun dia tidak terlalu paham apa artinya.
"Wow!!" Gilang berseru histris sambil menepuk-nepuk pundak Bintang yang duduk di sebelahnya.
Tidak ada reaksi apapun dari pria aneh itu. wajahnya tetap menyebalkan, dengan raut kesal entah apa.
"Hebat!!" seru yang lainnya. "Jadi. Err … nama Lo Maura bukan? Apa masih ingat sama kita-kita? Di koredor seminggu yang lalu."
Kini satu persatu dari mereka membicarakan dengan santai kejadian di koredor seminggu yang lalu. Tentang Maura yang panas dan seksi.
Maura beberapa kali mengumpat dalam hati. Ini yang dia takutkan. Tapi tetap saja tidak bisa mengatakan apapun, apalagi marah di dalam kandang singa.
Lambat laun mereka mulai menanyakan tentang beberapa hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian minggu lalu. Seperti cara pandang asrama Libra, persiapan ujian, atau cara penyambutan lainnya yang jauh bertolak belakang dengan kebiasaan asrama mereka.
Maura semakin membaur dengan mudah, perasaannya tidak setengang pertama kali menginjakkan kaki di asrama api ini.
"Kita suka gaya Lo, kalau boleh jujur. Ngomong-ngomong, mau berkencan sore ini juga?"
Maura kembali mengangguk canggung. Sungguh dia tidak terbiasa dengan situasi memalukan itu.
"Jangan balik malam-malam lagi, entar si Erlang kehukum kaya minggu lalu." Seru salah satu dari mereka.
Tawa karas langsung memenuhi ruang tengah, bahkan anak-anak perempuan yang sudah berada di kamar berhamburan keluar, melihat sesuatu yang ditawakan teman seasramanya.
Gilang melemparkan bantal sofa ke arah teman-temannya, menyuruh mereka untuk tidak berisik.
"Sorry ya Maura, mereka memang gitu, kurang bahan lawakan, maklum lah semua pada setres untuk ujian bulan depan." Gilang memberitahu.
Maura ikut tertawa, walaupun tidak terlalu keras seperti mereka. Ternyata anak-anak dari asrama phoenix tidak se-menyeramkan yang mereka pikirkan selama ini.
'Masih manusia ternyata..'
---------Moirai Valentine----------
Erlangga bergegas menuruni undakan tangga, sesekali ia melirik sosok gadis yang ia tinggalkan bersama teman-temannya di ruang tengah.
Maura masih diam di tempat, duduk manis di tempat terakhir ia tinggalkan. Gadis itu tersenyum dan tertawa kecil.
Erlang menghela lega, 'sepertinya tidak apa-apa.' Pikirnya.
Ia sudah mengganti baju seragamnya dengan kaos oblong biasa berwarana putih dan jins biru malam. Erlang sengaja memilih warna yang sama dengan Maura, dia sendiri juga bingung dengan hal itu.
Segala sesuatu tentang gadis itu tiba-tiba membuatnya tertarik, rasa nyaman dan juga perasaan bebas dari tekanan.
"Apa ini normal?" ucapnya pelan.
Erlang melirik Maura, bibirnya tersunjing ke atas, gadis itu sedang menatapnya dari jauh.
"Kau mau berkencan Erlang?"
Degh…
Tubuh Erlang menengang saat suara halus itu menyapanya. Ia berbalik, iris kelabunya bertubruk langsung dangannya.
Gadis pujaannya, Sella Amzella.
Erlang menatap wajah ayu gadis itu, seketika pengkhianatan sahabatnya terlintas. Kedua tangannya langsung mengepal.
Sejauh apapun Erlang membenci mereka, para penghianat. Tapi rasa itu masih tetap ada, jika bersama dengan Maura adalah ketenangan dan rasa nyaman maka bersama dengan Sella adalah gejoak yang menggebu-gebu.
Erlang memejamkan matanya, menarik napas pelan dan menghembuskannya.
"Bukan urusanmu!" ucapnya ketus.
Moodnya langsung hancur, Erlang berbalik menyusul Maura yang menunggunya di bawah.
Tapi tarikan pelan di lengannya langsung menghantikan gerakan Erlang.
Sella menariknya, membuat Erlang mau tidak mau mendenggus dan kembali menatap ke arah gadis itu.
"Apa lagi?"
"Erlang, bisa kita bicara? A-ada yang ingin kutanyakan." Serunya gugup.
Erlang bisa melihat, Sella sedang memilin ujung bajunya dengan sebelah tangan. Wajahnya menunduk beberapa saat sebelum akhirnya mendongkrak menatapnya.
"Bisa? Sebentar saja?"
Erlang mengerutkan alisnya, "Cepat, aku sibuk."
Sella melepaskan cekalan di tangan Erlang, ia menggigit bibir bagian bawahnya. "Erlang … apa kau masih berkencan dengan wanita itu?"
"Namannya Maura." Erlang memperbaiki.
"Ahh … benar, Maura.."
"Kenapa? Bintang bilang kalian sudah berakhir kemaren," lanjutnya.
Degh..
"Bintang mengatakan itu?"
Sella kembali menundukkan wajahnya, mengangguk.
Erlang mengumpat pelan. Ia tau jika sahabatnya itu penghianat, tapi bukan berarti ia juga mengatakan kebenaran tentang taruhan meraka pada Sella. Karena bagaimanapun, Erlang masih berbaik hati untuk setidaknya menyimpan semua itu. Hanya mereka bertiga yang tau.
Maura terlalu baik untuk di permalukan. Tapi ternyata Bintang menghianatinya, damn it!!
Erlang mengepalkan kedua tangannya. "Itu tidak benar, Bintang tidak tau apapun."
Entah kenapa saat ini dia ingin mencincang bocah kurang ajar itu.
"kau serius berpacaran dengan gadis dari asrama rendahan itu!" Sella tidak sengaja menaikan suaranya.
Tidak pernah dia memikirkan jika pria yang dicintainya tertarik dengan sesuatu yang jauh dari standar. Maksunya bagaimana mungkin seorang Sella Amzella yang luar biasa kalah hanya dengan gadis rendahan sedarhana?
"Jaga bicaramu Sella!! Dia kekasihku, jangan pernah mengatakan dia rendahan apalagi menghinanya terang-terangan di depanku!!" Erlang bergumam setengah tertahan.
Rasa marah tiba-tiba tersulut saat Sella mengatakan hal buruk dan merendahkan Maura, gadisnya.
Erlang langsung tersadar dengan bentakannya saat melihat Sella menunduk, tubuh anggunnya bergetar sedikit, menandakan jika gadis itu sedang menangis.
Apa mungkin karena bentakannya?
Erlang menghela berat, ia mengusap wajahnya kasar. Sial!!
"Katakan pada tunanganmu itu, jangan membicarakan sesuatu yang tidak dia ketahui."
Erlang tidak ingin lagi terlibat dengan Sella. Dia mungkin saja tidak bisa membendung simpatinya jika terlalu lama berhadapan dengan wanita yang dia sukai itu.
Setelah mengatakan itu Erlang melangkah menuruni undakan tangga, menemui sosok Maura yang terlihat nyaman bersanda gurau dengan yang lainnya.
"Maura.. ayo.." seru Erlang.
Bersambung…